4th Event: Pinocchio
"Seorang manusia selalu bersikap munafik."
George Orwell
"Apa maksudnya ini, La?" tanya Tiara yang masih tidak terima dengan apa yang barusan terjadi.
Sesudah kami keluar dari ruangan Oktaf, Tiara langsung menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Aku bukannya tidak mau menjawab, tetapi memang tak bisa menjawab. Aku sama bingungnya dengan gadis itu, karena pelaku yang memplagiasi lagu kami berasal dari Kelas F, kelasku sendiri.
Aku berusaha menenangkan Tiara karena aku tidak mau melakukan perdebatan yang sia-sia. Kami harus segera berkumpul dengan anggota lain agar bisa membicarakan masalah ini dengan serius. Lampu di sepanjang lorong menyala, tanpa sadar kami sudah terlalu lama berada di sini. Bahkan ponsel Tiara sudah beberapa kali berdering.
"Kita bakalan ngomongin ini sama yang lain. Malam ini di cafe dekat asrama," ujar Tiara sambil menarik napasnya dalam-dalam.
Untung sekarang dirinya sudah lebih tenang, meskipun masih ada ketegangan diantara kami. Aku mengangguk setuju dan berharap agar Tiara tidak terlalu menjadikanku sebagai tersangka utama. Meskipun dia melakukannya tentu saja dia salah orang. Sangat mustahil orang sepertiku mengkhianati mereka.
Ponselku bergetar, ada sebuah pesan yang masuk. Segera aku melihat isinya, aku kaget dengan identitas pengirimnya. Tiara sepertinya memperhatikan, sehingga aku langsung memalingkan wajah.
"Kenapa, La?" tanyanya curiga.
"Enggak papa kok, aku duluan ya. Ada yang di urus." Aku segera berlari meninggalkan Tiara, tanpa menoleh ke belakang.
Aku tidak peduli lagi dengan pendapat Tiara setelahnya, yang jelas aku harus segera menemukan orang yang mengirim pesan tadi. Langkahku terus menggema di sepanjang lorong, seakan hanya ada suara itu saja. Sampai akhirnya kaki ini berhenti tepat ketika melihat sebuah ruangan dengan nama Kuint. Tanganku langsung meraih ganggang pintu dan membukanya dengan perlahan.
"Kamu cepet banget ya datangnya," sambut suara seorang anak laki-laki di ikuti tawa kecil.
Sosok pemuda tinggi tertangkap oleh bola mataku, berdiri di antara alat-alat musik. Bibirnya tersenyum dan sorot matanya tenang seakan memberi kesan kalau dirinya adalah orang yang ramah. Lengkungan di wajahnya semakin lebar ketika kami saling memandang satu sama lain.
Seragam yang dia kenakan adalah blazer berwarna camel, namanya bahkan terpampang jelas dari name tag yang berada di dada kanannya. Dia adalah orang yang lebih di kenal sebagai pemimpin Kelas D, si Ketua Kelas, Ryan Pratama. Andai aku tidak mengetahui sifat aslinya beberapa pekan lalu mungkin aku sedikit tertarik dengan penampilannya.
"Kamu enggak perlu masang muka curigaan gitu dong sama aku," candanya sambil menggelengkan kepala dan dua tangan di angkat sebahu.
"Mukaku emang gini kok, emang mau kayak gimana lagi?"
Aku tidak bisa menampilkan ekspresi yang bermacam-macam. Wajahku lebih sering datar daripada tersenyum, bahkan aku lupa kapan muka ini terlihat marah atau sedih. Itu sudah jelas sangat lama sekali, mungkin ketika aku masih berumur 5 tahun.
"Maaf aku lupa, orang yang enggak pernah keluar rumah pasti wajahnya gitu doang, 'kan?"
Aku benar-benar tidak ingin mendengar perkataannya barusan. hanya kenangan pahit yang teringat di kepalaku jika memikirkan kembali kalimat tersebut. Meskipun kata-katanya tadi sarkastik, dia mengeluarkkannya seperti orang polos tanpa dosa.
"Kalau kamu manggil aku cuman buat di ejek aku bakalan pergi." Aku sama sekali tidak bermaksud begitu. Karena dia sudah memanggilku kemari, berarti ada hal penting yang ingin di bicarakan.
"Kamu enggak bakalan pergi kok. Aku kebetulan tadi lewat, terus enggak sengaja dengar masalah kelompok kamu." Ryan duduk pada kursi piano ganda yang berhadapan langsung dengan instrumen produksi Steinway tersebut.
Jemarinya mulai memainkan tuts putih, bergantian dari nada do sampai si. Setelah itu, Ryan berhenti dan berbalik sambil menjulurkan tangan kearahku. Meskipun tidak mengatakan apa-apa, senyuman yang terlihat suci itu seakan meminta aku agar bisa bergabung dengannya.
"Jadi beneran ya, kalau Kelas D yang curi lagu kami," selidikku tanpa mengidahkan tangannya.
"Aku enggak bilang kalau pelakunya dari kelasku lo. Udah jelaskan kalau pelakunya itu dari Kelas F, dan pasti mereka bakal curiga sama kamu."
Perkataannya sama sekali tidak bisa dibantah, semua anggota kelompokku pasti akan mencurigai diriku sebagai dalangnya. Apalagi aku sama sekali tidak bisa membuktikan ketidakbersalahan hanya dengan kata-kata manis. Sebab anak Kelas F lah yang mendaftarkan lagu tersebut. Akan jadi cerita lain kalau orang itu berasal dari kelas yang berbeda.
Ryan berhenti mengulurkan tangannya dan kembali memainkan tuts piano walaupun temponya sangat berantakan. Namun, dia sama sekali tidak peduli dengan permainannya. Jarinya terus menari di atas mata piano yang hitam dan putih bergantian. Laki-laki itu memainkan musik dengan bebas, ekspresinya benar-benar tenang seperti tidak ada beban yang ditanggungnya.
"Aku cuman mau nagih janji kita semalam kok," ungkap Ryan sesudah jarinya berhenti pada tuts bernada do.
Teringat perjanjian yang aku buat dengannya beberapa saat yang lalu. Aku sama sekali tidak menduga kalau dia akan memanfaatkannya sekarang. Tidak, tunggu, ini juga adalah kesempatan yang bagus untukku supaya bisa mempersempit pelaku yang mencuri lagu kami.
"Kalau gitu aku bakalan minta sesuatu buat gantinya."
"Sejak awal ini adalah bayaran buat aku, kenapa tiba-tiba pengen imbalan?" Ryan kelihatan bingung dengan perkataanku yang memintanya untuk memenuhi syarat.
"Aku belajar dari orang yang ngasih aku tawarin ini, apa itu masalah?"
"Kalau kita sama-sama diuntungkan, aku enggak bakal keberatan."
Ekspresi Ryan berubah, senyumannya yang tadi lembut dan ramah berubah menjadi serius. Muka ini adalah gambaran wajah sebenarnya Ketua Kelas D, seorang manusia licik yang melakukan apa saja agar bisa mendapatkan keuntungan.
![](https://img.wattpad.com/cover/219120245-288-k496693.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
Ficção AdolescenteCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...