09 September 2025
“Gimana, nih?”
“Bukannya gawat kalau kita enggak bisa ngehasilin poin?”
Keributan terdengar dari dalam kelas ketika aku semakin dekat. Ketika aku sudah sampai di depan pintu, semua mata seketika mengarah kemari. Namun, dalam sekejap menghilang bagaikan angin lalu.
Mereka kembali ribut dengan kelompok teman masing-masing. Aku yang tadi sedikit terkejut langsung mengabaikannya dan menuju ke arah bangku milikku.
Baru pukul tujuh lewat dua puluh menit, tetapi hampir semua bangku sudah terisi. Beberapa murid yang biasanya datang agak siang juga sudah tiba sepagi ini.
“Lo sebenarnya udah tau, ‘kan?” aku bisa melihat gadis pembuat masalah mendatangi meja Riri. Dia memukul meja cukup keras, menarik perhatian seisi kelas. “Terus kenapa lo enggak bilang sama kita?!”
Di belakang gadis itu ada dua orang temannya. Satunya memakai pita biru dengan blazer yang tidak dikancing. Seorang lagi mengenakan blazer yang diikatkannya di pinggul.
Setelah dipikir-pikir aku tidak pernah menaruh perhatian kepada mereka. Dari kacamataku, mereka hanyalah gadis-gadis merepotkan yang mustahil kuraih untuk dijadikan teman.
Nama gadis itu Rosiana Jessica, terlihat jelas dari nametag-nya meski aku benar-benar tidak mau peduli. Sementara yang dua sisanya hanyalah figuran yang mudah dilupakan, mungkin.
“Kenapa aku harus ngasih tau orang bodoh?”
Balasan yang dilontarkan Riri sedikit mengejutkan. Ia seperti tidak menyadari kalau kata-kata itu hanya akan memancing kemarahan orang-orang di kelas, bukan cuma Rosiana dan antek-anteknya.
“Lo ngomong apa barusan?!”
Sekali lagi meja itu dipukul. Aku jadi merasa kasihan, benda mati itu padahal tidak salah.
Urat di dahi Rosiana semakin tampak, kulitnya merah bagai cabai yang baru matang. Dia melotot ke arah Riri dengan salah satu sudut mulut yang terangkat.
“Kalian tuli? Sampah kalau dikasih tau juga enggak bakalan dengerin itu, ‘kan? Kalian sukanya main-main dan enggak pernah merhatiin gimana sekolah ini. Sampah selamanya bakalan tetap jadi sampah.”
Itu kata-kata kejam yang menambah bahan bakar ke kobaran api. Walau demikian, dalam hati kecil aku sedikit setuju dengan ucapan Riri. Murid-murid Kelas F terlalu menganggap enteng SMA Amemayu.
Sikap mereka tidak berubah, meski sudah mendapat ancaman dropout dari event pertama. Terus bermain-main dan malah akhirnya panik ketika hampir pengumuman.
Ah, dipikirkan bagaimanapun mereka masih anak-anak. Tunggu, aku juga begitu. Mungkin lain kali aku harus lebih santai dan ikut bermain-main bersama mereka.
Aku bisa mendengar banyak keluhan dan cacian yang bercampur menjadi satu. Bukan hanya dari kelompok Rosiana. Hampir semua gadis-gadis di kelas langsung melempari Riri dengan kebencian.
Kata-kata Riri memang kejam, tetapi balasan mereka benar-benar kasar sampai aku ingin menutup telinga. Aku selalu berpikir, kenapa ada peribahasa ‘setajam-tajam pisau, masih lebih tajam lidah’ ... jadi ini artinya.
“Kalian payah. Kenyataannya emang gitu, ‘kan? Kalian sama sekali enggak naruh perhatian buat free event, terus sekarang bingung soalnya Kelas A udah punya poin dan bikin kita sulit tampil gara-gara mereka pakai kartu hijau.” Riri menampar mereka dengan fakta di lapangan.
Kartu hijau, artinya setelah digunakan maka panggung akan tersegel selama satu hari. Kita tidak bisa melakukan pentas karena itu. Kemarin Kelas A sudah menguasai tiga panggung.
Mereka juga menggunakan kartu hijau sehingga sisa panggung tidak bisa dipakai. Oleh sebab itu juga aku belum bisa mengamankan satu tempat pun sebagai daerah kekuasaan Kelas F.
“Kalau lo emang tau bakalan kejadian kayak gini, kenapa lo malah diam aja?!”
“Iya, harusnya lo bilang, dong! Kita bakalan dapet poin bonus kalau ngecek panggung. Ini lo malah kayak orang bisu.”
“Bodoh, kalian ini emangnya anak TK apa? Kalian enggak sadar kejadian event bulan kemarin? Informasi itu harus dicari tau sendiri.”
Riri yang dihujani kalimat kasar tetap terlihat tenang. Mata itu memancarkan tekad kuat, menegaskan hal seperti ini tidak mungkin bisa menjatuhkannya.
Kesabaran Rosiana kelihatannya sudah habis. Dia menarik kerah baju Riri sampai-sampai gadis itu berdiri dari tempat duduknya. Wajah Rosiana sangat menyeramkan, dengan mata melotot bagai ada dua tanduk tumbuh di kepala. Giginya begemertak, mungkin sebentar lagi akan muncul sepasang taring di sana.
“Jangan-jangan ini akal-akalan lo doang, soalnya lo kan masih bekas Kelas A. Lo pasti sengaja enggak ngasih tau kami, ‘kan?”
“Kalau kenyataannya emang gitu, kamu mau apa?” Seolah-olah menantang, Riri membalas tatapan berapi itu dengan dingin.
Mungkin saat ini Rosiana sangat marah melihat sikap berani lawan bicaranya. Tangan satunya terus mengepal, bahkan lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Namun, tak lama setelah itu dia melepaskan Riri.
“Denger sendiri, ‘kan?” Rosiana mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. “Cewek ini akhirnya ngaku kalau sebenarnya dia masuk ke kelas ini buat bikin kelas kita susah.”
Tunggu, kenapa tiba-tiba dia sampai dengan kesimpulan itu? Aku sedikit memiringkan kepala memikirkannya.
Semua tetap diam, mereka tidak tahu harus bereaksi seperti apa setelah mendengar ucapan Rosiana tadi. Mungkin mereka juga bingung kenapa kesimpulan aneh tadi malah muncul.
Tidak, kalau pun memang benar Riri bersekongkol dengan Kelas A, kita akan tetap dalam kesulitan meski sudah mengetahuinya? Itu merupakan taktik yang luar bisa. Seseorang dari Kelas A melemparkan sebotol racun ke anak sungai.
“Kamu enggak pernah pakai otak kamu buat mikir, ya?” Riri kembali menarik amarah gadis itu.
Namun, sebelum Rosiana meledak ketukan di pintu dan juga bunyi bel pelajaran pertama dimulai menghentikannya. Dengan wajah jengkel dia berjalan ke bangkunya, meninggalkan Riri untuk saat ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/219120245-288-k496693.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
Novela JuvenilCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...