03 September 2025
Belakangan ini hampir setiap sore air tumpah dari langit, bahkan sekarang pun terlihat agak mendung. Sepertinya nanti juga tidak berbeda dengan kemarin. Oleh sebab itu aku membawa payung yang biasa dipinjam di lantai satu asrama.
Angin sepoi-sepoi membelai pipiku dalam setiap langkah yang kuambil melewati jalan batu halus yang muat untuk tiga sampai empat orang. Meski masih jauh, aku sudah bisa melihat bangunan kelas setelah melewati taman dekat asrama.
Dalam perjalanan ini sendiri, banyak murid-murid yang juga berangkat ke gedung pembelajaran. Bedanya denganku, mereka pergi secara berkelompok sementara aku hanya berjalan sendirian.
Ini agak berbeda dengan bulan lalu. Di mana aku biasanya berangkat bersama anggota kelompok musik yang dibuat untuk berpartisipasi dalam event sebelumnya. Sayangnya, hubungan kami kandas setelah pengumuman terakhir itu.
Tidak, lebih tepatnya hubunganku dengan Tiara Pratiwi yang berakhir setelahnya.
Ada beberapa hal terjadi, dan ia akhirnya mengeluarkan isi pikirannya. Ketidaksukaannya memasuki sekolah ini karena perintah Pak Santoso untuk menemaniku. Ia juga mengatakan kalau membenciku sejak awal aku memasuki rumahnya.
Semua sikap bersahabat itu adalah kepura-puraan dihadapan orang tuanya. Dan pada akhirnya karena tidak sanggup lagi menahan, semua perasaan Tiara tumpah tepat dihadapan wajahku.
Salahku sendiri memang karena membuatnya begitu. Seharusnya aku tidak boleh mengeluh.
Sedangkan untuk Daniel Andrawesa. Dari yang aku dengar, dia menerima skors karena perbuatannya yang terlalu sembrono. Pertengahan bulan lalu, Daniel menyerang siswi di kelasku yang bernama Nopi Ariani. Namun, aku sedikit terkejut karena pihak sekolah lambat mengerahkan tangannya.
Kalau dipikir-pikir, seperti ada orang lain yang menarik benang tentang masalah tersebut. Apalagi fakta kalau Daniel hanya mendapat skors atas perbuatan mengerikannya yang mengancam nyawa orang lain. Hukuman skorsing lebih ringan daripada yang bisa dibayangkan.
Aku mendengar dari teman-teman sekelas kalau Nopi saat ini sudah mulai membaik. Hanya saja kukunya yang dicabut itu perlu waktu lama untuk benar-benar sembuh. Aku mungkin harus menemuinya, lagi pula gadis itu teman sekelasku yang terkena serangan rekan sekelompokku.
Larut dalam berbagai pemikiran itu, aku tanpa sadar sudah berada di depan gedung kelas. Membuang pemikiran tadi ke sudut kepalaku, aku pun melangkahkan kaki masuk ke dalam.
Tepat di saat hendak masuk, tanganku ditahan oleh seseorang. Hal itu membuatku refleks dan segera menoleh ke belakang. Kudapati sosok Ryan Pratama yang masih mencengkaram lenganku sembari menatapku.
"Selamat pagi, bisa minta waktunya sebentar?"
Dia tersenyum lembut, sedikit memiringkan kepala ketika mengatakan hal barusan. Ryan seolah tidak peduli dengan tatapan murid-murid lain di sekitar sini yang mulai memperhatikan kami.
Sedangkan aku mulai merasa ini akan menjadi sesuatu yang gawat kalau di antara mereka ada anak-anak yang mengenakan blazer hitam. Tidak, tidak. Menjadi pusat perhatian seperti sekarang saja sudah bisa membuat hatiku terus berdegup kencang.
Dirinya benar-benar curang. Mengajukan tawaran seperti menempatkanku di ujung tepi tebing curam. Aku tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti permainannya agar puluhan pasang mata yang terfokus padaku segera lenyap.
"Apa yang pengen kamu lakuin?" aku mencoba melepaskan cengkramannya, tetapi genggaman Ryan malah semakin kuat. Dia benar-benar tidak melepaskanku.
"Gimana kalau kita bicara sebentar?" tawarnya sembari memperpendek jarak di antara kami. "Tentu aja bukan di sini." Bisiknya, tepat di samping telingaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
Novela JuvenilCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...