Orang bilang, jika kita menunggu, maka waktu akan terasa berjalan lebih lambat daripada biasanya. Sama seperti situasiku saat ini. Angin di balik kaca bertiup pelan, menerbangkan daun-daun yang terlepas dari rantingnya dengan ringan.
Awan-awan di langit bergerak cukup lambat, mirip siput yang tengah menyeret cangkangnya. Aku masih duduk di kursiku, mengabaikan penjelasan guru yang sedang berdiri di depan kelas. Suaranya memang terdengar, tetapi aku tidak bisa memahaminya.
Hal yang menggangguku adalah proposal Riri Arfiani yang datang tiba-tiba.
Ia bilang kalau dirinya sudah mengetahui bagaimana sistem kartu merah dan penguasaan serta perebutan panggung–yang kelihatannya merupakan inti dari free event–dan akan membagikannya kalau aku mau bergabung. Ini benar-benar mengusik pikiranku.
Informasi yang kumiliki terlalu sedikit, semuanya masih samar. Aku baru menyentuh permukaannya saja dan belum menyelam untuk mengungkap lebih jauh. Lagi pula siapa orang bodoh yang mau menyelami tempat yang asing?
Di antara pemikiran rumit itu, bel pulang membangunkanku pada kenyataan. Guru yang mengajar tadi ternyata sudah merapikan kembali barang-barangnya, beliau lalu menyuruh kami untuk melakukan presensi sebelum pulang melalui alat finger print yang berada di dekat pintu masuk.
Akhirnya, ini adalah saat yang sudah ditentukan. Riri menunggu jawabanku sehabis pulang sekolah, yaitu sekarang. Tentu saja tidak bisa langsung begitu.
Gadis itu tampaknya juga paham, ia masih ada di bangkunya. Sementara murid-murid lain mulai bangkit dan berjalan keluar setelah melakukan presensi.
Semua perhatian yang aku terima ketika istirahat pertama tadi sudah memudar. Seolah tidak begitu istemewa lagi, mereka dengan cepat kehilangan minat. Mulai dari 'hebat, kamu dapat kartu merah' sampai 'ah, dia yang punya kartu merah, ya?' adalah gambaran reaksi mereka.
Aku sedikit bersyukur karena minat mereka berkurang dalam sekejap, tetapi ada juga sebagian murid yang aku lihat masih sedikit penasaran. Situasi ini terjadi karena kurangnya pengetahuan kami mengenai hubungan free event dan kartu merah.
Sejujurnya, ini membuatku khawatir.
"Jadi, apa jawaban kamu?"
Ia datang. Suaranya yang tegas dan penuh keyakinan itu keluar begitu mulus ketika tidak banyak orang yang tersisa di kelas ini. Meski meminta jawabanku, Riri tak bangkit ataupun menoleh kemari. Dirinya masih duduk tenang bagai seorang ningrat di sana.
Untuk saat ini ... aku tidak bisa memberikan jawabanya. Bukan maksud tidak mau bekerja sama dengan Riri, tetapi aku masih memiliki sedikit keraguan.
"Apa kamu bisa ngasih perpanjang waktu buat aku mikir?"
Dengan suara lebih pelan, aku meminta kepadanya. Kedengaran egois memang. Namun, kesepakatan yang diberikan oleh Riri terdengar seperti satu arah. Tidak masalah kalau aku meminta perpanjangan waktu, 'kan?
Aku melihat rambutnya yang tergerai, Riri tampaknya tak punya niatan sedikit pun untuk menoleh kemari. Ia masih mempertahankan posisi duduknya dalam beberapa detik sebelum akhirnya bangkit.
"Kalau gitu, gimana kalau kita bicarain hal ini sambil jalan?"
Untuk pertama kalinya, Riri melirik ke arahku. Sorot matanya sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan atau harapan. Murni sebuah sorot yang menyimpan sesuatu yang tidak kumengerti, ia kelihatan bersemangat.
Meski masih ragu, aku menganggukkan kepala sebelum ikut berdiri dan berjalan mengikutinya. Kelas sudah benar-benar sepi sekarang. Hanya ada kami berdua yang tersisa, sehingga tidak perlu waktu lama untuk mengisi presensi.
"Aku masih enggak nyangka kalau orang yang bakalan megang nasib kelas sepayah ini." Riri memberikan pendapatnya dengan ringan ketika ibu jarinya menyentuh alat yang tergantung di samping pintu.
Riri adalah orang baru di Kelas F, ia memiliki pandangan berbeda dengan orang-orang yang dua bulan ini sudah satu kelas bersamaku. Bahkan untuk orang baru, kesan yang kuberikan juga sama buruknya, ya?
Aku hanya bisa meratapi kegagalan ini di dalam hati, sepayah itukah aku?
"Kata-kata kamu kejam juga, ya."
"Aku cuma ngasih pendapat jujur. Ini juga gara-gara aku yang malah jatuh ke Kelas F."
Kami baru saja keluar dari gedung pembelajaran. Namun, bukannya menuju ke arah asrama, Riri menggiringku menuju gerbang sekolah yang terbuka lebar. Aku tidak punya dugaan mengenai apa yang ia inginkan.
Udara hari ini juga terasa dingin, walau awan mendung tidak tampak di atas kepala. Aku terus mengikuti langkah Riri tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Apa yang baru saja diucapkannya adalah kenyataan yang menyakitkan sehingga aku kehabisan kata-kata.
Sudah beberapa hari semenjak kami diperbolehkan keluar area sekolah untuk mengecek panggung yang tersebar Di Kota Yogyakarta. Bahkan hari ini pun aku bisa melihat banyak murid dari kelas yang berbeda keluar masuk melalui gerbang.
"Kamu mau ngajak aku ke panggung?"
Aku mengeluarkan pertanyaan tadi ketika kami sudah melewati batas sekolah, di mana ada taksi yang sedang menunggu. Riri menengok ke arahku sebentar sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil itu dan melambaikan tangannya. Tanpa kata-kata, aku bergerak ke sana dan kini duduk di sebelahnya.
"Aku rasa bakalan lebih gampang kalau kamu dikasih liat gimana cara kerja kartu merah." Ia melipat kedua tangannya di bawah dada. Raut muka Riri tampak serius, sorot matanya yang tajam itu seakan-akan menekankannya.
Hanya anggukan yang kuberikan sebagai respon. Ia bermaksud untuk memperlihatkan bagaimana sistem kartu merah dan penguasaan secara langsung agar aku segera bisa memutuskan kesepakatan dengannya.
Beberapa saat setelahnya, taksi ini pun melaju ke jalanan. Tidak ada di antara kami yang bersuara, hanya ada deru mobil yang menemani sepanjang jalan. Kalau dilihat-lihat, Riri seperti orang serius yang berbicara seperlunya. Tipe orang yang sangat sulit bagiku.
Dia tidak semudah Sherly atau Tiara. Namun, kelihatannya juga tidak sesulit Ryan. Selama aku menimbang-nimbang hal itu, Riri tiba-tiba menatapku sambil berucap.
"Kenapa?"
"Aku sedikit penasaran, kenapa kamu bisa jatuh ke Kelas F? Padahal popularitas Kelas A enggak di-reset ke angka nol kayak kelas kami."
Dipikirkan dengan akal sehat dan ketentuan kelas, mustahil ada anak Kelas A yang akan jatuh langsung ke Kelas F. Jika seseorang berada di Kelas A, maka setiap awal bulan popularitasnya akan di-reset menjadi 8.355, angka itu terlalu jauh.
Meski melakukan pelanggaran, seharusnya mustahil seseorang akan kehilangan banyak popularitas sampai-sampai terjerumus ke kelas terbawah. Riri Arfiani yang merupakan murid Kelas A, mustahil memiliki banyak pelanggaran di bulan ketiganya, 'kan?
Ekspresinya yang tegas tadi sempat berubah menjadi terkejut, tetapi ia buru-buru menghapusnya dan kini malah memasang raut muka yang kaku. Riri pun kembali memalingkan kepalanya ke depan sebelum menghela napas.
"Kamu bisa anggap kalau aku lagi kena sial."
Alasan macam apa itu? Mungkin ekspresiku sekarang menampilkan kebingungan. Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ia maksud.
Sebelum aku mengejar topik ini lebih lanjut, Riri buru-buru memotong dan mengatakan kalau dirinya sudah tidak mau membahas hal tersebut. Ditambah mimik mukanya yang tampak kesal, aku sedikit merasakan kejengkelan pada nada bicaranya.
"Aku bakalan naik lagi ke Kelas A." Walau terdengar samar, aku bisa mengetahui apa yang sebenarnya ia ucapkan. Kalimat itu seperti memiliki tekad kuat.
Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis bernama Riri Arfiani ini. Namun, kejatuhannya sendiri ke Kelas F merupakan kesialan baginya. Lalu, dalam free event kali ini sepertinya ia sangat ingin merangkak naik. Ini membuatku sedikit penasaran tentangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularitas adalah Segalanya (Melodi)
TienerfictieCerita tentang seorang gadis bernama Aila Permata Putri yang masuk ke dalam sekolah seni bernama SMA Amemayu. Aila yang ingin merasakan kehidupan SMA yang menyenangkan dengan teman-teman baru malah dihantam oleh kenyataan bahwa sekolahnya sama sekal...