(Vol. 2) 1st Event: Penebang Kayu (Bagian 13)

64 25 6
                                    

10 September 2025

"Aku masih enggak nyangka kalau bakal kalah persiapan gini," desah Ryan sambil menutup mata.

Ini adalah hari ketiga free event dimulai. Penaklukan panggung untuk orang-orang yang memiliki kartu merah juga sudah terjadi. Seharusnya begitu, tetapi dalam waktu singkat semua panggung sudah dikuasai.

Aku sedikit terkejut ketika dia bilang kalau kejadian ini di luar prediksinya. Berkali-kali Ryan mengeluhkan kecerobohannya, tetapi itu jelas tidak akan membantu.

Saat ini aku dan Ryan sedang duduk di salah satu sudut Kafe Bangau Kertas. Lantai satu kafe memang tempat sesuai untuk membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia. Jarang sekali ada murid kelas 1 datang kemari, kecuali Ryan Pratama tentunya.

"Terus apa yang bakalan kamu lakuin sekarang?"

"Buat ngadepin Kelas C kayaknya masih gampang. Masalahnya ada di Kelas A. Kamu tau sendiri 'kan gimana kemampuan mereka?" Ryan memberikan pendapatnya setelah berpikir sejenak.

Dari tiga belas panggung yang tersebar di kota, Kelas A sudah menguasai sekitar tujuh panggung dan Kelas C menguasai enam panggung. Awalnya Kelas B dan Kelas E sudah berhasil mendapatkan masing-masing satu panggung, tetapi direbut oleh seseorang dari Kelas C di hari kedua free event.

Sisa 4 hari lagi, dan poin yang aku dapat hanya 110. Kalau hari ini aku juga tidak mendapatkan panggung, hanya ada bahaya yang menghadang di depan nantinya. Aku harus segera keluar dari situasi sulit ini.

Oleh sebab itulah aku menemui Ryan untuk berbagi pikiran dan mencari jalan keluar. Namun, sepertinya dia juga berada di dalam kotak yang sama denganku.

"Sebenarnya Kelas A mau ngelakuin apa sampai-sampai nimbun banyak poin?"

Aku tidak bisa mendapat gambaran apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh orang dibalik rencana tersebut. Informasi mengenai orang itu sama sekali tak kumiliki. Sulit menyimpulkan jika aku belum bertemu dengannya.

Dari sorot matanya Ryan tampak ragu, tetapi dengan cepat dirinya membalas, "Kamu udah denger hal ini dari guru, 'kan? Kalau poin yang dikumpulin bakalan dipakai buat event utama yang barengan sama UAS?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. Memang begitulah apa yang dikatakan oleh Bu Yana. Namun, aku tidak mengetahui apa hubungan poin dengan event berikutnya. Hal yang jelas sekarang adalah, poin-poin digunakan untuk membeli kartu.

Siswa dari Kelas yang memiliki kartu merah mengecek semua panggung sebelum free event dimulai dan akhirnya memulai dengan poin yang cukup banyak sehingga bisa membeli beberapa kartu merah lainnya.

Kelas lain terlambat menyadari kalau ada hadiah dari pengecekan panggung sebelumnya dan berakhir dalam situasi ujung tanduk setelah Kelas A menguasai separuh dari total panggung.

Entah bagaimana, Kelas C bisa melakukan hal yang sama. Mereka berhasil menguasai enam panggung setelah dua hari free event dimulai. Sebelumnya ada dua panggung yang dikuasai oleh Kelas B dan E, tetapi berhasil direbut.

Dan untuk merebut penguasaan panggung diperlukan kartu berwarna hitam yang bisa dibeli melalui aplikasi dengan biaya 800 poin. Lebih mahal 300 poin dibandingkan kartu merah dan hanya bisa sekali pakai. Jadi kalau mau menantang, maka terpaksa harus membeli lagi.

"Berarti orang itu pengen ngebuat orang-orang di kelas lain jadi susah pas event nanti, ya?"

Aku sampai pada kesimpulan itu. Dengan menguasai panggung, murid-murid di kelas lain akan kesulitan mengumpulkan poin. Dan karena harga kartu hitam mahal dan berisiko kegagalan, orang itu memaksa kami mengais poin sedikit demi sedikit.

"Ngambil panggung dari Kelas A itu susah. Kalau kita gagal ngambil panggung, kita cuma buang-buang poin. Kelas C sebenarnya juga termasuk sulit, tapi masih ada kemungkinan panggungnya bisa diambil."

Ryan terus menggerutu sambil memikirkan rencana. Roda gigi di kepalanya pasti berputar lebih banyak daripada biasanya. Namun, memang situasi sekarang benar-benar gawat.

Sebab bagi murid yang melakukan pentas pada panggung yang tidak dikuasai kelasnya, poin yang didapat hanya separuh saja. Sisanya akan dimiliki oleh si pemegang kartu merah. Mendapatkan 10.000 poin dalam seminggu hanya angan-angan saja kalau begini.

"Risikonya gede, orang lain juga mikir sulit ngadepin Kelas A yang nguasain panggung. Akhirnya pas kita tampil buat nyari poin, mereka juga bakalan ngambil setengahnya ...."

Ini benar-benar gawat.

"Apa kamu kepikiran ide gila lainnya?"

Mataku terbuka lebih lebar setelah tersentak atas kata-katanya. Tidak, aku tidak pernah memiliki ide gila. Lalu sejak kapan dirinya berani mengucapkan kalimat tersebut? Dasar, menyebalkan.

"Apa maksud kamu?"

"Bukannya kamu bulan kemarin ngancurin alat musik teman sekelas aku biar bisa gagalin rencana aku? Harusnya kamu juga punya ide gila di situasi kita kayak gini," ujar Ryan mengungkit lagi kejadian lalu.

"Aku cuma ngikutin alur rencana kamu. Lagian itu ide yang biasa. Aku rasa siapa aja bisa mikir gitu kalau pengen jadi guest performance biar dapetin popularitas."

Ryan mengembuskan napas berat, memandangku dengan tatapan remeh. Dia menyandarkan tubuhnya ke bangku sebelum meminum kopi yang sudah mulai dingin.

Lebih dari dua puluh menit berlalu semenjak minuman kami datang. Masalah kami bahkan belum mencapai titik terang dari pembicaraan tadi. Kelas D dan Kelas F sungguh dalam bahaya sekarang.

"Lupain hal itu. Aku enggak bakalan banyak berharap, soalnya kamu sendiri pengen gunain aku biar bisa nikmatin ketenangan di sini," cibirnya.

Ah, kamu ternyata orang yang mudah mengerti. Aku berterima kasih dari lubuk hatiku yang tedalam.

Seketika Ryan menampilkan senyuman bersahabatnya. Lengkungan di bibir itu benar-benar sempurna, memberikan kesan kalau dirinya memang sangat mudah didekati dan sama sekali tidak berbahaya.

"Dan aku bakalan lindungin kamu."

Di tengah-tengah suasana canggung, Ryan mengatakan kalimat yang serupa dengan hari itu. Hari di mana dia tiba-tiba memelukku dan mengeluarkan kata-kata manis.

Jantungku rasanya berdetak lebih cepat dan sama sekali tidak teratur. Apalagi setelah melihat wajah Ryan yang tersenyum dengan polos. Ini benar-benar membingungkan. Apa ini reaksi penyakit terbaru ketika melihat orang yang berbahya?

"Apa ... kamu sengaja?" Aku sedikit ragu, sehingga ada sedikit jeda dipertanyaan tadi.

Bukannya menjawab, Ryan malah memperlebar senyumnya. Jantungku makin tak karuan, bahkan aku bisa mendengarkan suaranya. Aku tidak bisa melihat wajahku sendiri, tapi sepertinya raut kebingungan tergambar jelas di sana.

Sepertinya aku harus pergi ke klinik besok untuk memeriksa penyakit aneh ini.

"Aku bakalan cari cara. Masih ada sisa empat hari. Oh iya, buat UTS entar apa kamu bisa ajarin aku sedikit? Kayaknya bakalan sulit buat curang kalau udah urusan UTS atau UAS." Ryan mengembalikan arah pembicaraan kami yang sempat berbelok sebentar.

"I-iya."

Kenapa tiba-tiba aku terdengar gugup? Tidak, tidak. Ini sangat aneh. Aku bahkan merasakan jantungku benar-benar ingin meledak ketika dia meminta untuk diajari. Ketika aku melihat wajahnya lagi, Ryan kembali tersenyum padaku.

Popularitas adalah Segalanya (Melodi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang