Kulitku meresap hawa dingin yang dibawa oleh angin. Meski tidak begitu kencang, rasanya itu menusuk sampai ke tulang. Langit lebih gelap, berbanding terbalik dengan tadi yang cerah.
Gemuruh petir bahkan beberapa kali terdengar saat aku baru saja keluar dari gedung asrama dan berjalan ke belakang. Tadi pagi aku sudah menghubungi seseorang dan berjanji ingin menemuinya di sini pukul 20.00, tetapi kelihatannya orang itu sedikit terlambat.
Layar di ponsel menunjukkan waktu sudah pertemuan sudah lewat lima menit. Belum ada tanda-tanda batang hidung seseorang akan muncul dari balik tirai kegelapan.
Mengingat kembali aliansi yang dibentuk tadi sore, aku bersandar ke dinding sambil mengadahkan kepala, memandangi hitam yang semakin pekat. Sebentar lagi pasti akan hujan.
Riri menyarankan agar Kelas F bekerja sama dengan Kelas B dan Kelas D yang masing-masing diwakili oleh Tiara Pratiwi serta Felly Andara. Dan kesepakatan yang mereka ambil adalah ....
"Apa alasan kamu memanggilku ke sini?"
Suara bass itu datang, menghancurkan lamunanku sebelumnya. Aku menoleh ke arah kanan, di mana pemiliknya datang. Sosok tinggi tegap yang separuh wajahnya tertutupi kegelapan ada di sana.
"Cuma mau mengonfirmasi," sahutku. Dengan nada datar tentunya.
Dia mendekat beberapa langkah, sampai akhirnya wajah itu terlihat jelas terkena cahaya lampu. Parasnya yang maskulin, sorot mata tajam dan juga ekspresi tenang itu selalu membuatku muak.
"Konfirmasi?"
"Kejahatan Damar Brahmasta yang ngehilangin nyawa seseorang di sekolah ini."
Kalimat yang keluar dari mulutku sama sekali tidak mengubah mimik laki-laki tersebut. Dia tetap tenang, seolah suara tadi hanya lewat baginya. Benar-benar memuakkan.
"Sepertinya kabar angin itu sudah sampai ke telingamu. Apa Amelia yang memberi tahumu?"
"Emangnya itu cuma kabar angin? Padahal aku dengar langsung dari adik korban."
"Begitu, ya?"
Responsnya sangat datar. Damar tidak memperlihatkan penyangkalan, tetapi dia juga tidak mengakuinya. Detik berikutnya setelah dia sedikit mengangguk, senyuman terbit di bibirnya.
"Ekspresi apa itu?"
"Aku senang, karena cara bicaramu yang sekarang berbeda dengan dulu. Kamu, sedikit berubah."
Apa maksudnya? Aku bingung apa yang coba disampaikan olehnya. Hal yang lebih mengganggu lagi adalah dia mengatakan itu sambil tersenyum tulus. Darahku rasanya sedikit mendidih.
"Apa kamu berteman baik dengan Tiara Pratiwi?"
Dia menanyakan sesuatu di luar topik sebelumnya. Senyum yang tadi ada di mulutnya perlahan sirna ketika aku belum juga membalas. Keras kepala di sini sama sekali tidak berarti, aku menyerah.
"Mana mungkin dia mau berteman sama orang yang punya hubungan darah sama Amemayu."
Setelah mendengar itu, Damar tampak berpikir sejenak. Sorot matanya jatuh, seperti sedang mencari sesuatu. Aku memang jarang berkomunikasi dengannya, kecuali waktu pertama kali kami bertemu.
Hubungan kami sebelumnya baik-baik saja, sebelum hari terburuk itu datang dan aku mengetahui faktanya.
"Aku yakin dia tidak akan membencimu kalau kamu sedikit lebih terbuka."
Damar memberikan saran seperti kakak yang sedang menasihati adiknya. Tentu saja hal ini tidak menyenangkan untukku. Kepala ini malah mulai berdenyut setiap kali melihat dia bersikap baik begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
Подростковая литератураCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...