04 Agustus 2025
"Ya, intinya selamat datang di SMA Amemayu. Di tempat ini, popularitas adalah segalanya."
Pak Irfan menguap setelah mengatakan hal itu. Dia tidak memedulikan wajah-wajah kami yang tak percaya dengan apa yang barusan didengar. Aku melihat lagi aplikasi yang menampilkan biodata dan popularitas yang kupunya, angka nol. Artinya bulan ini aku tidak akan mendapatkan uang saku sepeserpun.
Ternyata sekolah ini tidak sebaik yang aku kira. Awalnya mereka memberikan kami sepuluh juta rupiah untuk bersenang-senang, sepertinya itu untuk penyambutan kami.
Setelah dipikir-pikir lagi, mana mungkin ada sekolah yang mau memberikan sepuluh juta rupiah untuk masing-masing dari 240 siswa dan itu hanya kelas 1, belum lagi kelas 2 dan kelas 3.
Ternyata mereka memiliki sistem seperti ini. Popularitas akan menentukan seberapa banyak yang diperoleh perbulannya. Lalu bagaimana cara meningkatkannya?
"Jangan memasang wajah begitu. Kalian masih lebih baik karena kalian tidak langsung menerima sanksi dropout." Pak Irfan lagi-lagi terkekeh pelan.
Tepat setelah mengatakan itu, suara keras terdengar dari belakang. Menarik perhatian seisi kelas. Ternyata siswa yang berpenampilan seperti preman di belakang membanting mejanya. Dari raut wajahnya, jelas sekali kalau ia marah.
"Apa maksud Bapak soal dropout? Lagian, kenapa enggak dari awal aja Bapak bilang soal pengurangan ini!?"
Suaranya yang geram terdengar garang. Walaupun muridnya marah, Pak Irfan tetap bersikap biasa. Matanya yang sayu–pertanda kurang tidur–itu hanya menatap tanpa maksud apa pun.
"Yah, sebenarnya kalau kalian tidak menghasilkan popularitas atau dengan kata lain nol, maka kalian akan mendapatkan sanksi dropout. Tapi, karena ini adalah bulan pertama kalian, bisa dibilang kalian masih aman."
Sekali lagi Pak Irfan mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Aku sama sekali tidak mengetahui ada aturan seperti itu di sekolah ini. Tidak ada yang mengetahuinya, semua orang memasang muka terkejut sekaligus takut. Beberapa siswi bahkan sedikit gemetar.
"Ngomong-ngomong, ini adalah popularitas yang kalian perlukan untuk bertahan di kelas atau ingin naik ke kelas atas. Ya, kalau mau bertahan sampai lulus kalian harus naik ke Kelas A. Tapi aku tidak peduli, karena belum tentu kalian bisa naik ke kelas atas. Palingan bulan depan beberapa di antara kalian ada yang sudah dropout. Aku menantikannya, ya."
Dia menampilkan jumlah popularitas yang diperlukan untuk bisa naik ke kelas atas pada layar proyeksi. Di posisi puncak yaitu Kelas A. Jika seorang murid ingin berada di Kelas A, dirinya harus memiliki popularitas sebanyak 8.335 – 10.000.
Di bawahnya ada Kelas B dengan kisaran 6.668 – 8.334, Kelas C 5.001 – 6.667, Kelas D , Kelas E , dan terakhir adalah Kelas F yang memiliki kisaran paling sedikit, yaitu 1 – 1.666. Kalau kau tidak memperoleh popularitas atau berada di angka nol, maka sanksi dropout dijatuhkan.
Tentu saja ini akan menjadi masalah. Sebab, belum diketahui bagaimana pihak sekolah akan menilai popularitas seseorang. Detailnya masih tidak diketahui, meski Pak Irfan sempat bilang bahwa kami bisa memperolehnya dari event. Namun, event saja belum diketahui seperti apa.
"Pak, saya ingin bertanya. Saya masih belum mengerti bagaimana popularitas kami bisa dikurangin sampai nol? Bukannya itu artinya pihak sekolah curang, karena enggak ngasih tau kami dari awal? Dan apa salahnya kalau kami lulus dari Kelas F? Kami masih bisa kerja sama yang sesuai dengan apa yang kami pelajari." Felly dengan berani mengangkat tangannya. Sorot mata yang tegas dan percaya diri itu mewakili semuanya.
Banyak yang setuju dengan perkataan Felly, mereka mendukungnya. Memang benar apa yang dia katakan. Kalau sejak awal kami diberi tahu tentang bagaimana popularitas dinilai, maka kami bisa melakukan antisipasi.
Tepat seperti ucapan Felly. Meskipun kami lulus di Kelas F, kami masih bisa mencari pekerjaan sesuai dengan apa yang kami pelajari. Entah menjadi artis, penyanyi, pelukis ataupun penyair sekalipun. Sebuah kesuksesan tidak ditentukan dari kelas mana seseorang itu berada.
Untuk diriku, mungkin berada di Kelas F bukanlah sesuatu yang buruk. Aku hanya ingin menikmati masa SMA ini layaknya remaja biasa, tidak ingin memikirkan tentang kelas atau apa pun itu. Aku hanya perlu mempertahankan poinku agar tidak mencapai angka nol lagi. Sepertinya bukanlah sesuatu yang sulit.
Aku melihat Pak Irfan yang sebentar lagi akan mengatakan sesuatu. Semoga beliau tidak menghancurkan keinginan kecilku ini dengan ucapan yang biasanya adalah fakta mengejutkan dari sekolah.
"Tidak ada masa depan untuk Kelas F. Saat semester dua nanti, lebih dari separuh kalian akan di dropout, dan tidak tersisa lagi saat semester empat."
Tanpa sadar aku mendecak kesal. Untungnya tidak terlalu keras dan hanya terdengar olehku. Orang tua ini benar-benar bisa menghancurkan mood seisi kelas.
Dia tidak mengatakan omong kosong, kelihatannya itu berasal dari pengalamannya mengajar di sini selama beberapa tahun.
Pantas saja aku jarang melihat kakak kelas dari Kelas F. Mereka terlalu sedikit dan hanya ada kelas 2, tidak ada kelas 3.
"Omong kosong!"
Sekali lagi suara geram itu terdengar dari arah belakang. Asalnya tidak lain adalah anak berpenampilan seperti preman sekolah itu. Wajahnya yang marah terlihat sangat seram.
Rasanya aku tidak akan membuat dia marah kalau nanti berada di dekatnya. Emosinya yang masih labil mungkin terbawa ketika masih saat SMP, anak yang bermasalah.
"Faktanya memang begitu. Selama 4 tahun aku mengajar di sekolah ini, tidak pernah ada Kelas F yang bisa lulus. Mereka semua di dropout ketika hendak naik ke kelas 3."
Sesuai perkiraan, Pak Irfan mengatakan itu dari pengalamannya sendiri. Jika benar begitu, apa yang membuat Kelas F hilang? Tidak mungkin mereka semua dropout dengan alasan popularitas nol. Sangat mustahil jika mereka sudah tahu hal itu akan membiarkan poin mereka nol dan di DO oleh sekolah.
Pasti ada rahasia lagi dari sekolah ini, sebuah kebijakan atau keharusan yang mau tidak mau diikuti oleh muridnya dan jika tidak bisa melakukannya akan terkena sanksi DO, dan Kelas F yang selalu jadi korban.
"Aku ikut sedih, tapi untuk Kelas F memang tidak ada masa depan. Haah, apa gajiku akan dipotong juga kalau Kelas F hilang, ya?" Pak Irfan lagi-lagi menguap. Nada suara malasnya itu sangat berbeda dengan maksud yang telinga kami terima.
Kulihat lagi sekeliling, mereka semua tampak kaget. Fakta yang dibeberkan oleh Pak Irfan membuat hati kecil mereka takut. Tidak ada masa depan ya ... apakah benar anak-anak di Kelas F ini tidak memiliki masa depan?
Suasana kelas masih tegang. Pak Irfan sama sekali tidak mengubah sikapnya yang terus bermalas-malasan, tetapi membeberkan fakta menyakitkan. Anak-anak di belakang sudah semakin geram dengan kelakuan guru itu. Jika ini terus berlanjut, kemungkinan terburuknya adalah mereka akan mulai menyerang.
Melihat temperamen si anak mirip preman tadi, hal yang kupikirkan bisa saja terjadi. Namun, untungnya masih ada beberapa murid yang berkepala dingin dan berusaha menahannya.
"Dropout."
Perkataan yang tidak ingin kami dengar keluar dari mulut Pak Irfan nan setengah mengantuk. Tatapannya diarahkan kepada anak-anak yang ada di kanan belakangku. Semua membatu, bingung dengan perkataan singkat tadi. Hal ini malah menambah suasana kelas menjadi suram.
"Hukuman untuk murid yang melakukan kekerasan pada guru adalah dropout. Jika sesama murid berkelahi atau melakukan kekerasan akan diadili oleh OSIS dan hukumannya tergantung mereka," ucap Pak Irfan mengukir senyuman pasti.
Aku heran kenapa dia memberitahu kami hal ini. Dari sikapnya tadi, jelas sekali Pak Irfan seperti yakin kalau kami semua akan di dropout. Seharusnya dia tidak perlu mengatakan itu dan membiarkan anak di belakang menyerangnya jika benar-benar ingin kami di dropout.
Apa mungkin dia masih ingin melihat dan menikmati saat siswanya merasakan hukuman DO nanti?
Tidak, tidak, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan sifatnya yang begitu. Lalu kenapa dia mengatakan ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
Novela JuvenilCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...