Rasa khawatir akan keselamatan Puput melanda Jata. Ia segera memanggil istrinya. "Put, kemasi barang-barang. Ambil yang penting-penting aja. Kita pergi sekarang juga!"
"Sekarang, Kak?" Puput keheranan. "Ke mana?"
"Iya sekarang. Nanti kita pikirkan sambil jalan."
Puput tidak membantah. Ia pun menjadi ngeri setelah menyaksikan sendiri bagaimana Jata terluka. Dengan bergegas, gadis itu masuk ke kamar dan memasukkan barang-barang penting ke dalam koper.
Mengendus ada yang tidak beras, Dehen menggerakkan tangan seolah ingin menahan. "Saya pikir tidak...."
"Kenapa, Pak?" tanya Jata.
Dehen ingin mengatakan sesuatu, namun urung karena melihat tekad Jata. Ia hanya menggeleng beberapa kali. "Ah, tidak apa-apa. Kita coba saja, siapa tahu bisa."
Jata meninggalkan Dehen seorang diri di ruang tengah untuk membantu Puput mengemasi barang-barang, kemudian memasukkan koper ke bagasi mobil. Setelah mengganti baju, mereka bertiga berangkat.
"Kita ke mana?" tanya Dehen saat mobil meninggalkan halaman.
"Bapak punya usul, tempat yang aman untuk mengungsi?" Jata malah balik bertanya.
"Sebenarnya tidak ada. Ke mana pun kalian akan tetap diburu. Tapi kalau untuk ketenangan batin, bolehlah kita mencoba Loksado. Saya punya pondok sederhana di sana, dan pemandangannya cukup bagus. Ada danau, arum jeram, dan yang paling penting, sahabat-sahabat saya selalu siap untuk membantu."
Yang Dehen maksud dengan sahabat tentu saja bukan berasal dari alam manusia.
Jata segera mengkalkulasi jarak tempuh. "Kurang lebih tiga jam, ya. Hmmm ... apa tidak terlalu jauh?"
"Ah, benar juga," sahut Dehen.
Setelah berpikir sejenak, Jata akhirnya menemukan sebuah tujuan yang dia pikir aman. "Ke Kapuas saja. Papa saya punya kebun karet dan pondok di sana. Letaknya dekat dengan sungai."
"Boleh. Kapuas lebih dekat. Semoga istrinya sanggup sampai sana."
Kening Jata kontan mengernyit. "Maksud Bapak?"
"Kita lihat saja nanti. Saya juga belum tahu pasti."
Jata mengembuskan napas berat. Selalu begitu bila menyangkut dunia gaib. Tidak seorang pun bisa memberi keterangan lengkap, apalagi masuk akal. Jawaban yang ia dapat selalu setengah-setengah, kabur, serta muskil seperti benang kusut tercebur got.
Jata pun melajukan mobil secepat mungkin menuruni area Riam Kanan menuju lingkar luar Banjarmasin. Tanpa memasuki kota, mereka membelok ke kanan menuju arah Kapuas. Tak ada yang berbicara selama perjalanan itu sehingga suasana menjadi mencekam.
Matahari mulai bergeser ke barat, meninggalkan langit merah membara. Setelah kira-kira satu setengah jam, mereka sampai di simpang empat menuju keluar kota, yang dikenal dengan perempatan Handil Bakti.
Puput mulai gelisah setelah melewati simpang empat itu. "Kak, aku pusing banget."
Khawatir, Jata mengamati istrinya dari smaping. "Pusing gimana? Mabukkah?"
Puput mengangguk.
"Dibuka aja jendelanya," kata Jata. Ia menurunkan kecepatan kendaraan untuk membuat Puput lebih nyaman. "Turunkan sandaran kursimu, lalu tidur."
Puput menurut. Ia hanya bisa bertahan beberapa saat. Rasa mual itu semakin menjadi. Tangannya meraih kantung plastik, lalu keluarlah isi perutnya sampai habis.
Jata menghentikan mobil dan membantu Puput turun untuk menyelesaikan muntahnya. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan.
"Jalan pelan-pelan aja," saran Dehen seraya memberikan minyak gosok untuk dioles di kening dan leher Puput.
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...