Kamar pengantin itu dihias dengan nuansa putih disertai bunga beraneka rupa, siap menyambut pasangan suami istri baru, Jata dan Puput. Masih terngiang janji pernikahan yang mereka ucapkan tadi pagi. Janji yang suci dan diucapkan sepenuh hati di hadapan Tuhan, sungguh membuat hati keduanya mengembang."Capek, Put?" tanya Jata pada istrinya yang kini duduk di depan meja rias. Ia kasihan juga pada perempuan bertubuh mungil berkulit putih bersih yang tampak rapuh itu. Rambutnya disanggul besar dan diberi kembang goyang dari perak bergemerincing yang melingkar di atas kepala. Baru melihatnya saja leher Jata ikut merasa pegal. Belum lagi untaian tebal bunga melati yang menjulur dari sanggul hingga ke dada. Semua kerumitan atribut busana pengantin Jawa itu membuahkan hasil. Puput tampil anggun dan sangat cantik hingga Jata tak bisa melepaskan pandangan. Kebaya putih yang dikenakannya membuat perempuan itu menjelma bak putri raja. Putri Paramitha, nama lengkap sang istri, benar-benar putri Jawa yang cantik.
Puput menjawab dengan anggukan kecil. Ketika kepalanya bergerak, hiasan kepalanya bergemerincing kembali, membuat Jata yang berdiri di belakangnya geli.
"Mau kubantu melepas hiasan ini?" tanya Jata.
Puput kembali mengangguk. Matanya menyorotkan kelesuan. Naluri Jata menyentil, mengatakan ada masalah. Namun, ini hari pernikahan mereka. Jata tengah terlalu berbahagia untuk mendeteksi masalah. Jata pun mendekat, berdiri di belakang istrinya, lalu mencabut satu demi satu kembang goyang dari kepala Puput. Setelah itu, dicabutnya untaian melati.
"Udah, Kak. Selanjutnya biar aku aja," cegah Puput saat Jata berniat melepaskan sanggul. Jemari mungil nan lentik Puput kemudian bergerak lincah mencabuti pengait sanggul hingga benda itu terlepas. Jata melihat prosesnya dengan penuh cinta. Semua tindak tanduk Puput membuatnya bahagia. Mungkin itu efek menjadi suami baru. Perempuan asal Semarang itu memang berperilaku lembut dan santun.
Sungguh berbeda dengan dirinya yang asli Dayak Ngaju[1] Kalimantan Tengah. Namanya saja Jata Panarung. Dalam bahasa Dayak, jata berarti naga. Panarung berarti berlaga. Jadi namanya bermakna naga yang berlaga. Berlaga yang dimaksud di sini bukan bertarung secara fisik saja, melainkan berlaga dalam segala bidang dan berbagai cara untuk mengubah kekacauan menjadi kebaikan. Nama yang sangat cocok untuk menggambarkan dirinya saat ini, seorang pria muda yang tinggi besar, tampan, dan memiliki karir yang cemerlang. Akan tetapi, keunggulan itu juga disertai tindak tanduk yang gesit dan gegas sehingga mungkin dianggap kasar oleh orang-orang Jawa. Jata meringis sendiri bila mengingat itu.
Dari cermin terlihat pantulan wajah Puput. Ia tampak lesu. Matanya redup sehingga membuat Jata bertanya-tanya. "Kamu beneran kecapekan, Put?"
Puput hanya meliriknya sekilas. "Kak Jata nggak lepas baju?" balasnya.
Sebenarnya Puput merasa risih memanggil Jata dengan sebutan "Kak". Bila boleh memilih, ia lebih suka memanggil "Mas" seperti kebiasaan orang Jawa. Akan tetapi, Jata selalu tertawa bila dipanggil "Mas" dan memaksa dipanggil "Kak" seperti kebiasaan orang Dayak.
"Oh, iya. Sampai lupa karena melihat kamu cantik banget," goda Jata.
Puput mencibir dengan manja. Matanya berbinar kembali sehingga kekhawatiran Jata lenyap.
"Put, gimana melepas keris ini?" tanya Jata sambil bergaya kesulitan. Boleh, kan, manja sedikit pada istri sendiri? pikirnya.
Puput bergerak mendekat, lalu dengan tangan lembutnya ia menarik senjata khas Jawa itu dari pinggang belakang suaminya.
"Kain bebat ini gimana, Put?" Jata nyengir lagi, semakin bersemangat bermanja pada sang istri.
Puput mencibir kembali, namun tangannya bergerak mengurai kain yang melingkar di pinggang lelaki jangkung dan kekar itu. Berdiri di belakang Jata yang memiliki tinggi 186 cm dan memiliki bobot 80 kg, Puput yang cuma 155 cm dengan bobot 47 kg terlihat sangat mungil.
Gerakan-gerakan tangan Puput di sekeliling pinggang membuat jantung Jata berdegup kencang. Saat tangan itu melingkar ke depan tubuh, ditangkap dan digenggamnya erat.
"Kak Jata," desah Puput saat wajah dan tubuhnya tertarik dan tersandar ke punggung suaminya karena kedua tangannya digenggam.
"Aku sayang kamu, Put," bisik Jata sambil mengusap lembut tangan Puput dengan kedua ibu jari.
Jantung Puput berdebar kencang. "Aku juga," bisik pemilik rambut hitam ikal itu. "Tapi lepasin tanganku dulu. Katanya mau dibantu melepas kain?"
Jata terkekeh, lalu merentangkan kedua lengannya agar Puput leluasa melakukan pekerjaan. Setelah semuanya selesai, Puput segera menghindar ke meja rias. Mata Jata mengamati istrinya dengan awas. Kini ia benar-benar menangkap binar kecemasan di dalam mata Puput. Sambil melepas jas khas Jawa yang disebut beskap dan kain batik yang dikenakan, Jata memperhatikan istrinya diam-diam.
"Kakak jangan lihatin aku terus. Aku mau buka kebaya, nih," protes Puput.
"Kenapa?"
"Malu, ih!"
Jata terkekeh geli. Mungkinkah ini efek perbedaan usia mereka yang jauh? Ia sudah tiga puluh tahun sedangkan Puput masih 22 tahun. "Loh, aku suamimu sekarang. Kenapa malu?"
"Pokoknya enggak! Balik kanan dong, Kak." Puput merengut.
"Iya, iya," jawab Jata seraya membalikkan badan membelakangi.
Puput menatap sosok Jata dari cermin. Tubuh gagah itu tengah melepas pakaian satu demi satu, memperlihatkan postur tubuh yang atletis. Kulitnya yang kuning terang semakin menambah pesona lelaki yang telah resmi menjadi suaminya itu.
"Aku udah nih. Kamu gimana?"
Puput terkesiap. Tangannya menggapai-gapai kancing kebaya yang terletak di belakang. Sampai berkeringat, tetap saja ia tidak bisa melakukannya sendiri. "Kak, susah nih," rengeknya akhirnya. "Bantuin?"
Jata membalikkan badan. Dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, lelaki itu semakin menawan. Puput baru sekali ini melihat Jata bertelanjang dada. Ternyata otot-ototnya bergulung indah di lengan dan dada. Puput harus mengakui bahwa Jata sangat menawan. Wajahnya berahang tegas, matanya agak sipit namun beralis tebal dan bersorot tajam seperti mata elang. Hidungnya biasa saja, namun runcing dan indah.
Ingin rasanya memeluk suaminya itu dan membenamkan diri dalam kehangatannya. Namun sesuatu dalam diri Puput menahannya, membuat perempuan muda itu justru ingin menghindar.
"Wah, kancing kok banyak bener gini?" ujar Jata. Ia pun kesulitan melepaskan deretan kancing tersebut. Setelah semuanya terbuka, ia juga membantu membuka resleting dalaman kebaya. Terkuaklah tubuh mulus itu. Tangannya mulai mengelus dengan lembut. Dengan perlahan dan penuh sayang, dikecupnya bahu sang istri.
Puput menahan napas. Ia menyadari apa yang mulai tumbuh di dalam hati. Rasa takut. Ya, entah mengapa, ia benar-benar takut sekarang. Bukan tidak ingin dijamah dan dimanjakan. Oh, ia sangat ingin. Namun, apa yang akan mereka lalui setelah itu membuatnya merinding.
"Udah segitu aja, Kak. Aku mau ganti baju di kamar mandi," ujarnya. Detik berikutnya ia menyambar baju ganti dan bergegas pergi ke kamar mandi.
"Put? Put? Mau ke mana?" panggil Jata yang terusik karena kecupannya terputus.
===TBC===
[1] Ngaju adalah salah satu rumpun suku Dayak yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah. Ada beberapa rumpun besar, seperti Punan, Murut dan Apokayan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara hingga Sabah, rumpun Klemantan dan Darat di Kalbar, Iban di Kalbar hingga Serawak dan Brunei.
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...