Keterangan Matias membuat Jata bagai disengat lebah. Sefatal itukah sebuah ilmu gaib? Lantas, bagaimana melepaskan diri dati jeratannya?
"Hah? Kenapa Papa biarin orang naruh barang begituan di badanku?" Sewot benar Jata.
"Ya mana Papa tahu! Barang itu masuk begitu saja saat kamu masih di dalam kandungan! Kamu pikir Papa rela? Sewaktu kamu bayi, Papa sudah mencari segala cara buat membuangnya." Sewot juga papanya.
Jata memandang sang ayah. Mata lelaki itu tidak menampakkan kemarahan, melainkan rasa frustasi dan penyesalan. Segera terbayang, keputusan berat yang harus diambil sang ayah. Ayahnya tentu lebih memilih ia tetap hidup.
"Papa sudah tahu saat ini akan datang. Cuma Papa tidak menyangka akan secepat ini. Kamu masih sangat muda, sedang menuju puncak. Anak pun belum punya...." Matias berkata lirih, setengah meratap.
Jata meresapi benar-benar perkataan itu. Semua nadanya muram. Hanya satu hal yang terpikir dalam benaknya saat ini, "Aku akan mati dalam peperangan itu, Pa?"
♡♡♡
Matias dan istrinya masih bertahan di rumah itu dua malam lagi. Sebelum meninggalkan anak dan menantunya, Matias berpesan agar Jata jangan melepaskan kalungnya. Setelah pasangan itu pulang, Jata dan Puput mampir di lokasi pembangunan rumah mereka.
"Yah, kayaknya masih belum siap ditempati, Put. Air belum ada. Kamar mandi belum selesai."
"Tapi tinggal sedikit lagi. Dua minggu lagi selesai, Pak," kata petugas developer.
"Lama amat? Katanya minggu ini. Kalian sudah molor dua kali, lho!" protes jata. Wajahnya benar-benar ditekuk dan matanya menatap nyalang.
Wajah petugas tersebut langsung berubah. "Siap, Pak. Kali ini tidak akan molor lagi."
"Benar, ya! Jangan molor lagi!" kata Jata dengan tekanan keras.
"I ... iya. Siap, Pak." Petugas itu tergagap mendapat reaksi keras Jata.
Puput mengelus punggung suaminya, sebagai permintaan untuk bersabar. Baru kali ini ia melihat Jata sekeras itu. "Yuk, kita pulang," ajaknya.
Jata menurut. di dalam mobil, ia masih mengomel, kecewa dengan pelayanan developer. Puput hanya mendengarkan dengan keheranan. Jata yang marah itu menyeramkan.
"Kita keliling sebentar, ya," kata Jata.
"Untuk apa, Kak?"
"Mencari rumah sewaan sementara."
"Cuma dua minggu? Nanggung banget. Malas, ah, pindahan dua kali."
Jata terlihat kecewa. Puput langsung tanggap. "Iya, terserah Kakak aja."
"Ngeselin kalau kamu udah ngomong terserah."
Puput menoleh. "Kalau aku menolak pun, kamu nggak menggubris, kan?"
"Maksudnya apa, nih?"
Puput terdiam. Ia bingung dengan sikap keras Jata. Apakah gara-gara stres akibat penyerangan makhluk halus tempo hari?
Tak ada yang berbicara setelah itu. Mereka bahkan batal mencari rumah kontrakan. Jata melajukan mobil ke jalan menuju kompleks PLTA.
"Nggak jadi cari kontrakan?" tanya puput.
"Nggak!"
"Ya udah!" Puput ikut kesal.
"Ya!"
Setelah beberapa saat, Puput teringat sesuatu. "Kita belanja bahan makanan atau membeli makan siang?"
Jata menoleh dengan wajah ditekuk. "Kenapa nggak bilang dari tadi, Puput!"
"Ya, aku lupa."
"Lupa? Sekarang kita harus putar balik, gitu? Malas!"
Puput benar-benar emosi sekarang. "Aku lupa karena kamu jadi galak banget, Kakak Jata! Pikiranku rontok karena kamu bentak-bentak!"
Jata meminggirkan mobil dengan mendadak, lalu parkir di bahu jalan. Ditatapnya istri mungilnya dengan tajam. "Aku malas berantem, ya, Put! Sekarang maumu apa?"
Puput merengut. "Terserah!"
Jata mendengkus. Dengan kasar ia memutar mobil. Ban mobil naik mendadak dari bahu jalan ke aspal, kemudian memutar tajam dengan cepat. Gerakan itu menimbulkan goncangan keras hingga kepala Puput terbentur kaca. Puput mengaduh dan memegang kepala. Melihat itu, Jata tersadar. Ia menghentikan mobil kembali.
"Put? Put? Mana yang terbentur? Maaf banget, aku nggak sengaja."
"Nggak ada!" semprot Puput. Air mata membulir di kedua sudut mata. Sejurus kemudian, ia terisak-isak.
Jata meremas rambut dengan frustasi. Kalau Puput menangis, ia menjadi serba salah. Mengapa ia harus menuruti amarah, bertengkar tidak jelas begitu? Tangannya terulur untuk mengelus kepala istrinya yang terbentur. Puput menepisnya dengan kasar dan terus menangis. Dengan hilang akal, Jata diam, menunggu istrinya selesai sesenggukan.
"Kita belanja atau pulang?" tanya Jata setelah beberapa waktu. Lama juga Puput sesenggukan. Hampir setengah jam. Selama itu pula mereka berhenti di pinggir jalan.
"Pulang!" balas Puput dengan sengit.
"Di rumah ada makanan apa?"
"Nggak ada!"
"Nggak ada, ya," Jata mengulang kata-kata istrinya. "Lalu kita makan apa?" tanya Jata perlahan.
"Nasi sama garam!"
"Kok kayak aku nggak kasih kamu uang bulanan, ya?" Jata mulai menggoda.
Puput terdiam.
"Ya udah. Aku mau beli bebek goreng. Kamu ikut, kan?"
Puput tidak menjawab. Apa ada pilihan lain selain ikut? Bukankah mereka semobil?
Mereka menuju warung bebek di dekat bundaran. Selama makan, Puput mengamati suaminya. Jata makan sampai menambah dua porsi. Hal yang belum pernah dilihatnya selama ini.
"Enak, Kak?" tanya Puput.
Jata mengangguk. "Aku belum kenyang. Tolong pesankan satu lagi."
"Kak, masa sekali makan empat porsi?"
"Aku masih lapar," jawab Jata singkat.
"Makan itu pakai aturan. Kalau berlebihan pasti nggak bagus buat kesehatan."
"Put!" sentak Jata.
Puput terkejut. Mata Jata berkilau tajam menyeramkan.
///////////////
Bersambung bulan depan, ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...