(Vol. 2) 1st Event: Penebang Kayu (Bagian 2)

88 32 0
                                    

Aroma berbagai makanan tercium, ada yang jelas dan ada juga nan samar. Meski bisa mengingatnya, aku tidak bisa mengatakan dengan persis bau makanan apa saja itu, yang jelas baunya enak.

Bel istirahat pertama sudah berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Kantin di gedung pembelajaran memang tidak seramai waktu makan siang, tetapi bukan berarti kalau tempat ini tidak dikunjungi murid-murid.

Kedai-kedai buka seperti biasa, penjaganya selalu melayani pembeli dengan senyuman ramah. Walau sebenarnya siapa pun tahu itu adalah senyuman yang dipaksakan.

Dari dua ratus lebih kursi, paling tidak kurang lebih sepuluh meja terisi di setiap sudutnya. Mulai dari kumpulan orang-orang dari kelas yang sama, atau kelompok dari kelas yang berbeda-beda.

"Aila, kenapa kamu ngelamun?"

Pertanyaan barusan berhasil menghancurkan pengamatanku. Gadis yang ada di depanku mengenyitkan dahinya. Mata itu beberapa kali berkedip, tetapi tidak melepaskan pengamatannya dariku.

"Enggak apa-apa, kok." Aku tersenyum untuk memberikan kesan ramah seperti yang biasanya Ryan lakukan. Mana mungkin juga aku bilang kalau tadi sedang mengamati kantin, 'kan?

"Bukannya dia udah biasa ngelamun?" Anjas yang ada disebelah Sherly bersuara. Meski masuk ke dalam obrolan kami, dia masih fokus dengan kentang goreng yang tadi dipesannya.

Anjas kini tidak lagi mengenakan blazer camel seperti sebelumnya. Warnanya sekarang adalah coklat, artinya dia naik dari Kelas D ke Kelas C. Sementara gadis di sebelahnya–Sherly–malah memakai warna abu-abu, Kelas E. Ia telah turun dari Kelas D

"Haha, benar juga. Aila emang suka ngelamun, sih."

Aku tidak menanggapi ucapan Sherly barusan, hal yang menarik perhatianku sekarang adalah sosok laki-laki yang menjadi kartu liarku mengelabui Ryan Pratama beberapa waktu lalu.

Berkatnya aku bisa menjebak seorang Amemayu Children's agar dibenci Kelas F dan aku berhasil mendapatkan beberapa simpati dari teman lain karenanya.

"Jadi, kamu mau ngomongin apa?" Anjas kini menatapku setelah memasukkan kentang goreng terakhirnya ke dalam mulut.

"Enggak ada," balasanku membuat Anjas dan Sherly sekali lagi mengernyitkan dahi. "Aku cuma pengen ada yang nemenin aku ke kantin. Apa enggak boleh?"

"Cih, buang-buang waktu."

"Boleh banget, kok. Aku bakalan temenin Aila terus."

Respons kontradiktif yang datang dari dua orang di depanku benar-benar membautku semakin yakin kalau manusia memang akan memandang orang lain menurut perspektifnya masing-masing.

Bagi Anjas mungkin yang kulakukan ini hanyalah kegiatan sia-sia. Sementara Sherly yang terlihat antusias dengan senyuman polosnya seolah tidak peduli dan akan terus mengikuti apa yang kukatakan.

"Aku cuma mau ngucapin terima kasih karena kamu udah mau kerja sama. Tapi aku masih enggak nyangka kalau kamu ngasih tau orang lain pas aku aktifin A-Box."

Tubuh Anjas menegang, seperti pencuri yang baru saja tertangkap basah. Sungguh orang yang gampang dibaca. Untuk kemampuan aktingmu, aku akan memberikan nilai dibawah 10 dari 100.

"A-apa maksud kamu?"

"Aku sebenarnya enggak peduli. Tapi aku bener-bener enggak nyangka kalau ternyata kamu bisa ngekhianatin dua orang sekaligus."

Setiap kata yang aku ucapkan membuat udara di sekitar kami menjadi lebih berat. Anjas makin memperlihatkan kegelisahan, dari tadi jemarinya terus bergerak.

"Kalian bicarain apa?"

Di tengah tensi yang semakin tinggi, Sherly memecahkannya. Aku hampir lupa kalau gadis ini juga ikut. Seharusnya tadi aku hanya mengajak Anjas saja, tetapi untuk menghindari rumor aneh, kehadirannya sangat aku butuhkan.

"Enggak bicarain apa-apa, kok. Oh iya, katanya Daniel turun ke Kelas E, ya?"

Aku segera mengubah topik pembicaraan kami. Ketegangan yang dari tadi memeluk Anjas sudah sirna setelah dirinya menghela napas panjang. dia melirik ke arah Sherly dan menampilkan mimik aneh, seolah mengucapkan 'terima kasih'.

Sherly dalam beberapa detik tampak terkejut, sebelum dia menundukkan kepala dengan ekspresi kurang nyaman. Matanya juga ikut menghindari kontak denganku yang menatapnya penasaran.

"Katanya Daniel kena skorsing gara-gara ngelakuin kekerasan pas event," ujar Sherly ragu-ragu.

"Eh, aku baru dengar soal itu? Emang apa yang Daniel lakuin?"

Tentu saja itu bohong. Aku tahu betul apa yang sebenarnya telah Daniel lakukan. Andai aku tidak satu kelompok dengannya dulu, mungkin sudah kulaporkan dirinya sejak awal kepada pihak sekolah karena menganiaya Nopi Ariani.

Bukan tanpa alasan, dia melakukan itu untuk membuat Nopi buka mulut tentang siapa yang sebenarnya memberi gadis itu lagu kami kepadanya. Cara yang benar-benar ceroboh.

Mungkin penurunannya dari Kelas B ke Kelas E disebabkan oleh tindakan kekerasan tersebut. Untung saja hal itu tidak mempengaruhi kelompok kami.

"Kamu enggak tau?" Sherly menampilkan raut tidak percaya terhadap kata-kataku tadi.

Aku mengangguk. Memang aku mengetahui soal Daniel yang menganiaya Nopi, tetapi detail mengenai penurunan kelas dan juga skorsing-nya baru-baru saja sampai ke telingaku.

Kebimbangan di raut muka Sherly terlihat begitu jelas. Ia memang selalu kelihatan ragu-ragu, tetapi sekarang gadis ini lebih seperti tidak mau membuka mulutnya.

"Beritanya emang belum nyebar, tapi bukannya di Kelas F ini sudah jadi topik hangat?" Anjas yang mengatakan hal barusan membuat Sherly terkejut dan sontak menoleh ke arahnya.

Sherly kembali menunduk, tapi kali ini ia berucap, "Iya, harusnya di kelas kamu beritanya udah nyebar. Soal cewek di Kelas F yang disiksa sama Daniel, terus cewek itu belum sadar sampai sekarang. Makanya dia kena skorsing sehabis event."

Siswa dilarang melakukan kekerasan. Itu adalah salah satu aturan yang terdapat pada buku panduan siswa. Hukumannya pengurangan popularitas dan juga skorsing yang waktunya akan ditentukan sekolah dilihat dari beberapa aspek.

"Apa hukumannya bisa lebih parah, atau mungkin bakalan pengaruhin kelompok kita?"

Kepala Sherly langsung menggeleng. "Aku juga enggak tau bakalan gimana, tapi ...."

Sekali lagi ia menampilkan kegelisahannya. Apa yang sebenarnya Sherly simpan? Pertanyaan itu mulai terngiang-ngiang di kepalaku. Namun, aku tidak bisa memakai metode apa pun untuk sekarang, mengingat masih ada Anjas di sini.

"Tenang aja, hukuman itu sifatnya individu. Selama kamu enggak terlibat sama tindakan kekerasan yang dilakuin Daniel, kamu masih aman." Anjas yang sudah kembali tenang meyakinkanku.

"Gitu, ya?" aku berhenti mengejar topik mengenai Daniel. Baiklah, sekarang fokus kepada tujuan utamaku memanggil Anjas. "Ngomong-ngomong, apa wali kelas kalian udah ngasih tau soal free event sama UTS?"

Popularitas adalah Segalanya (Melodi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang