"Kamu payah banget."
Riri mengatakan itu saat dia menoleh ke belakang–tepat ke arahku. Wajahnya tidak puas, bahkan juga tersirat sedikit kekecewaan. Tatapannya nan dingin itu melekat padaku sejak tadi.
"Apa maksud kamu?"
"Aku bicarain soal yang di kelas."
Ah, soal itu, ya?
Tepat setelah Nopi menunjukkan video interogasi Daniel, semua orang berdiri dipihaknya dan mengarahkan permusuhan mereka kepadaku. Bahkan faksi Vero yang cukup akrab denganku juga kelihatan kecewa dan kesal.
Mau bagaimana lagi, hal ini tidak bisa dihindari. Ketika manusia dikhianati, kekesalan dan perasaan tidak nyaman akan menguasainya. Felly sudah menjadi bukti nyata ketika mengkhianati kelas.
Aku menjadi orang yang tidak beruntung, karena aku dituduh sebagai pengkhianat dan malah menerima kebencian serta kewaspadaan mereka. Tentu saja, di kepala mereka pasti ada peringatan bahaya kalau ternyata di kelas ada orang yang tega menyiksa temannya sendiri.
Tentu saja itu tidak benar, karena aku memang tidak melakukannya. Hanya saja, siapa yang menyebabkan hal rumit itu terjadi? Nopi atau malah Ryan Pratama?
"Tapi aku jadi takut, kamu ternyata orangnya seram juga, ya?"
Apa dia juga berpikir aku memang melakukan hal sekejam itu?
Mataku menyipit ketika melihat muka Riri nan kaku. Hah, apa dia memang tidak mudah percaya pada orang lain seperti mereka yang ada di kelas. Setelah memasang tatapan komplain tadi, aku membalas ucapannya.
"Mana mungkin aku ngelakuin itu."
"Kamu masih nyangkal bukti yang dikasih liat sama Nopi tadi?" untuk pertama kalinya Riri memamerkan senyuman tipisnya, "otak orang yang suka lakuin kriminal emang beda, ya?"
"Aku bukan kriminal."
"Rusakin properti orang lain, manfaatin orang lain, nyuruh orang buat nyekap sama nyiksa orang lain. Mananya yang bukan kriminal?"
Aku terdiam dengan mulut tertutup rapat, tidak bisa membalas Riri yang menyerangku secara bertubi-tubi. Meski tidak seratus persen, tetapi ada beberapa kejadian yang memang aku lakukan.
Namun, apakah dengan melakukan semua itu aku bisa disebut kriminal? Tentu saja tidak, karena yang kulakukan adalah demi kebaikan Kelas F sendiri, agar tidak mengalami nasib drop out yang mengerikan. Aku terpaksa melakukannya.
Seorang filsuf asal Perancis, Blaise Pascal pernah mengatakan 'Kebanyakan kejahatan dalam hidup muncul dari ketidakmampuan seseorang untuk duduk tenang di dalam kamar'. Mana mungkin aku bisa tenang kalau bendera drop out berkibar di atas kepalaku?
"Apa kamu akhirnya ngakuin kalau kamu itu kriminal?" Pertanyaan itu menarikku kembali sadar.
"Mana mungkin."
Kami akhirnya sampai di kafeteria seberang asrama. Setelah bel pulang berbunyi tadi, kebanyakan murid memilih untuk mencari panggung untuk melakukan pentas.
Meski panggung saat ini didominasi Kelas A dan C, dan untuk melakukan pentas harus membayar setengah poin kepada pemilik panggung jika kelas berbeda mereka tetap melakukannya.
Mau bagaimana lagi, inti dari free event sendiri adalah mengumpulkan poin agar bisa berpartisipasi dalam main event berikutnya.
"Mau ngapain kita ke sini?" Sambil melirik Riri yang kini ada di samping, aku bertanya.
"Udah jelas mau ngebahas soal free event. Aku juga udah janjian sama Tiara buat ketemu di sini. Sama satu orang lagi di kelas lain."
Riri menjawab dengan nada datar. Dia langsung menuju kasir tanpa mengonfirmasi apakah aku mau ikut atau tidak. Benar-benar gadis yang merepotkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
Fiksi RemajaCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...