13 September 2025
"Kita benar-benar kehabisan waktu. Kalau enggak ngelakuin apa-apa, semua anak di Kelas F bisa-bisa enggak ikut main event entar."
Ketika aku baru saja keluar dari dapur sambil membawa minuman dan makanan ringan, suara putus asa itu langsung menusuk telingaku. Setelah mengirim pesan kalau dirinya ingin bertemu siang ini, Riri malah pagi-pagi sudah mampir ke kamarku.
Dan hal-hal yang keluar dari mulutnya adalah perasaan negatif seperti keputusasaan dan pemikiran buruk. Wajahnya sama sekali tidak menggambarkan ketenangan seperti biasa.
Malah bisa dibilang, kalau ini baru pertama kalinya aku melihat Riri tampak gelisah. Berkali-kali, Riri mengedarkan pandangan–dari atas ke bawah–dan juga kebiasaan anehnya yang baru aku lihat. Dia menggigit kuku jarinya sendiri.
Selain itu, keringat yang makin banyak di dahinya menunjukkan kalau gadis dihadapanku sama sekali tidak tenang. Sungguh, gambaran berbeda dari dirinya yang sering menampilkan sikap tenang dan juga kuat.
"Kamu bilang semua anak Kelas F, apa itu juga termasuk kamu?" tanyaku sambil mengambil posisi duduk di depannya.
"Kamu pikir aku bukan anak Kelas F?"
"Aku kira kamu enggak pernah mau anggap diri kamu itu bagian dari anak-anak gagal. Berarti satu panggung kemarin enggak cukup, ya?"
Dari aplikasi aku bisa mengetahui panggung di lokasi mana yang mereka rebut semalam dan berapa perolehan poinnya untuk kelas setiap jam. Bahkan poin 100 pun sulit untuk mengejar ketinggalan, ya?
Riri seperti sudah memahami pertanyaan tadi, dia lalu mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan aplikasi Amemayu dan juga laman khusus free event.
Di sana ada maklumat tentang berapa poin yang sudah diperoleh olehnya dan juga ada list yang aku yakini sebagai nama-nama murid Kelas F lainnya. Di sebelah kiri nama Riri Arfiani terdapat angka 4.715.
"Kalau berharap sama poin panggung, kita cuma bisa dapat sekitar 4.200 poin. Rata-rata poin anak Kelas F yang lain itu juga 3.000-an. Kalau dibiarin, pasti kita enggak bisa ikut main event entar."
Aku teringat dengan poinku sendiri. Setelah kartu merahku semalam berpindah ke tangan Riri dan dia berhasil merebut panggung, rasanya poin milikku bertambah sekitar 3.000 lebih.
Memang benar kalau kami tidak mengambil langkah selanjutnya, mendapatkan 10.000 poin hanyalah angan-angan. Namun, saat ini hal itu bukan urusanku lagi.
"Bukannya apa-apa, tapi Kelas F emang udah enggak bisa ditolong, 'kan?"
"Hah?" Riri sontak memberikan tatapan bingung, tidak mengerti dengan apa yang tadi kukatakan.
"Maksud aku, bukannya ini semua gara-gara mereka sendiri. Mereka kebanyakan enggak peduli soal free event dan malah asik senang-senang. Anggap aja ini hukuman buat Kelas F."
"Tunggu, jangan bilang kamu marah gara-gara mereka musuhin kamu?"
"Itu ...."
Tidak mungkin, aku tidak akan marah karena hal sepele dan juga tuduhan palsu mereka. Aku hanya ingin mengajari mereka sedikit. Mungkin?
Riri sontak menepuk jidatnya dan menghela napas dalam. Dia mengangkat kepala dan memasang muka skeptis. Tatapan tajamnya sudah kembali, berusaha menusuk siapa saja yang memandangnya.
"Kamu kekanak-kanakkan."
"Kalau kamu ngerasa dewasa, berarti masa remaja kamu itu suram."
Kenyataannya aku memang tidak marah kepada mereka soal sikap permusuhan itu. Namun, bersikap kekanak-kanakan seperti ini juga diperlukan agar kehdiupan remajaku sedikit lebih berwarna. Tentu, itu hanyalah alibi sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
Teen FictionCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...