06 September 2025
Aku sudah melihat panggung, tetapi tidak mendapati hasil memuaskan seperti yang diharapkan. Selain itu aku juga mendapati ada perselisihan antara Kelas A dan Kelas B.
Kelas A katanya mendominasi panggung dan tidak membiarkan murid dari kelas lain untuk memeriksa. Sedangkan murid-murid Kelas B yang tidak suka melayangkan protes mereka dan terjadi pertikaian kecil. Walau itu hanya adu mulut.
“Kayaknya emang semua panggung dikuasain mereka. Kita cuma buang-buang waktu di sini. Yuk balik ke asrama,” kata Riri.
Kami baru saja selesai melihat beberapa panggung dekat area SMA Amemayu. Namun, semuanya sudah diduduki murid-murid Kelas A dan mereka tidak membiarkan kami melakukan pengecekan.
Langit makin gelap, lampu menyala satu per satu dari tiang jalan dan juga bangunan-bangunan di sekitar. Lalu lintas bahkan lebih padat dibanding sebelumnya, tampak terburu-buru. Pejalan kaki berangsur-angsur berkurang.
“Kelas A, kayaknya rencanain sesuatu, ya?”
Aku sengaja berkata sesuatu seperti itu dengan nada sedikit bercanda. Sebenarnya aku tidak terlalu memahami orang macam apa Riri Arfiani yang ada di depan sana.
Pertanyaan itu kumaksudkan untuk melihat reaksinya, tetapi dia tak kunjung membalas dan terus saja melangkah tanpa memperdulikanku. Lebih seperti, suara tadi tidak sampai kepadanya. Namun, ketika sudah dekat taksi yang menjemput kami, Riri tiba-tiba saja membalas.
“Ya, rencana cowok itu udah dimulai.”
Caranya bicara terkesan kaku–terlalu datar. Aku memang sudah memperhatikannya beberapa hari belakangan ini. Riri memberikan gambaran kalau dirinya ini mirip robot, menurutku.
Perilaku, ekspresi, dan juga gaya bicaranya benar-benar datar. Bahkan aku hanya melihat wajah kesalnya sekali ketika pertama kali memasuki Kelas F. Meskipun begitu, Riri juga memancarkan aura sulit didekati. Terutama faksi-faksi anak perempuan di kelas juga tidak berani masuk ke zonanya.
“Jadi kamu udah tau kalau Kelas A rencanain ini?”
“Apa kamu penasaran? Muka kamu enggak nunjukin kamu pengen tau sama sekali.” Riri akhirnya menoleh, wajah kami kini berhadapan. Dia memiliki mata yang bagus.
“Mukaku udah emang kayak gini, mau penasaran atau enggak.”
Aku melayangkan protes, tetapi langsung ditepis oleh wajah Riri yang seolah-olah mengatakan ‘begitukah?’. Kami pun akhirnya masuk ke dalam taksi sambil diselimuti keheningan.
Hanya deru mobil yang terdengar. Baik aku maupun Riri masih sama-sama bungkam. Bahkan kami kini fokus dengan diri masing-masing. Aku memikirkan beberapa hal, sementara dia melihat ke luar jendela.
Perjalanan ini benar-benar sunyi. Meski supir di depan sana menyalakan musik, tetap saja rasanya begitu hening. Seolah, memang ada dinding pembantas antara aku dan Riri untuk berkomunikasi.
Ketika aku memikirkan cara agar bisa menghancurkan kebekuan adalah membuka percakapan, perasaan mustahil menyembur dalam hati. Mustahil, benar-benar mustahil orang yang suka mengikuti arus memulainya.
Bahkan ketika aku berusaha membuka pembicaraan sebelum masuk ke taksi tadi saja sudah membuang banyak tenaga. Melihat sikap Riri tadi, dia benar-benar orang di luar jangkauanku.
“Kalau ada sesuatu yang pengen kamu omongin, bilang aja.”
Saat aku terlalu larut dalam pemikiran pesimis tentang kemustahilan, suara Riri membangunkanku. Mataku langsung mengarah padanya, mungkin saat ini ekspresi terkejut terpampang jelas di wajah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
Novela JuvenilCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...