4

1K 139 4
                                    

       Soonyoung  melihat Jihoon berjalan mendekat kearahnya bersama Dokter Baekhyun dari Departemen Radiologi. Dulu memang sempat tersebar bahwa Jihoon merupakan mahasiswa kesayangan dokter mungil itu saat mereka magang, namun ia tidak pernah tahu jika melihat interaksi keduanya merupakan hal yang tidak baik untuk mata. Mereka terlihat menggemaskan. Dengan tubuh yang sama-sama mungil, poni, serta kacamata yang menghiasi wajah keduanya. Cukup wajar jika orang yang tidak tahu mengatakan mereka mirip.

   "Jadi, apa yang sudah kalian bicarakan? Sepertinya seru sekali?" Dokter Taejoon tersenyum jenaka pada keduanya.

   "Tidak ada. Hanya diskusi ringan saja"

  "Oh ayolah, Baekhyun-ah. Jihoon baru saja sampai disini dan kau ajak diskusi? Kau kira aku tidak tahu diskusi macam apa yang kau sebut ringan?" Dokter Baekhyun justru menghendikkan behunya kecil sebelum pamit kembali ke departemennya. Soonyoung dan Jihoon menyusul pamit untuk kembali ke Seoul, sebelum hari gelap dan akses jalan kembali ditutup.

    "Jika laki-laki itu bertanya padamu, katakan padanya kita menolak tawaran mereka" perkataan Soonyoung yang tiba-tiba membuat Jihoon menaikkan sebelah alisnya tidak paham. "Tawaran majalah kampus itu. Tolak saja"

   "Kenapa?"

   "Jun bilang kita harus menolaknya. Bukan itu yang mereka inginkan dari kita sebenarnya"

    "Kau percaya Jun?" laki-laki itu mengangguk mantap. "Kenapa?"

    "Mereka bukan orang baik. Kau tahu ada banyak orang yang tidak menyukai kita?" Jihoon mengangguk meski Soonyoung tidak melihatnya. "Dan mereka mengatasnamakan majalah kampus serta profesor Jessie demi kepentingan mereka. Aku telah mengkonfirmasi langsung pada profesor Jessie"

   "Jadi tolak?"

   "Ya. Dan kau harus hati-hati"

   "Apa seserius itu"

  "Ya"

.

.

.

    "Mereka menolak tawaran ini kau bilang?" wanita itu berteriak ditengah ruangan yang hening, kemudian membantik buku catatan diatas mejanya kencang-kencang. "Kau bilang kau bisa melakukannya, tapi mana buktinya, huh? Mereka bahkan menolak tawaran ini. Kau tahu? Menolak! Ini kau yang becus melakukannya atau mereka yang terlalu sombong?" keningnya berkerut tidak suka. Rasa bencinya semakin memuncak saat mengetahui semua anak buahnya tidak ada yang berhasil. "Ini gila, kalian memiliki banyak anggota tapi tidak ada satupun dari kalian yang berhasil membujuk mereka?"

    "Kami sudah membawa nama Profesor Jessie, namun mereka tetap menolak tawaran ini"

   "Benar-benar sombong sekali mereka! Geurae, mari kita coba hal baru lainnya. Aku harus membuat ini lebih menarik lagi jika mereka kembali menolak" wanita itu lalu menatap wajah lelaki dihadapannya dengan senyuman remehnya. "Jika kali ini kau gagal lagi" diusapnya garis rahang pria itu dengan seksual. "Kau yang akan menerima akibatnya, sayang" lalu dikecupnya bibir lelaki itu sebelum mendorongnya kuat-kuat hingga lelaki itu tersungkur ke tanah.

.

.

.

     Jihoon tidak pernah suka dengan keadaan dimana ia harus kembali mengingat masa lalunya. Masa-masa dimana ia benar-benar berjuang sendiri diantara mereka yang seakan-akan tiap harinya ingin Jihoon musnah dari dunia ini. Dan kini Jihoon kembali mengingatnya, hanya karena seorang Jung Eunbi yang tiba-tiba muncul dihadapannya dengan wajah polos dan senyum yang terpantri disana.

   Duduk berhadapan dengan Eunbi adalah hal yang tidak pernah Jihoon ingin lakukan sebelumnya. Jika saja gadis itu tidak memohon padanya dihadapan teman kelasnya. Bukannya Jihoon tidak menolak, bahkan Jihoon telah mendorong kuat-kuat Eunbi untuk pergi dari hadapannya setelah ucapan Jihoon diabaikan.

  Rahang gadis mungil itu telah mengeras dengan ekspresi yang sangat terganggu dengan hadirnya Eunbi. Kedua tangannya menyilang didada dengan mata yang bersikap awas sejak tadi.

  "Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Jihoon-ah" rambut gadis itu kini terpotong sebahu dengan baret berwarna hitam sedana dengan jaketnya saat ini. "Aku hanya ingin berbincang ringan denganmu. Kebetulan aku sedang mengunjungi temanku di SNU, dan melihat kau disana" Eunbi bertanya dengan ragu-ragu pada Jihoon. "Apa aku sangat mengganggumu?"

   "Sangat. Jadi kau bisa pergi sekarang"

   "Apa kau masih marah padaku? Maksudku, harusnya aku yang marah tapi-"

  "Jika tidak ada yang penting, aku pergi"

  "Aniyo. Tunggu sebentar"

  "Aku tidak punya waktu untuk orang sepertimu"

  "Jangan jadi sombong, Jihoon. Aku hanya-"

   "Aku memang sombong. Dan itu bukan urusanmu" Jihoon sudah beranjak akan pergi jika Eunbi tidak bicara cepat.

   "Geurae, ini tentang appa" Eunbi menunggu reaksi Jihoon sebentar. "Uri appa" Jihoon mendekatkan wajahnya mada Eunbi.

   "Aku sudah pernah mengatakan padamu. Aku tidak pernah  sudi memiliki ayah seperti dia. Sampai kapanpun itu" desisnya tidak terima.

  "Aku hanya menyampaikan apa yang ibuku titipkan bicara padamu. Duduklah dulu Jihoon. Aku benar-benar ingin bicara baik-baik denganmu" Jihoon kembali duduk dengan amarah yang sudah ia tahan, namun dengan stoic face andalannya. "Aku akan berangkat ke Paris, Jihoon. Segera. Tapi, aku butuh biaya" salah satu alis Jihoon terangkat. "Sejak kau dan Soonyoung yang mengatur perusahaan, appa merasa tidak memiliki hak untuk menerima keuntungan dair perusahaan. Jadi appa hanya mengambil beberapa persen saja dari keuntungan total perusahaan. Namun kesehatan eomma dan appa yang menurun membuat kami harus mengolah keuangan untuk pendidikanku juga-"

   "Intinya kau butuh uang?" Jihoon mendengus malas. Berbelit adalah hal juga tidak disukai Jihoon. "Berapa yang kau butuhkan? Tabungan kami sudah cukup banyak. Kami tidak akan miskin hanya karena memberikan uang kami untuk kalian" Eunbi merasa nyeri disudut hatinya. Kata "Kami" yang Jihoon ucapkan benar-benar menyakitinya. Secepat itu kah?

  "Jihoon, tidak bisakah kau lebih halus-"

  "Katakan nominalnya, akan aku kirim segera" Ia melihat jam dipergelangan tangannya sejenak sebelum berdiri dan membawa kembali jas prakteknya di lengan kiri dengan tas ransel dipunggungnya. "Tenang saja, kalian tidak perlu mengemis padaku untuk bantuan yang kalian inginkan dariku" setelah dua langkah Jihoon kembali pada Eunbi dan berbisik tepat ditelinga gadis itu. "Bahkan jika kau mengambil alih perusahaan, kami, aku dan Soonyoung tidak akan langsung jatuh miskin. Kau tahu itu kan? Kami tidak akan mnegemis hak orang lain, seperti saat kau dan ibumu mengemis kepada ayahku dulu"

   "Sepertinya tidak termaafkan" Eunbi tersenyum pahit sekaligus tidak menyangka bahwa sebegitu dalam Jihoon membawa amarahnya.

  "Aku selalu membuka peluang pintu maaf. Jika, kalian dapat mengembalikan ibuku"

.

.

.

Drama (Squel of Mask) GSWhere stories live. Discover now