(Vol. 1) 3rd Event: Cinderella (Bagian 11)

30 15 0
                                    

Jam dinding di depan kelas menunjukan pukul 3 sore lewat beberapa menit. Sinar matahari sore sudah menembus jendela kaca, membuat pemandangan kelas jadi agak berwarna jingga.

Faksi gadis-gadis populer sudah pulang, begitupula anak laki-laki. Hanya ada aku duduk di tengah ruangan, dan beberapa siswi nan juga kurang bergaul dengan yang lain.

Aku memeriksa ponsel lagi, memastikan ada atau tidaknya pesan masuk dari Tiara. Padahal seharusnya dia sudah menghubungiku kalau memang ingin ditemani saat mendaftarkan lagu orisinil ke pihak OSIS dan akhirnya kami bisa melakukan pentas.

Aku sudah tidak sabar untuk bisa bermain musik dengan orang yang bisa disebut sebagai teman.

"Aila, kamu belum mau pulang?" tanya salah seorang siswi yang berbalik ke arahku.

Aku sedikit terkejut, terdiam beberapa saat. Baru pertama kalinya sapaan tadi diberikan padaku dan oleh orang yang bahkan namanya tidak aku ketahui.

Entah bagaimana, hari ini sepertinya semua orang di kelas sudah mulai menyapaku. Apa mungkin memang sudah saatnya fase popularitas dalam hidup dimulai?

Namun, jika mengalami perubahan sedrastis ini dalam sehari, untuk diriku sendiri pun tidak akan kuat. Semua yang secara tiba-tiba membuatku kaget sekaligus senang dan bahkan bingung jika ada yang mengajak bicara.

Mungkin aku akan terbiasa setelah beberapa hari. Akhirnya terlepas dari cangkang kesendirian di kelas, aku bisa menambah lebih banyak teman.

"Ah, iya duluan aja," balasku padanya. Hampir saja lupa kalau ia masih berdiri di depan pintu.

Ia langsung melambaikan tangan dan mengucapkan salam perpisahan dan pergi meninggalkan kelas bersama dengan siswi lain yang tersisa. Aku dengan senang hati membalasnya, meskipun mungkin wajah ini terlihat sangat canggung.

Sudah masanya mungkin untuk aku menikmati kehidupan SMA yang didambakan, di mana seorang gadis bisa memiliki banyak teman dan menghabiskan waktu bersenang-senang bersama.

"Mood kamu lagi baik kayaknya, nih."

Suara nan familiar terdengar, aku langsung menoleh ke arah sumber suara. Dari balik pintu tampak jelas sosok Felly yang tersnyum manis sambil menatapku. Setelah yakin tidak ada lagi orang di kelas, dirinya melangkah masuk. Raut wajahnya perlahan berubah menjadi dingin dan serius.

Akhirnya langkah itu berhenti, tepat ketika dia kini berdiri dihadapanku. Tatapan yang begitu serius seakan-akan menusukku.

Entah kenapa simfoni Toccata and Fugue in D minor rasanya berputar dalam pikiranku, menggambarkan situasi menyeramkan karena sedang berhadapan dengan penyihir kejam yang ingin melahap mangsa dihadapannya bulat-bulat.

"Gimana, kamu suka jadi perhatian anak-anak kelas, 'kan?" tanyanya tanpa ekspresi.

Jujur aku tidak ingin berurusan dengannya, mengingat beberapa hari sebelumnya kami adalah teman baik atau mungkin itu hanya aku yang beranggapan demikian? Tetapi, memang benar aku sama sekali tak mau menjadikannya musuh dan ingin tetap berteman. Apakah hubungan kami masih memiliki kesempatan?

"Apa yang sebenarnya kamu rencanain?"

Waspada dan jangan lengah, dia tidak mungkin kemari tanpa maksud. Selagi bisa berbicara dengannya, aku bisa mendapatkan beberapa informasi mengenai event dan juga bisa mengetahui rencananya yang ingin mengeluarkanku dari sekolah. Sepertinya tidak akan semudah yang dibayangnkan.

Tidak ada suara, dia hanya diam tanpa melakukan apa-apa disana. Kelihatannya Felly juga sedang mewaspadaiku. Ayolah, aku ini sebenarnya orang biasa yang ingin bisa menikmati masa muda dengan tenang, tak perlu bersikap menyeramkan seperti itu.

"Kalau kamu emang pengen tau, kenapa kamu enggak cari tau saja sendiri. Mustahil kalau orang kayak kamu itu enggak bisa nebak rencana sederhana dari aku."

Meskipun dia bilang begitu, aku sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan olehnya. Apanya yang rencana sederhana kalau aku sendiri tak tahu seperti apa itu? Felly benar-benar menjaga perkataan dan tingkah lakunya sehingga sulit untuk dimengerti.

"Aku ini bukan orang pintar yang biasa dapetin nilai 100. Malahan kamu bisa ngatain aku ini bodoh, dan aku enggak bakalan keberatan. Kamu terlalu mandang tinggi seseorang yang padahal biasa-biasa aja," sahutku tanpa membalas tatapannya.

"Apa orang biasa bakalan tetap tenang, kalau ada orang yang terang-terangan bilang benci ke dia saat lagi berduan di kelas ini." Felly menarik lenganku, memaksa untuk melihat ke arahnya.

Mata kami saling bertemu, dengan jelas aku melihat mata yang memancarkan kebencian. Ingin aku segera lari dari kenyataan ini dan pergi meninggalkan kelas.

Namun, tangannya benar-benar mencengkram dengan kuat. Benar-benar menyeramkan, aku mungkin sudah menangis jika duduk di bangku SMP.

"Kekerasan itu dilarang, lo. Di kelas ini ada CCTV." Aku menunjuk langit-langit yang ada celahnya sedikit. Meski, aku tidak tahu apakah itu benar-benar aktif atau hanya sekedar hiasan.

Posisi kami masih seperti tadi, tetapi tidak ada yang bersuara. Kelas seperti ruangan kosong walaupun ada kami berdua di dalamnya. Lorong bahkan tidak memberikan suara langkah kaki, mungkin anak Kelas 1 yang tesisa hanya aku dan dirinya.

Lenganku akhirnya dilepas, meperbaiki posisi tubuh yang tidak nyaman ini sekarang aku berdiri sambil menghadapnya. Wajah Felly masih seperti tadi, serius dan dingin. Aku sama sekali tidak tahu harus bagaimana kalau begini.

Felly bukanlah orang yang mudah dipancing, dia memiliki intuisi bagus sehingga sulit dijebak. Malahan dirinya bisa melancarkan serangan balasan, bukannya mendapatkan informasi malah aku yang memberikannya.

"Sebenarnya aku cuman pengen ngecek muka kamu aja, sih. Pas kamu udah mulai bisa akrab sama teman-teman kelas yang lain."

"Kamu benar-benar benci aku, ya?"

"Itu udah jelaskan? Aku juga udah ngomong beberapa kali dihadapan kamu. Bukan cuma kamu, aku juga benci semua orang di Kelas F," ujarnya dengan wajah sebal.

Tidak diragukan lagi kalau Felly membenciku dengan sungguh-sungguh. Dilihat bagaimanapun sejak awal mungkin dia benar-benar jijik karena harus bersikap baik di depan semua orang.

Dia sejak awal memakai topeng malaikat untuk menutupi sifat buruknya dan bisa dikenal baik oleh teman-teman sekelas, mungkin dia sudah berkali-kali menahan rasa mual akan sikapnya sendiri.

"Habis event ini Kelas F bakalan habis. Aku bakalan ingat kalian, kok. Makasih, udah mau jadi alat buat bantu aku naik ke kelas atas." Felly sedikit menyeringai, membuatku sedikit bergidik.

"Jadi kamu ke sini cuman buat ngomong gitu, 'kan? Aku lagi buru-buru, jadi maaf, ya," kataku sambil mengambil tas yang ada di bawah laci meja.

Namun, sekali lagi lenganku ditahan oleh cengkraman Felly. Melihatnya yang kali ini memasang wajah manis dengan senyum malaikat membuatku heran. Perubahan ekspresinya seakan ada orang lain di sekitar, tetapi aku sama sekali tidak menemukan siapa pun.

Tiba-tiba dia memeluk tubuhku, semakin membuat diri ini terkejut dan sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi. Felly membisikan sesutu, namun sangat pelan bahkan sampai tidak terdengar jelas sama sekali.

Dekapannya lalu terlepas, membuatku tersadar ketika Felly sudah berjalan menjauh. Lambaian tangan dan senyuman yang lembut membuatku semakin heran dengan kejadian mendadak tadi.

Popularitas adalah Segalanya (Melodi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang