74. Titip Istri

171 14 7
                                    

Setelah menjelaskan beberapa hal dan menjawab kebingungan Jata, Dehen teringat sesuatu. "Sebelum memulai latihan, sebaiknya kita memikirkan untuk mencari seseorang buat menemani Puput karena saya tidak bisa berada di dua tempat sekaligus," kata lelaki itu setelah keduanya terdiam cukup lama.

Jata berpikir sejenak. "Bagaimana kalau ayah saya?"

"Boleh. Sebenarnya cuma saat malam saja, sewaktu kita pergi latihan."

Jata segera menelepon ayahnya. Matias bersedia datang, tapi masih menunggu tiga hari lagi untuk menyelesaikan urusan pekerjaan. Berarti mereka harus mencari seseorang yang bisa menemani selama tiga hari.

"Kalau saya titipkan Pak Gani, tetangga sebelah sana itu, bagaimana?" tanya Jata lagi.

"Jangan. Dia orang luar. Sebaiknya masalah ini dirahasiakan. Nanti kalau orang-orang Aranio dan Tiwingan heboh, kita tidak bisa latihan dengan tenang. Jangan - jangan malah jadi tontonan gratis."

Otak Jata kemudian memunculkan sebuah nama. "Ada seorang indigo teman saya. Kalau dia bagaimana? Siapa tahu dia bisa membantu kasus kita juga."

"Boleh. Dia baik," kata Dehen setelah memejamkan mata sejenak. "Tapi Dik, Deka itu tinggal sendiri di rumahnya?"

"Sepertinya begitu, Pak. Kenapa? Ah, iya. Bisa nggak enak nanti ya." Jata termangu.

"Itulah yang saya takutkan. Sebaiknya ada seorang perempuan yang menemani Puput di sana. Kamu punya kenalan?"

Satu - satunya kenalan yang cukup dekat adalah Wina. Akan tetapi, sangat tidak mungkin menitipkan Puput pada mantan kekasihnya itu. "Sayang sekali, Pak. Keluarga saya jauh semua."

"Bagaimana kalau saya minta tolong keponakan saya. Dia mahasiswi tingkat akhir, sudah tidak kuliah setiap hari."

"Oh, boleh, Pak. Di mana dia?" tanya Jata.

"Dia kos di Banjarbaru. Sebentar ya, saya telepon dia dulu."

Jata tertawa. "Loh, Bapak masih pakai ponsel, nggak terbang aja ke sana?"

Dehen ikut tertawa. "Bergaya dengan teknologi itu kan harus!"

☘☘☘

Siang itu, Jata mengantarkan Puput ke toko beras Deka. Sebelumnya, mereka mampir dulu untuk menjemput keponakan Pak Dehen. Urai, nama gadis itu, ternyata lebih mungil dari Puput. Wajahnya bulat, bermata sipit dan hidungnya mancung mungil. Sangat cantik. Gadis itu segera cocok dengan Puput.

Setelah menempuh perjalanan selama empat puluh menit, akhirnya rombongan kecil itu sampai di ruko milik Deka. Pemuda itu terbelalak saat melihat kedatangan keempat orang itu.

"Kamu?" ujar Deka kepada Urai.

"He he, iya. Ini aku Kodeka," jawab Urai seraya meringis lebar.

"Ish! Jangan minta diskon keras lagi habis ini!" sergah Deka.

"Ish! Ini kan bukan urusan beras, Ko. Jangan dicampur aduk!"

"Kalian sudah saling kenal?"

"Iya, Mak [1]. Aku belanja beras buat toko Papa dari Kodeka," jelas Urai.

"Jangan panggil Kodeka!" protes Deka dengan wajah merengut.

"Gimana kalau Mas Deka?" tanya Urai.

"Mas? Kakak aja!" sahut Deka.

"Baik, Kak Kodeka!"

Akhirnya Deka hanya bisa mendelik dengan lengan dilipat di dada.

"Nah, bagus kalau begitu," jawab Dehen. "Jagain Puput baik - baik ya, Rai."

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang