Sebelum baca, tinggalkan jejak kalian dengan memberi vote dan komentar.
Selamat membaca♡
°°°
Flashback on
Seorang anak remaja SMA kelas dua belas yang berumur delapan belas tahun itu dibawa masuk dengan secara paksa sama Ayahnya kedalam rumah. Sekuat tenaga ia berusaha untuk melepaskan cekalan itu, tapi tidak bisa. Tenaga sang ayah lebih kuat dari pada dirinya, rasa sakit dibagian wajahnya masih terasa nyeri.
Hari tersial bagi Ardhan Putra Sanjaya. Sudah dipanggil guru BK dan Ayahnya yang turun tangan langsung untuk mengenai perbuatannya di sekolah. Tidak hanya sekali, tapi ini sudah terjadi berulang kali.
Memang Ardhan akui kalau memang ini salah. Tapi, ia hanya membela dirinya saja saat perkelahian itu dimulai. Ya, Ardhan memang sering berkelahi dengan temannya entah masalah apa yang membuat dirinya ikut tersulut emosi.
Rasa sakit diwajahnya saat berkelahi memang tak ada rasanya, hanya saja saat wajahnya yang sudah babak belur kini ditambah lagi dengan pukulan sang ayah yang membuat wajahnya berkali lipat sakitnya.
"Sakit, Yah," keluh Ardhan.
Damar---selaku ayahnya Ardhan hanya mendengus sebal. Sudah berulang kali dirinya bilang jangan pernah membuat masalah di sekolah, tapi, kini putranya membuat dirinya malu sampai dipanggil guru BK disekolah lagi.
"Kamu sadar gak apa yang kamu lakuin itu salah! Sudah berapa kali ayah bilang jangan pernah buat masalah disekolah! Melihat sikapmu yang begini, keputusan ayah sudah bulat kalau kamu akan kami jodohkan dengan anaknya om Tito ketika Anindya sudah lulus SMA nanti. Ingat, kamu jangan pernah macam-macam bersama perempuan disana, ayah tidak akan segan-segan mengusir kamu dari rumah ini kalau memang kamu melanggarnya." Ucap Damar dengan marah.
Sebuah tepukan dibahu kanan Damar dapat ia rasakan, lalu ia menoleh kebelakang saat melihat Tito--- sahabatnya dari kecil.
Saat ini memang Tito bersama istri dan anaknya yang sedang berada di Jakarta. Lebih tepatnya ia sedang menginap dirumah Damar, selaku sahabatnya dulu dikampung.
"Aku gak habis pikir sama anak ini, To. Sudah berulang kali aku nasehati dia, tapi tetap saja bikin ulah!" Damar merasa frustasi.
"Jangan bertindak gegabah, Mar," saran Tito.
Ucapan Damar membuat seisi rumah menjadi menghampiri dirinya yang sedang berada di ruang tamu.
Rena, selaku ibu kandung Ardhan terkejut saat melihat anaknya yang sudah babak belur dengan seragam sekolah yang terlihat sangat kusut dan kotor. Wulan, yang memang istrinya Tito itu ikut melihat keadaan Ardhan. Niat ingin membantu tapi ditahan sama Rena.
"Mas Damar gak mungkin marah kalau memang gak ada sebabnya. Tenang aja, amarahnya akan mereda setelah ini." Ucap Rena sambil tersenyum.
Wulan mengangguk pelan. "Iya, Ren. Kalau begitu aku mau melanjutkan masak yang sempat tertunda tadi,"
Wanita itu memegang salah satu tangan Wulan. "Aku juga, biar ini jadi urusan ayahnya." Mereka berdua kembali ke dapur.
Ardhan langsung pergi menuju lantai dua, masuk kedalam kamar lalu merebahkan tubuhnya yang terasa sakit. Tangannya mengepal kuat, ia tidak habis pikir dengan pemikiran sang ayah. Bagaimana bisa ayahnya itu menjodohkan dirinya dengan anak sahabatnya itu. Apalagi, sahabat ayahnya itu dari kampung. Sudah bisa ditebak, pasti penampilan mereka akan membuat dirinya malu.
Suara ketukan pintu dari luar membuat dirinya bangun dari tempat tidur. "Masuk," teriak Ardhan.
Terlihat seorang gadis kecil berumur sebelas tahun masuk kedalam kamar Ardhan. Penampilannya sungguh menggemaskan, mempunyai kulit yang putih dan pipinya terlihat merah sepertinya ia habis dari luar dan rambut yang panjang dikepang dua.
"Ngapain kesini?!" Ketus Ardhan.
Gadis itu menunduk takut, ia tidak biasa bila mendapat bentakan dari orang lain. "Anin disuruh ibu buat obatin luka diwajah Bang Ardhan." Jawab Anindya dengan sangat pelan.
Anindya Cahyani. Itu nama gadis kecil itu yang berumur sebelas tahun. Anak dari Tito dan Wulan. Kalau tidak salah gadis itu sudah kelas 6 SD. Memang saat ini gadis itu sedang diajak sama bapak dan ibunya untuk main ke Jakarta.
Pemuda itu mendelik. Kenapa juga anak kecil ini mengganggu istirahatnya saja. "Gak perlu, gue udah biasa begini,"
Bukannya pergi, tapi gadis kecil itu tetap berdiri didepan pintu. "T-tapi nanti luka Bang Ardhan bisa infeksi, Anin ikut sedih lihat Bang Arhan begini," sepertinya Anindya menahan tangis, karena air matanya yang ia tahan sangat terlihat oleh Ardhan.
Sebuah anggukan dari Ardhan membuat Anindya tersenyum manis. Lalu ia mendekat kearah Ardhan dan duduk didekat pemuda itu.
Anindya sedang menuangkan alkohol dikapas itu, lalu perlahan ia menekan-nekan bagian luka yang ada diwajah Ardhan.
"Sttt... pelan-pelan. Sakit tau!" Ketus Ardhan.
"Maaf, Bang Ardhan." Anindya menunduk.
Ardhan memandangi wajah gadis itu cukup lama. Selama gadis itu mengobati lukanya, entah mengapa wajah itu sangat menggemaskan. Rambut yang panjang dikepang dua lalu senyumnya itu sangat manis apalagi terlihat sekali lesung pipinya saat ia mengizinkan masuk kedalam kamar Ardhan tadi.
"Anin udah selesai obati, Bang Ardhan," lamunan Ardhan buyar. Sontak ia membuang pandangan itu agar tidak terlihat sedang memperhatikan Anindya.
"Hm," jawab Ardhan.
Tapi Anindya tetap ada diposisinya. Ardhan mengernyit bingung, apa ada yang salah sama ucapannya?
"Ngapain sih lo masih disini? Gue mau istirahat, keluar lo!"
"Ibu bilang kalau kita mendapat bantuan dari seseorang harus mengucapkan terima kasih. Bang Ardhan gak mau bilang makasih sama Anin?"
Ardhan melongo. Bisa-bisanya gadis kecil itu menasehati dirinya. "Hm..... makasih," dengan terpaksa ia mengucapkannya.
Anindya mengangguk, "iya sama-sama. Anin mau bantu ibu buat kue lagi. Kata ibu Rena Bang Ardhan suka kue bolu kukus, nanti cobain ya kue buatan Anin. Bang Ardhan mau kan?"
Mengusap rambutnya secara gusar, gadis didepannya itu membuat dirinya pusing. Mau mengusir secara tidak sopan, tapi, kasihan. "Awas lo kalau buatan kue bolu kukus lo gak enak! Gue buang tuh bolu ke tempat sampah!" jawab Ardhan dengan acuh.
Saat itu juga Anindya mengangguk sambil tersenyum. Akhirnya, Ardhan mau memakan kue bolu buatannya. Anindya harus segara membantu ibunya lagi di dapur, supaya Ardhan bisa merasakan kue buatannya.
"Kenapa juga papa harus jodohin gue sama anak kecil kayak dia? Semoga aja nanti kalau dia udah besar dan udah jadi istri gue gak buat gue malu." Ucap Ardhan sambil menatap atap kamarnya, lalu ia menutup matanya karena lelah dengan hari ini.
Flashback off
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [COMPLETED]
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Sekuat apapun menjauh, kalau memang sudah takdir maka akan bertemu kembali. Katanya, ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah jawaban terjujur. Begitu juga yang dialami oleh Ardha...