Sepulang Asrul, Jata mengajak Puput berkeliling sekitar lingkungan rumah. Rumah pertama yang mereka kunjungi adalah rumah Pak Gani yaitu tetangga terdekat mereka. Sepasang suami istri yang ramah itu, menerima pasangan pengantin baru itu dengan senang hati. Setelah berbasa-basi sejenak, Puput menjadi penasaran.
"Siapa saja yang pernah tinggal di rumah itu, Pak?" tanya gadis mungil itu.
"Oh, banyak. Ada suami istri yang membangun PLTA. Lalu sesudahnya sering dipakai mess untuk karyawan-karyawan yang masih single. Mereka dikumpulkan jadi satu di situ."
"Apa sudah lama kosong, Pak?" tanya Puput lagi.
"Lumayan. Terakhir ditempati sekitar lima tahun yang lalu. Tapi selama itu ada kalanya dipakai tukang sementara, paling sebulan atau dua bulan."
"Puput takut kalau angker, Pak. Terpengaruh sama Asrul," sahut Jata.
"Ah, Asrul memang seperti itu. Kadang sok tahu dunia gaib. Saya sih ragu. Soalnya sepanjang saya tinggal di sini, sudah dua puluh tahun, tidak pernah ada apa-apa."
"Nah, tuh," kata Jata ditujukan ke istrinya.
Pak Gani tercenung sejenak. Kemudian berkata dengan ragu. "Mungkin karena hutan di belakang itu masih rimbun dan tinggi, jadi ya kadang seolah ada apa-apa." Ia memberi penekanan pada kata "seolah". Lalu dengan memajukan badan, ia berbisik, "Sebaiknya jangan main-main ke hutan. Masih banyak ular."
Puput meringis. "Bisa masuk rumah, Pak?"
"Bisa! Saya beberapa kali nemu di dapur saya ini."
Jata merangkul istrinya. "Udah kukasih garam di tiang-tiang rumah."
"Kalau soal angker, semua kawasan hutan biasanya angker," lanjut Pak Gani.
"Tinggal kita saja, pandai-pandai menjaga diri. Selama pantangan tidak dilanggar, semua baik saja. Saya kan dari hulu Sungai Katingan di Kalimantan Tengah. Wah, hutan di sana lebih perawan dan lebih angker."Pak Gani, Bu Gani, dan Jata terkekeh bersamaan. Puput hanya terheran.
"Begini, Dik Puput, orang Dayak itu tidak takut hutan."
Mereka melanjutkan obrolan itu dengan bertukar kisah dari daerah masing-masing sampai teh dan kopi yang disuguhkan habis. Sebelum melepas pasangan suami istri baru itu, Pak Gani memberikan dua lembar daun.
"Dik Jata tahu kan ini daun apa?" tanya lelaki berusia empat puluhan itu.
"Tahu Pak. Itu daun sawang, bukan?"
"Betul, Dik. Tolong dipasang di pintu dan diletakkan di bawah bantal ya."
"Untuk apa, Pak?" Walau tahu kegunaan daun itu untuk menangkal pengaruh gelap, ia meragukan hubungannya dengan kondisinya saat ini. Lagi pula berdasarkan pengamatan Jata, beberapa kerabat atau temannya tetap saja mengalami nasib sial walaupun sudah menyimpan daun itu di rumahnya.
"Terima kasih, Pak," sahut Puput cepat-cepat seraya mengambil daun itu dari tangan Pak Gani. "Nanti akan kami pasang di rumah sesuai saran Bapak."
Dari rumah pak ini, mereka berkeliling halaman sekitar rumah. Di belakang rumah tiba tiba Puput tercenung menatap hutan di hadapannya.
"Ada apa di dalam hutan itu, Kak?"
"Pohon," jawab Jata singkat.
"Yah! Kalau itu aku tahu. Maksudku ada misteri apa di dalam sana?" Mata Puput terus menatap pepohonan tinggi yang rapat yang membuat area di bawahnya gelap.
Jata mengangkat alis. "Misteri? Apa di sana kelihatan seperti ada misteri?"
"Tuh, gelap begitu. Kayak ada yang menyelubungi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...