Jadi, bagaimana bisa malah berakhir seperti ini?
Beberapa murid perempuan dan laki-laki sekarang menyerbu mejaku. Mata yang antusias dan penuh harap itu menakutkan. Seolah, mereka tengah memangsaku secara perlahan. Aku tidak fokus lagi menghitung berapa banyak jumlah mereka, yang pasti jalan keluar sudah benar-benar tertutup rapat.
Jantungku terus berdetak lebih cepat dari biasanya, perasaan tidak nyaman ini mulai menyebar kesekujur tubuhku. Aku memang selalu bermimpi untuk menjadi pusat perhatian, tetapi mengalaminya secara tiba-tiba begini ternyata lebih menyeramkan daripada apa yang kubayangkan.
Setelah bel istirahat berbunyi, tepatnya ketika kami selesai mendapatkan A-Card untuk masing-masing dan memperoleh kartu pentas dan satu kartu acak. Riri yang duduk di depanku mendapatkan kartu berwarna oranye. Vero mendapatkan kartu hijau.
Lalu ketika giliranku untuk maju dan mengambil alat itu, Bu Yana mengaktifkannya dan yang muncul malah kartu berwarna merah. Tentu saja semua orang terkejut atas kejadian tersebut, aku pun juga sama.
Aku masih ingat dengan kata-kata Bu Yana yang memberikan beban berat di pundakku.
"Selamat, kamu mendapatkan kartu merah. Kalian semua sudah mengerti, 'kan? Dia yang akan menentukan apakah kelas ini bisa mendapat banyak poin atau tidak. Sekali lagi selamat, dan berjuanglah."
Seandainya saja aku bisa memakai kutukan dan juga mantra. Mungkin aku sudah menyerang guru itu. Tidak, mungkin pihak sekolah yang memberikan kartu ini kepadaku yang seharusnya dikutuk. Probabilitas yang paling tidak kuinginkan malah terjadi.
Kemungkinan aku bisa mendapatkan kartu ini seharusnya adalah 1 banding 39. Ah, sepertinya takdir memang sedang mempermainkanku.
"Wah, enggak nyangka kalau kamu yang bakalan dapat kartu merahnya, Aila."
"Aku enggak terlalu ngerti, sih. Tapi kayaknya kalau yang punya kartu merah harus naruh kartunya di mesin, 'kan?"
"Kata Bu Yana tadi juga gitu. Kalau udah nguasain panggung otomatis bakalan dapat poin tiap jam, tapi kita juga harus hati-hati sama kelas lain."
"Benar juga, katanya tiap kelas bakalan punya satu kartu merah dan bakalan rebutan nguasain panggung. Dan katanya kalau mau ngerebut panggung yang dikuasain harus pakai kartu putih yang bisa dibeli di aplikasi."
Aku mendengarkan beberapa murid yang saling berdiskusi di depan. Mereka terus berbincang tanpa memikirkan bagaimana perasaanku yang masih menolak semua ini.
Hanya ada dua-tiga orang yang benar-benar tertarik untuk menyerang mejaku. Sisanya hanyalah pengikut mereka, tidak lebih tepatnya mereka mungkin hanya ingin menambah kecanggunganku.
"Aku enggak paham banget soal konsep kuasain panggung sama ngerebut yang Bu Yana maksud. Bu Yana emang bilang kalau enggak paham kita harus nanya, tapi aku enggak enak kalau kita kebanyakan nanya."
Dan oleh sebab itulah kamu tidak akan memahami apa pun. Aku memberikan komentar dalam hatiku atas kata-kata gadis berpita merah yang ada di sebelah kiriku.
Seharusnya mereka bisa lebih banyak menanyakan hal-hal yang tidak mengerti kepada guru kalau sudah diberikan kesempatan. Wali kelas lain dengan ringannya mengulurkan tangan, tetapi mereka hanya menyambutnya setengah saja.
"Apa Aila ngerti soal itu?" Vero menarikku ke dalam obrolan tadi.
Sejujurnya, aku ingin segera lari dari sini. Memasuki medan pertempuran yang sama sekali tidak diketahui adalah tindakan bunuh diri.
Kurangnya pengalaman berdiskusi dengan orang lain membuatku kesulitan bagaimana harus memulainya.
Sayangnya, Vero entah sengaja atau tidak malah mendorongku ke sana. Mustahil diriku bisa mundur sekarang, apalagi semua mata sudah mengarah kemari.
"Itu–"
Belum sempat aku menjawab, suara yang datang dari bangku di depanku memotong dan menarik perhatian kerumunan yang mengelilingiku.
"Kalian emang payah banget. Aku lupa kalau ini cuma Kelas F."
Bagai tirai panggung terbuka, beberapa murid yang menghalangi pandanganku menyingkir, memperlihatkan sosok Riri Arfiani berdiri dengan gaya congkak. Mataku bertemu matanya, ada gambaran tidak suka yang terlukis jelas di sana.
"Apa maksud kamu?" salah satu siswa nan mengenakan kacamata langsung bertanya, nada suaranya terdengar jengkel.
"Udah wali kelasnya enggak pedulian. Orang-orangnya di sini juga malah ngelepasin info di depan mata. Kalian ini emang pantes disebut buangan." Riri tetap kokoh. Meski dihujani banyak kebencian, ketegasannya sama sekali tidak terusik.
Sejak hari pertama Riri sudah menunjukkan permusuhannya di kelas. Aku tidak tahu sudah berapa banyak tingkat kemarahan orang lain yang ia bangun. Melihat situasi ini saja, aku bisa mengatakan kalau itu sangat tinggi.
Tentu saja reaksi yang diberikan murid-murid lain adalah cemoohan kasar. Seperti menyebut juga kalau ia adalah orang buangan dari Kelas A. Bahkan beberapa siswi yang terlibat dengan Riri juga mulai ikut melantangkan suaranya.
Namun, Riri benar-benar mengabaikan mereka dan terus menatapku. Suara-suara kejam itu tidak sampai ke telinganya. Seakan-akan, di dalam kelas ini hanya ada ia dan aku di matanya.
"Nama kamu, Aila, 'kan?"
Sontak semua orang diam ketika Riri angkat suara. Bukan karena ia menanggapi hinaan itu, tetapi konfirmasinya kepadaku yang membuat beberapa orang tidak paham dengan apa yang sebenarnya gadis itu inginkan.
Aku juga sejujurnya tidak mengerti apa yang ia mau. Namun, aku mengangguk memberinya jawaban.
"Sayang banget kartu merahnya malah ada sama kamu. Ya, untungnya kamu enggak kayak orang yang kepalanya langsung panas. Aku paham soal cara gunain kartu merah itu. Gimana kalau kita kerja sama?" Tanpa keraguan, Riri menawarkan sebuah proposal.
Di tengah medan perangku, serangan tidak terduga ini datang. Mereka yang ada di sekitarku juga kaget dengan apa yang Riri katakan.
Maksudku, mereka sedang berdiskusi soal bagaimana cara kerja kartu penguasaan ini. Beberapa saat kemudian, Riri malah mengatakan kalau dirinya mengetahui sistem kerjanya.
kenapa perkembangannya tiba-tiba berubah sejauh ini? Lalu bagaimana Riri mengetahuinya, meski Bu Yana tadi juga tidak menjelaskan secara spesifik?
"Apa kamu beneran tau cara gunainnya?"
Bukan aku yang bertanya, melainkan Vero yang melompat masuk ke dalam percakapan tersebut. Tatapannya tidak terlihat ingin tahu, tetap seperti tanpa minat seperti biasanya. Aku tak pernah tahu apakah dia memang penasaran?
"Kalian enggak percaya?" bukannya membalas, Riri malah mempertanyakan apakah dirinya tampak meragukan sampai-sampai sulit untuk dipercaya?
"Bukannya itu udah jelas, kamu itu cuma orang asing di sini. Apalagi kami masih enggak bisa percaya sama orang yang enggak kami kenal. Jujur aja, aku juga enggak bisa langsung percaya sama orang-orang di sini."
Pernyataan itu datang dari siswa berkacamata. Kalau tidak salah, namanya Haris. Ya, memang itu yang tertulis di nametag-nya. Aku ingat dia cukup percaya dengan Felly, dan kemudian kepercayaan itu hancur diakhir-akhir.
Tidak, bukan hanya dirinya. Hampir semua orang di kelas merasakan hal yang sama ketika kedok Felly yang menjual kelas ini ke Kelas D terbongkar. Pasti akan ada efek keraguan yang muncul terhadap teman-teman yang tidak dikenal baik.
Lagi pula, di sekolah ini memang tidak mengharuskan kami bekerja sama sejak awal. Sekolah ini, bermaksud untuk menjadikan kami makhluk individualis yang hanya bisa bergantung pada kemampuan sendiri untuk memperoleh popularitas.
Konsep kerja sama ataupun kelompok hanyalah hiasan kecil agar kami tidak menyadarinya. Jika benar itu berguna, mana mungkin kelas ditentukan oleh popularitas individu.
"Aku enggak peduli, kalian mau percaya atau enggak," balas Riri yang masih memasang wajah serius. Mata kami pun kembali bertemu satu sama lain. "Satu-satunya orang yang pengen aku ajak kerja sama cuma kamu, Aila. Aku bakalan tunggu jawaban kamu pulang sekolah nanti."
![](https://img.wattpad.com/cover/219120245-288-k496693.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
Teen FictionCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...