Permasalahan dalam kelompok sudah selesai, dengan diriku mengakui segala kejahatan yang terjadi. Sebagian ada yang memaafkan, juga ada beberapa yang masih menyimpan dendam. Namun, semua itu sudah ditinggalkan agar kami bisa terus maju.
Dengan berbekal sedikit pengetahuan cara membuat aransemen, aku akan menciptakan lagu baru. Tentu saja aku membutuhkan bantuan Sherly yang lebih berpengalaman.
Sedikit tertawa dengan perasaan hatiku. Keinginan yang sederhana seperti ingin menjalani kehidupan remaja pada umumnya berakhir dengan segala kejadian acak yang tidak jelas. Sejak awal seharusnya aku memang tidak perlu meminta. Kemanapun aku menginjakkan kaki, bayang-bayang itu masih ada.
"Aila, ayo pulang," ajak Sherly yang baru saja menghampiriku.
Setelah menyelesaikan masalah tadi, kami memutuskan untuk pulang ke asrama masing-masing. Walaupun konflik dalam kelompok sudah usai, persoalan personal menjadi hal yang berbeda. Sama seperti Tiara, Anjas sangat marah padaku, aku tidak tahu apakah itu hanya aktingnya atau tidak.
"Aku lagi nungguin orang. Kamu duluan aja, nanti malam aku ke kamar kamu deh."
Aku baru ingat tadi ada pesan masuk dari Ryan yang ingin membicarakan sesuatu setelah masalah kelompokku selesai. Dia memintaku agar bisa menunggu di dekat Kelas D. Yah, aku tidak punya pilihan lain untuk menurutinya dan aku juga sedikit penasaran.
Wajah kecewa Sherly tidak bisa disembunyikan, meski kepalanya menunduk sekalipun. Ah, begitu inginnya kah ia pulang bersama denganku? Seketika aku merasa seperti orang jahat. Sherly berkata tidak apa dan bisa pulang bersama lain waktu, meyakinkan dirinya sendiri.
Aku membalas lambaian tangannya ketika Sherly berjalan semakin jauh ke ujung lorong, menyisakan aku sendirian di tempat yang cahayanya sudah diganti menjadi lampu neon disepanjang koridor.
Entah apa yang ingin dibicarakan Ryan, padahal seharusnya pagi tadi kami sudah selesai membicarakan tentang taruhan. Aku sedikit sulit menebak isi kepalanya. Tidak seperti orang-orang di kelompokku, Ryan jenius dengan caranya sendiri.
"Kamu orangnya emang disiplin banget ya."
Tiba-tiba saja disampingku sudah ada sosok yang ditunggu sejak tadi. Dia baru saja keluar dari dalam Kelas D, sebelumnya aku sama sekali tidak menyadari keberadaannya di sana. Ryan benar-benar menunggu hingga hanya ada kami berdua. Benar-benar sepi, tidak ada orang lain selain kami, baik itu di dalam Kelas D maupun di sekitaran koridor.
"Kayaknya masalah kita udah selesai tadi pagi," ujarku tanpa menoleh ke samping, hanya menghadap dinding kaca yang menampilkan taman sekolah.
"Aku enggak mau bicarain itu sih. Sebenarnya, aku ini orangnya khawatiran lo, masa iya kamu enggak khawatir sama yang namanya Nopi ya, kalau enggak salah?"
Tidak, jelas aku khawatir ketika teman sekelas yang aku tahu sedang tidak ada kabar. Namun, untuk kasus Nopi, aku tidak terlalu mengenalnya, kami hanya bertemu dua kali dan salah satunya adalah penyebab rusaknya hubungan pertemananku dengan Tiara.
Akan tetapi, aku meragukan pernyataan orang yang katanya khawatir. Padahal kenyataannya dia lebih terlihat bermain-main. Ryan seakan memancingku, aku sadar akan hal itu karena dari nada bicaranya terlihat jelas kalau dia mengetahui atau mungkin melakukan sesuatu pada Nopi.
"Apa yang sebenarnya kamu lakuin, terus ngapain kamu ngasih tau aku?"
Memandangnya dengan penuh kecurigaan sama sekali tidak berguna. Ryan adalah orang yang sangat lihai berpura-pura dan menyembunyikan perasaan sebenarnya.
"Enggak ngelakuin apa-apa kok. Lagian aku cuman khawatir sama orang yang pernah kerja jadi bawahan aku dan dia sekarang dalam masalah," balas Ryan kali ini dengan nada serius.
"Terus, kamu pengen apa?"
"Aku cuman mau ngasih tau, kalau kebanyakan anak di sekolahan ini brengsek."
Jangan bilang begitu seakan kamu adalah orang suci. Bahkan menurutku, orang yang mampu mendominasi sebuah kelas dan mengendalikan tigapuluh sembilan orang dengan mutlak orangnya pasti sangat brengsek. Ah, kata-kata itu tidak pantas aku ucapkan.
Aku tidak terkejut lagi kalau tahu beberapa murid di SMA Amemayu memiliki kepribadian yang buruk. Sudah kujumpai beberapa orang yang tidak biasa seperti Ryan dan Felly. Bahkan di kelasku sendiri kelihatannya ada yang sifatnya juga agak menyimpang, contohnya adalah Vero. Oh, aku hampir lupa menambahkan murid baru.
"Emangnya kamu enggak?"
Kali ini aku menatap wajahnya karena penasaran bagaimana ekspresinya saat ini. Tidak berubah, Ryan masih menampilkan mukanya yang ramah, bahkan senyuman itu seakan tidak pernah dia lepas. Benar-benar ahli, aku rasa tingkat pura-puranya setara atau bahkan di atas Felly.
"Hm, gimana bilangnya ya. Aku ini sebenarnya, anak yang baik. Tidak suka kekerasan, dan akan selalu berkata jujur. Dan juga aku rajin menabung," jelasnya yang memuji diri sendiri.
Benar-benar sebuah kebohongan, aku bisa yakin kalau segala yang dia ucapkan barusan hanyalah bualan semata. Aku sudah sering melihat pembohong, meskipun Ryan bisa dibilang adalah yang paling ahli selama ini, aku masih bisa melihat urat didahinya meski sekejap.
Mengingat dirinya juga seorang pembual, membuat kebohongan yang alami adalah kemampuan khususnya. Aku sama sekali tidak akan membantah apapun, karena itu hanya akan membuat pembicaraan kami berputar-putar.
Sejak awal bertemu, Ryan selalu berbohong. Aku hampir tidak pernah melihatnya berkata jujur selain pertemuan kami waktu itu. Tepat ketika aku mengetahui bagaimana sifat asli dari seorang siswa yang dapat melakukan segala hal agar bisa terus berada di puncak.
![](https://img.wattpad.com/cover/219120245-288-k496693.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
Novela JuvenilCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...