Nihil. Aku tidak mendapatkan apa pun meski sudah bertanya kepada Sherly dan Anjas yang berada di kelas berbeda. Awalnya kupikir Kelas C memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan kelas di bawahnya.
Sepertinya informasi mengenai free event memang terbatas untuk setiap kelas. Bukan karena Pak Irfan malas menjelaskan, kemungkinan besar memang dirinya tidak bisa memberi tahu kami mengenai mekanisme sistem tersebut.
Sayangnya, hipotesis itu terlalu dangkal. Faktanya beberapa waktu lalu ada informasi yang tidak diketahui Kelas F, tetapi dimiliki oleh kelas lain. Jadi aku akan memegang kalau Pak Irfan hanya malas saja.
"Apa-apaan kamu?!"
Suara keras itu mengangetkanku saat berjalan di lorong. Asalnya dari Kelas F, aku pun buru-buru melangkahkan kaki untuk melihat keributan yang semakin jelas terdengar.
"Emang gitu, 'kan?"
"Jangan mentang-mentang berasal dari Kelas A lo bisa ngomong seenaknya!"
"Kalian benar-benar menyedihkan."
"Cih, palingan lo sama enggak bergunanya sama orang-orang di kelas ini, makanya lo jatuh ke Kelas F."
Hal yang menyambutku dari balik pintu itu adalah punggung-punggung murid Kelas F. Mereka berdiri, mengelilingi sesuatu di tengah sana. Aku sama sekali tidak bisa melihat karena ukuran badanku yang tidak setinggi orang lain. Malang sekali.
Berkali-kali aku berusaha berjinjit, sampai melompat-lompat kecil hanya untuk melihat apa yang ada di balik dinding manusia itu. Sayangnya, apa yang kulakukan hanyalah kesia-siaan.
"Jangan sama kan aku dengan kalian." Suara barusan terdengar dingin dan juga serius. Semua orang tampak tertegun, udara di sekitar sini terasa makin tidak nyaman.
Tepat ketika aku ingin melompat lagi, sesorang menepuk pundakku.
"Kamu mau ngapain?"
Sosok gadis imut berambut sebahu dengan perawakan pendek berdiri tepat di belakangku. Mata tanpa minatnya itu melirikku heran. Vero selalu seperti itu.
"Ada ribut-ribut apa?"
Vero tidak langsung membalas, matanya terus menatapku tanpa henti. Beberapa detik kemudian ia menengok ke arah kerumunan siswa tadi sambil berkata, "Kayaknya anak mantan Kelas A itu bikin masalah sama beberapa cewek di kelas kita."
"Masalah apa?"
"Entah, aku juga enggak tau detailnya. Ngomong-ngomong, kamu habis dari mana?" Vero tidak mengubah ekspresinya sedikit pun. Sorot matanya nan mati seolah-olah hanya melihat kehampaan.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Vero, suara sumbang di tengah kerumunan menarik perhatian kami.
"Dasar cewek brengsek!"
Terdengar bunyi tamparan yang cukup keras setelahnya, diikuti oleh bisik-bisik dari murid lainnya. Aku sempat berpikir dari sekian banyak kepala di ruangan ini, kenapa tidak ada satu pun yang berpikir untuk melerai mereka?
Jawabannya, mungkin empati manusia sekarang sudah semakin terkikis. Selama bukan mereka yang mengalaminya, mereka tidak akan peduli. Selain itu, menyaksikan perseteruan orang lain kelihatannya lebih menyenangkan daripada melibatkan diri di dalamnya.
Entah sudah sejauh mana degradasi kemanusiaan di zaman sekarang.
"Apa kalian akan tetap ribut sampai pulang sekolah atau kembali duduk karena pelajaran sebentar lagi dimulai?"
Pak Irfan yang baru saja masuk ke dalam kelas membuat kami semua kaget. Tanpa undangan dan tanpa peringatan, dirinya sudah berada di sana. Dengan postur sedikit bungkuk serta terus menguap seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
أدب المراهقينCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...