Kepalaku rasanya mau pecah, karena terus memikirkan kejadian yang tidak terduga hari ini. Aku masih membenamkan diri di atas kasur agar semua pikiran gelisahku hilang.
Sebenarnya aku sama sekali tidak mau repot dan ingin menjalani kehidupan SMA yang damai. Namun, kejadian hari ini tadi malah membuat teman-temanku kehilangan kepercayaan mereka terhadapku.
Bahkan orang paling awal yang aku kenal dan bisa dianggap sebagai teman pertama tidak bisa berkata apa-apa lagi dan malah pergi meninggalkanku. Meskipun tidak begitu jelas, aku bisa melihat matanya tadi berkaca-kaca.
Aku khawatir, tapi sama sekali tidak berani menanyakan keadaan gadis itu, yang ada kemungkinan aku dibenci semakin besar.
Kami memang sudah berteman, sayangnya masih banyak yang tidak aku ketahui tentang Tiara. Gadis itu seakan menyimpan misteri sendiri dan menjaga privasinya dengan berbagai topeng. Aku sama sekali tidak bisa mengetahui sosok seperti apa Tiara.
Setelah kepergian Tiara tadi, kami terus berdebat. Anjas terus menerus menyalahkanku, Sherly dan Daniel hanya terdiam tanpa suara. Sampai akhirnya Daniel menggebrak meja dan menyuruh kami semua pulang mendinginkan kepala masing-masing.
Aku sama sekali tidak bisa tenang. Nama baikku dipertaruhkan sekarang. Belum lagi aku sudah dijauhi oleh teman-temanku gara-gara kesalahpahaman itu. Ah, otakku sama sekali tidak bisa berpikir. Mungkin ini karena aku terlalu membawa perasaan terhadap masalah yang terjadi.
"Kehidupan SMA-ku yang indah, jadi kacau," gumamku memandang langit-langit kamar.
Semua hal yang awalnya kubayangkan saat menonton drama televisi atau novel tentang masa putih abu-abu rasanya sangat indah dan menyenangkan. Akan tetapi, ketika aku menjalaninya sendiri sangat berbeda dari apa yang aku harapkan. Apakah akan beda ceritanya jika aku masuk ke sekolah yang lebih umum?
Terbuai dalam lamunan itu sampai aku tidak sadar suara pintu diketuk sudah beberapa kali. Aku segera bangkit dan menuju ke sana untuk melihat siapa yang bertamu saat begini. dari balik pintu, terlihat seorang laki-laki tinggi yang mengenakan jaket putih berdiri dengan tegap.
Mata kami saling bertemu, tetapi tidak juga saling bertegur sapa. Hanya diam membisu sambil membiarkan angin malam menerpa tubuh masing-masing. Laki-laki itu, maksudku Daniel, terlihat canggung. Mungkin dia merasa tidak enak karena tadi membentak kami yang tengah bertengkar.
Sifatnya yang baik benar-benar manis, mungkin kalau dia terus seperti ini aku bisa saja jatuh hati padanya. Ah, apa yang aku pikirkan, seharusnya ada sesuatu yang lebih penting. Tidak mungkin Daniel datang kemari malam-malam hanya untuk minta maaf. Benar, 'kan?
"Maaf soal tadi," ujarnya gugup. Namun, disembunyikan dengan mengalihkan pandangan dariku. Oke, aku salah, dia benar-benar minta maaf.
"Enggak papa kok."
Aku hanya bisa membalasnya dengan ucapan singkat sambil menggelengkan kepala. Tugasnya sebagai ketua kelompok adalah yang terberat sekarang, karena dia harus menentukan langkah yang paling tepat untuk diambil. Tidak boleh memihak, tapi juga harus mencari fakta yang konkret.
Senyuman pahit tampak jelas terukir di bibir Daniel. dia sekali lagi meminta maaf, penyesalan itu terasa sangat dalam. Aku sudah coba mengatakan kalau tadi tidak apa. Akan tetapi, dirinya terus saja meminta maaf padaku.
"Aku tau sebenarnya Aila enggak bakal ngelakuin hal itu. tapi tadi aku benar-benar kaget sampai enggak bisa mikir. Sekali lagi, maafin aku."
Sekali lagi permintaan maaf aku dengar darinya, semoga ini yang terakhir. Rasa menyesalnya benar-benar tulus, aku sudah pasti akan memaafkannya. Malahan setelah mendengar kalau dia percaya padaku ada sedikit rasa senang di hati.
Saat seorang teman menaruh kepercayaan terhadap kita, maka itu adalah sesuatu yang sangat berharga, aku akan terus mengingatnya di pikiranku.
"Ngomong-ngomong, kamu ke sini cuman buat minta maaf ya?" Aku menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Wajahnya tampak kaget, aku rasa dia sama sekali tidak memikirkan apapun, memang sifatnya begitu mungkin. Dia menggaruk-garuk bagian atas telinganya, sangat bingung dengan apa yang harus dilakukannya.
"Sebenarnya, aku juga pengen ngomongin sesuatu sama kamu. Apa kamu enggak keberatan kalau kita ke bawah?" tanya Daniel ragu-ragu.
Aku berpikir sejenak, kelihatannya akan bagus untuk berganti suasana. Selain itu, mungkin Daniel bisa bertukar pikiran denganku agar bisa keluar dari situasi sulit di kelompok kami.
Akhirnya aku berada di taman depan asrama. Suasananya sangat sepi, tidak terlihat seorangpun di sini kecuali aku yang sedang duduk pada bangku dekat dengan bunga-bunga yang di tanam Ibu Penjaga.
Biasanya tempat ini masih dipenuhi orang-orang pada pukul 21.00. Namun, karena event mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu di luar sekolah.
Untung saja tadi aku sempat mengambil sweater sehingga mengurangi rasa dingin yang disebabkan oleh angin malam. Awan di langit terlihat sangat gelap, mungkin akan terjadi hujan sebentar lagi.
"Aku mau beli minuman dulu, kamu bisa tunggu di sini bentar," ucap Daniel yang berbalik arah.
Aku sedikit terkejut, lalu tanpa sadar sudah meraih lengannya sehingga Daniel terhenti dengan tatapan tidak percaya. Aku tidak mau menyembunyikan ketakutanku saat malam hari kalau berada di luar ruangan.
Aku benci gelap, meskipun taman ini masih terang, tapi masih ada beberapa sisi gelap yang bisa saja ada sesuatu akan melompat keluar dari sana. Itu mungkin hanya paranoidku.
"Aku, pengen ikut ...."
Kepalaku sedikit tertunduk, menyembunyikan muka merah ini karena rasa malu. aku masih saja takut gelap ketika berada di luar rumah. Walaupun terang, mungkin aku masih takut jika harus berada di luar ruangan. Namun, jika bersama dengan seseorang mungkin itu bisa membuatku sedikit tenang.
Daniel hanya mengangguk, mundur sedikit ke belakang hingga sejajar denganku. Langkah kami beriringan, menuju arah mini market yang ada di Ufuk Barat asrama. Meskipun berdampingan, tidak ada satupun yang bersuara sehingga hanya ada suara langkah kaki kami yang terdengar.
Aku berharap dia mengatakan sesuatu, karena masih sedikit gugup jika harus memulai pembicaraan. Meskipun tadi sudah mencari tahu cara berbaikan dengan teman melalui internet, mengaplikasikannya sangatlah sulit.
"La, menurut kamu apa yang harus aku lakuin supaya kelompok kita bisa akur lagi?" tanya Daniel akhirnya buka suara.
Sebagai ketua kelompok, Daniel pasti akan merasa tertekan jika ada perpecahan. Sebisa mungkin dia ingin menyelesaikan masalah ini dan lebih fokus terhadap event yang waktunya terus berjalan.
Belum lagi kalau dia tahu masing-masing orang harus mengaktifkan A-Box agar menghindari sanksi dikeluarkan dari sekolah.
Aku sendiri masih bingung harus menjawab bagaimana. Bagiku masalah pencurian lagu adalah sesuatu yang rumit, bahkan jika aku atau Sherly menciptakan lagu baru, selama pelakunya belum terungkap bisa saja kejadian ini akan terulang. Belum lagi rasa curiga antara satu sama lain akan mempengaruhi kinerja kami dalam kelompok.
"Aku juga enggak tau," balasku lirih.
"Saat begini aku jadi benar-benar bingung harus ngapain. Bahkan tadi aku sempat bentak kamu. Padahal aku udah yakin banget kalau kamu enggak bakalan ngelakuin itu."
"Kenapa kamu percaya banget sama aku?"
Aku menghentikan langkah kakiku, bertanya dengan penuh keraguan. Dia tidak seharusnya percaya begitu saja pada orang yang baru dikenal beberapa minggu. Walaupun sebenarnya perkataannya tadi membuatku sangat senang.
Kebingungan pada wajahnya tidak bisa disembunyikan. Sepertinya ucapan tadi hanya untuk sedikit menghiburku. Dia berusaha mencari alasan, tapi itu sudah tidak diperlukan lagi. Namun, melihatnya terus mencari jawaban membuat Daniel terlihat lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
Подростковая литератураCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...