36. Peluk Aku

472 31 6
                                    

Mereka melanjutkan perjalanan. Sepanjang sisa perjalanan, Puput tidak melepaskan tangan dari suaminya. Bila jalan mulai sulit, ia tidak segan meminta Jata mengangkatnya. Ia sengaja. Jata terlihat senang dengan permintaan itu. Beberapa kali tubuh kekar itu menggendongnya sambil mengecup pipi dan bibirnya. Mereka terus bergandengan hingga singgah di warung makan.

Warung itu aneh. Di bagian depan terdapat kursi-kursi dan meja kayu panjang. Tempat pembakaran terletak paling depan. Pengunjung yang datang langsung disambut dengan asap pembakaran yang membawa aroma sedap ikan panggang. Jata tidak berhenti di kursi-kursi itu, melainkan langsung masuk ke rumah.

Seorang bapak berusia paruh baya menyambut mereka. Rupanya lelaki itu telah mengenal Jata. Ia mempersilakan Jata masuk. Puput terheran saat mereka melintasi ruang tamu dan ruang tengah, lalu terus ke belakang lagi. Ia baru tahu bahwa di bagian belakang rumah itu ada teras yang menghadap waduk. Lebih banyak lagi bangku dan meja makan di situ. Mereka tidak sendiri. Ada dua rombongan lain sedang makan di situ.

"Mau pesan apa, Nak?" tanya si bapak pemilik warung.

"Kakak pesankan untukku. Aku kebelet pipis," sahut Puput. Sambil berlalu, ia mendengar Jata menyebutkan beberapa makanan.

Toilet sederhana itu cukup bersih. Setelah merasa puas, Puput kembali ke tempat semula. Saat itulah ia menemukan suaminya kembali tercenung dengan tatapan kosong. Begitu kosong hingga tidak menyadari kehadirannya.

Rasa khawatir segera menghantui. Disentuhnya bahu Jata. Lelaki itu bergeming. Puput semakin cemas. Ia duduk di samping Jata, lalu meraih tangannya. Tangan itu dingin seperti terkena es dalam waktu lama, padahal udara sekitar panas terik.

Puput tidak tahu bahwa saat ini Jata tengah melihat makhluk-makhluk itu lagi. Saat Puput pergi ke toilet, pengunjung lain dengan sangat ajaib selesai makan secara bersamaan. Teras itu mendadak kosong. Lalu, datanglah makhluk-makhluk itu, melayang turun dari Bukit Matang Kaladan dan memenuhi teras. Suasana mendadak dingin dan mencekam. Semua makhluk itu bergerak mendekat perlahan.

"Kak Jata!" panggil Puput.

Genggaman hangat itu mengagetkan Jata. Matanya kembali mengawasi makhluk-makhluk itu. Kedatangan Puput membuat mereka batal mendekat dan hanya berdiri agak jauh dengan mata tajam mengawasi.

"Kakak kenapa? Tanganmu dingin banget." Nada suara Puput terdengar cemas.

Jata menunduk dan mengurut pangkal hidungnya. "Kamu nggak bisa lihat ya, Put," bisiknya. "Mereka datang lagi."

"Di mana, Kak?"

"Di bangku depan dan belakang kita. Ada juga yang duduk di pagar teras," kata Jata.

Puput mengedarkan pandangan ke sekeliling. Siang-siang begini, mana mungkin ada penampakan hantu? Dielusnya punggung Jata dengan sayang. "Udah, Kak. Biarin aja. Aku akan temani kamu."

"Jangan lepaskan tanganmu, Put," pinta Jata.

"Nggak akan, Kak. Nih, aku genggam erat-erat."

Jata mendesah. Hati yang kacau itu kembali lagi. Kali ini disertai kekhawatiran akan masa depan. Tiba-tiba saja Jata kehilangan harapan, seolah hidupnya ke depan hanya beban. Dadanya sesak entah akibat apa. Ia merasa terhimpit tanpa daya, padahal seluruh logikanya mengatakan ia sedang berada di jalan yang benar. Karirnya maju dan ia memiliki keluarga besar yang mendukung. Ia biasa memimpin sejak dahulu, sehingga tidak bermasalah dengan teman dan tekanan pekerjaan. Soal rumah tangga, Puput mencintainya sepenuh hati. Walau mereka baru bisa berhubungan dengan tangan, otaknya berkata itu hanya masalah waktu. Mengapa ia tertekan begini, merasa segalanya akan berakhir seolah kiamat datang esok hari?

"Put, kenapa aku jadi begini?" desahnya dengan suara memilukan. "Rasanya aku ... aku mau mati aja."

Puput nyaris menangis. Tanpa berpikir panjang, dipeluknya sang suami. "Kak Jata, lihat aku, lihat aku!"

Jata membuka mata dan menemukan mata lembut itu. Kekalutan hatinya sedikit mereda.

"Jangan ngomong kayak gitu. Aku masih perlu kamu. Aku sayang kamu, Kak!"

Mata Jata kini terpaku pada mata berbinar Puput. Ia membalas pelukannya. "Jangan lepasin aku, Put," pintanya dengan sangat. Kata-kata itu meluncur begitu saja.

"Nggak akan. Aku janji."

Mereka larut kembali dalam pelukan. Entah berapa lama. Yang jelas, saat membuka mata, makanan telah tersaji di meja dan makhluk-makhluk itu lenyap entah ke mana.

☘☘☘

Jata mengamati sekitar sambil masih memeluk Puput. Kekalutannya turut mereda setelah makhluk asing itu menghilang. Tersisalah berbagai pertanyaan. Siapa mereka? Mengapa mundur saat Puput datang? Saat mereka hadir, perasaannya galau luar biasa, seolah kesedihan seisi kampung ditumpahkan kepadanya. Ia bahkan merasakan kematian. Dan, yang membingungkan, semua perasaan itu bukan miliknya. Saat mereka tidak ada begini, ia tahu semua itu datang dari luar.

"Mereka sudah pergi," gumamnya. "Mereka pergi setelah kamu memelukku. Di bukit tadi juga begitu."

Puput memandang lekat-lekat wajah rupawan itu. Ketegangan di wajahnya telah mereda. Mata yang tadi bergerak dengan gelisah, kini sudah memberikan sorot ketenangan. "Mungkin karena kupeluk, hatimu senang sehingga stresmu hilang."

Jata ingin menjawab bahwa ia mulai mendapatkan pola dari dua kejadian tadi. Bahwa pelukan Puput mampu mengusir makhluk dari dunia lain itu. Kata-katanya nyaris meluncur andai tidak ingat bahwa sang istri mengira dirinya mengalami halusinasi. Membicarakan makhluk itu sama saja membuat Puput yakin dengan dugaannya.

Jata menatap mata berbinar di hadapan. Dalam hati, bergumul keraguan. Bagaimana ia bisa yakin yang dilihat tadi halusinasi atau kenyataan? Jawaban atas pertanyaan itu akan berakibat dua hal yang bagai langit dan bumi. Yang satu akan membawanya ke psikiater, yang lain akan mengantarnya ke paranormal.

Ia belum mau ke psikiater. Itu sangat jelas. Ia tahu bagaimana orang-orang di luar sana memandang seseorang dengan gangguan jiwa. Jangankan penderita yang nyata-nyata dirawat di rumah sakit, baru mendatangi psikiater saja sudah dituduh gila. Oh, tidak. Karirnya sedang bagus. Sebentar lagi, ia akan dipromosikan. Akankah semuanya hancur bila ketahuan dirinya adalah pasien psikiater?

"Iya, Put. Pelukanmu membuat hatiku tenang," kata Jata kemudian. Ia memutuskan untuk menyimpan segala hal tentang makhluk halus itu seorang diri. Seraya tersenyum, dikecupnya mesra bibir ranum sang istri. "Peluklah aku terus."

Puput tersenyum sangat manis. "Makan, yuk." Tangan lembut itu dengan cekatan menyendokkan nasi ke piring Jata. "Makan yang banyak."

Menu yang dipesan Jata adalah ikan patin panggang dengan potongan besar disajikan dengan sayur bayam dan labu kuning serta sambal mangga muda.

"Aku pesan ini, Put. Kamu suka? Kalau nggak suka, kita pesan yang lain," kata Jata.

"Cukup ini saja. Aku suka patin panggang. Cuma porsinya banyak banget. Kalau nggak habis, buat Kakak, ya?"

Jata mengangguk. Hatinya senang mendapati istrinya telah kembali lembut. Puput bersikap seperti lunak setelah mengira dirinya mengalami gangguan jiwa. Haruskah ia bermain dengan itu? Jata tersenyum sendiri. Berbagai skenario percobaan terbayang di kepala. Akan tetapi, pertama-tama ia harus menyelesaikan masalah si adik yang tidur kebablasan terlebih dulu.

"Kak Jata," tegur Puput dengan menatap suaminya lekat-lekat. "Sekarang waktunya makan, bukan melamun sambil senyum-senyum sendiri."

"Suapin!"

☘-Bersambung-☘

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang