(Vol. 1) 2nd Event: Alice (Bagian 9)

43 17 0
                                    

29 Juli 2025

Kelas masih sama seperti biasa. Ketika guru menjelaskan di depan, banyak yang memainkan smartphone-nya, bahkan secara terang-terangan tangannya ada di atas meja. Orang-orang di belakang ada yang ribut dan ada pula nan tertidur dengan pulasnya.

Mataku jadi terasa berat, seperti terhipnotis untuk ikut tertidur. Sekolah ini sepertinya tidak mempermasalahkan kelakuan siswanya. Jadi tidak apakan kalau aku juga tidur?

Tidak, jangan tertidur Aila. Aku tidak boleh memperlihatkan sifat yang menyedihkan seperti ini kalau ingin memperbaiki citraku di kelas.

Jika aku terlelap seperti anak yang di belakang maka diriku akan dicap sebagai anak pemalas dan sudah pasti bagi anak perempuan akan sulit berteman dengan reputasi yang buruk seperti itu.

Kelas Teori Bentuk Musik di jam terakhir benar-benar membosankan, rasanya ingin segera pergi ke kasur dan merebahkan diri yang penat. Helaan napasku tanpa sadar keluar, membuatku sedikit berpikir apakah ini fase di mana manusia akan bosan dengan rutinitasnya?

Mungkin aku sudah dalam tahapan tersebut, semua kegiatan monoton selama beberapa minggu ini benar-benar membosankan. Padahal awalnya kukira akan menikmati hari demi hari di sekolah.

Hal ini bisa juga disebabkan karena kurangnya aku berinteraksi dengan orang-orang yang ada di kelas. Sudah kuduga kalau menyendiri itu memang membosankan.

Aku hanya berbincang dengan Felly ketika ada di kantin atau saat berangkat dari asrama menuju gedung pelajaran. Sepertinya aku memang harus mencari lebih banyak teman.

Bel pulang telah berbunyi dan sepertinya ini adalah saat-saat yang paling ditunggu oleh seluruh orang di dalam kelas. Kami mulai merapikan barang-barang kami ketika guru yang mengajar sudah keluar dan mempersilahkan kami untuk melakukan presensi kehadiran. Semua orang berbaris, mengantre agar bisa mengisi daftar hadir mereka pada sistem melalui fingerprint di sana.

"Kalau enggak salah hari ini bakalan ada pentas di gedung teater, 'kan? Pengen nonton enggak?"

"Katanya yang main kalau enggak salah dari kelas 3 sama kelas 2 ya?"

"Aku denger-denger dari Kelas 1-A ada yang ikutan, tapi aku enggak tau siapa. Katanya, sih cewek."

Mereka membicarakan tentang teater yang diadakan kakak kelas, atau mungkin dari klub teater modern. Biasanya mereka akan mengadakan pertunjukan untuk menghibur diri sendiri dan anak-anak lain.

Karena selama 3 tahun kami akan terisolasi dari dunia luar, jadi wajar saja mereka mencari hiburan dengan permainan yang mereka pelajari dari sekolah.

Aku ingin menontonnya, tapi apakah mereka akan mengajakku? Tidak mungkin aku bilang kalau ingin ikut menonton kalau belum terlalu mengenal mereka.

Bahkan nama gadis-gadis itu saja aku sudah lupa karena jarangnya komunikasi dan presensi yang dilakukan mandiri sehingga guru tidak perlu lagi memanggil nama kami satu persatu. Sungguh kemajuan teknologi yang menghilangkan sisi sosisal manusia.

"Kalau enggak salah, namanya Pricellia. Aku jadi penasaran dia meranin apa. Kalian mau ikut aku nonton enggak?"

"Aku sih mau aja, tapi bayarin tiketnya ya. Soalnya uang aku tinggal sedikit."

Pembicaraan mereka terus berlanjut, tapi aku tidak mendengarkan kelanjutannya karena saat ini sudah giliranku. Jari telunjukku sudah diletakan sehingga terdengar suara sukses.

Lorong sudah mulai sepi, sepertinya setiap anak di kelas lain juga sudah mulai keluar dari gedung. Hanya aku yang tersisa di sini sampai-sampai berlari sambil berteriakpun tidak akan ada yang keberatan.

Pemikiran tadi berubah ketika ada seseorang yang berlari kecil dari arah berlawanan. Dia seorang anak laki-laki dari Kelas D, entah kenapa dirinya terlihat buru-buru. Aku tidak terlalu peduli sehingga kami akhirnya berpapasan di ujung lorong.

Akan tetapi, langkahku terhenti tepat ketika menginjak sesuatu. Kepalaku mengarah ke bawah, melihat apa yang ada di sana. Secarik kertas putih yang menarik perhatian. Akhirnya aku membungkuk untuk memungut kertas tersebut.

***

Aku memasukan smartphone kembali kedalam saku ketika ingin pergi meninggalkan kamar. Melihat jam yang sudah hampir menunjukkan pukul 08.00, aku bergegas agar tidak terlambat dimata pelajaran Matematika. Dikarenakan hari ini yang mengajar adalah guru paling kejam diantara guru lainnya.

Hukuman yang beliau berikan biasanya adalah berdiri di depan kelas sampai pelajaran berakhir. Tidak mau berada pada posisi memalukan itu, aku harus secepatnya sampai di gedung pelajaran.

Hari terakhir dibulan Juli, tanpa terasa sudah hampir sebulan aku menjadi murid SMA Amemayu. Hubungan pertemananku dengan Felly berjalan lancar, kami jadi lebih sering ke kantin dan pulang bersama.

Sayangnya, kami masih kurang berbincang. Sementara Tiara semakin sibuk dengan kegiatan ekskulnya, jadi agak sulit untuk menemuinya beberapa hari belakangan ini.

Paling tidak aku sudah memiliki teman di kelas yang sama, sehingga rasa kesepian ini bisa menghilang meski hanya sedikit. Aku harus bisa mendapatkan teman lagi agar bisa lebih dekat dengan impian utamaku untuk menikmati kehidupan masa muda yang menyenangkan.

Musim kemarau mungkin akan mencapai puncaknya pada Agustus. Ingin sekali rasanya musim hujan segera datang supaya tidak merasa gerah lagi ketika berjalan dari asrama ke gedung pelajaran. Hanya beberapa menit di luar saja sudah membuat punggungku berkeringat.

Kelihatannya bukan hanya aku yang gelisah, anak-anak lain yang berjalan di sekitarku bahkan menggunakan kipas untuk mengurangi hawa panas. Bahkan kancing blazer mereka dibiarkan terbuka untuk membiarkan angin masuk. Sepertinya itu bisa membantu, tanganku mulai membuka kancing seragam tebal ini.

Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang cepat, walaupun hanya satu orang jelas sekali sangat berisik. Ketika aku hendak memalingkan wajah ke belakang, seorang siswa dengan blazer abu-abu berlari dengan cepat dan melewatiku begitu saja.

Orang itu berlari tanpa memperhatikan sekelilingnya. Dia luar biasa, kalau aku melakukannya mungkin saja sudah pingsan ketika sampai dipintu depan. Pandanganku teralihkan, kepada sosok anak laki-laki yang sedang menunggu di bawah pohon nan besar dan juga tinggi.

Langkahku akhirnya berhenti, tepat ketika aku beradiri sekitar setengah meter dari tempat anak itu berdiri. Blazernya yang berwarna camel, menandakan dia adalah anak Kelas D.

Ekspresinya yang ramah membuatku sedikit canggung, matanya terus memperhatikanku tanpa berkedip menambah anehnya situasi sekarang.

"Aku nungguin kamu lama banget lo, enggak pengen minta maaf gitu?" tanyanya sambil tertawa senang.

"Maafin aku kalau gitu."

Diriku ini tidak salah karena pesan yang dia kirim tadi juga mendadak. Jelas saja aku tidak bisa bersiap-siap dan beginilah hasilnya, keterlambatan. Mungkin dia mengirim pesan ketika dirinya sampai di sini dan berdalih kalau sudah menunggu cukup lama.

Wajahnya masih tenang meskipun kata-katanya sedikit sarkastik. "Iya, aku terima permintaan maaf kamu, asalkan kamu mau jalan bareng aku besok."

Aku kaget dengan apa yang dikatakannya barusan. Apakah ini yang dimaksud ajakan kencan? Ah, aku tidak terlalu mengerti, tapi sepertinya ajakan itu tidak bisa ditolak.

"Apa maksud kamu?"

"Aku udah bilang jelas banget kok. Kamu pasti paham, 'kan? Jadi besok kita bakal pergi ke taman yang ada di dekat perumahan para staf. Aku tunggu besok di depan asrama jam 8. Aku duluan, bye," ujarnya yang kemudian berjalan meninggalkanku.

Dia sudah pergi bahkan tanpa mendengar jawabanku. Apa-apaan dia itu? Bukankah yang dilakukannya sangat tidak sopan. Apalagi dari perkataannya tadi seperti memaksa. Namun, aku sedikit tertarik karena ini akan jadi pengalaman pertamaku untuk pergi keluar dengan seorang anak laki-laki. Apakah aku akan gugup seperti biasa atau tidak, aku jadi penasaran.

Popularitas adalah Segalanya (Melodi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang