34. Matang Kaladan

442 34 13
                                    



Puput masih ingat dengan detail wajah yang terlihat demikian frustrasi. Ia hampir tidak sanggup menahan tangis. Salahkan dirinya yang telah berlaku kejam pada suami sendiri.

Puput menatap lelaki yang kini berwajah muram. "Dicoba makan sedikit, Kak. Kamu merasakan apa? Mual, pusing, atau lemas?"

Pandangan iba itu semakin menghancurkan perasaan Jata. "Nggak ada. Aku baik-baik aja. Cuma perasaanmu aja. Selera makanku masih bagus."

Puput mendekat dan menyusupkan tangan ke pinggang suaminya. Kepalanya direbahkan di bahu kekar itu. "Mungkin semalam itu cuma sementara. Kakak pasti bisa pulih lagi. Kalau sulit, kita bisa ke dokter."

"Hey! Aku nggak papa, Put," tegur Jata. Padahal dalam hati ia menyangsikan kata-katanya sendiri. "Kok jadi ngomong yang berat-berat begini. Kita kan mau refreshing. Yuk berangkat, nanti kesiangan."

Jata bangkit seraya menggandeng tangan Puput. Itu satu hal yang selalu bisa membuat kegalauan hatinya mereda. Tangan lembut dalam genggaman itu mengalirkan denyut kehidupan. Gerakan Jata membeku saat Puput pun bangkit dan berdiri tepat di hadapannya.

Mata mereka beradu. Seberkas pilu tiba-tiba menyusup ke dada Jata. Benarkah si adik akan bangkit kembali? Ia sudah mencoba sendiri beberapa kali setelah itu, namun hasilnya nihil. Benda itu tetap terkulai lunak, manis dalam tidur panjangnya. Siapa yang tidak kalut? Kalau seperti ini terus, benarkah ia masih layak mengaku lelaki?

Mata bening istrinya entah mengapa terasa menjauh dan seolah tidak akan menjadi miliknya. Hangat tangan Puput seperti akan memudar tak lama lagi. Digenggamnya tangan itu erat, dielusnya sepenuh hati. "Put, jangan lepaskan tanganku," bisiknya.

Mata Puput memerah. "Enggak akan, Kak. Aku sayang kamu, sayang banget." Sesudah berkata begitu, ia menyandarkan diri ke badan Jata. Saat Jata melepaskan tangan dan memeluknya erat, tangisnya pecah. "Aku sayang kamu, Kak," ulangnya di antara tangis.

Mereka urung keluar kamar. Keduanya kembali ke kasur dan berpelukan dalam waktu lama.

 Keduanya kembali ke kasur dan berpelukan dalam waktu lama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☆☆☆

Hampir pukul sembilan pagi ketika keduanya mencapai Desa Tiwingan, yaitu desa kecil di kaki Bukit Matang Kaladan, yang merupakan desa wisata yang mengelola objek wisata alam itu.

Bendungan Riam Kanan memiliki pesona tersendiri. Waduk yang dibuat dengan membendung Sungai Riam Kanan dan menenggelamkan sembilan desa itu sekarang menjadi objek wisata. Waduk dikelilingi bukit-bukit kecil. Terdapat pulau-pulau mini di tersebar di tengah danau buatan yang mulai dibangun pada tahun 1959. Bentang alam yang terbentuk menimbulkan gambaran mirip daerah Raja Ampat di Papua, namun lebih kecil. Karena itu, penduduk sekitar menjuluki daerah itu Raja Lima, sang adik Raja Ampat.

Mereka sudah pernah menaiki puncak tertinggi Matang Kaladan yang merupakan tempat ideal untuk melihat pemandangan waduk. Namun, waktu itu mendadak mendung dan akan hujan. Mereka terburu-buru pulang dengan menggunakan ojek. Padahal ada jalur jalan kaki menuruni bukit yang menantang untuk dijelajahi. Rasa penasaran itulah yang membuat pasangan itu kembali ke sana.

Jata memarkir mobil di ujung jalan desa. Dari situ, mereka menyewa ojek ke puncak bukit. Jalan berliku menuju puncak cukup memacu jantung Puput. Jalan itu adalah jalan setapak di sepanjang badan bukit, sempit dan satu sisinya jurang. Ia sempat berpikir kalau suatu saat mereka akan terpeleset lalu jatuh berguling ke jurang. Beruntung perjalanan itu hanya memakan waktu kurang lebih 15 min.

Puncak Matang Kaladan telah ditata sebagai tempat wisata. Di beberapa tempat dibangun wahana untuk tempat berfoto dengan latar bendungan. Dari puncak itu terlihatlah pemandangan indah yang memang mirip dengan Raja Ampat.

"Kita foto di lengkung cinta itu, Kak?" tanya Puput.

Jata menurut. Sebuah anjungan mini dari kayu dihias lengkungan berbentuk hati. Mereka berfoto di sana, lalu di beberapa tempat lain. Hari itu pengunjung cukup ramai. Setelah puas berfoto, mereka menuju jalur menurun. Inilah tujuan utama mereka datang kali ini, mencoba jalan setapak untuk pulang. Hujan yang turun semalam membuat jalan setapak itu basah. Mereka beristirahat sejenak di bangku kayu di dekat ujung jalan.

"Kayaknya bakal licin, Put. Kamu yakin?" tanya Jata sambil menghabiskan minuman botol. Ia pernah melewati jalan itu beberapa kali dan cukup mengenal medannya.

"Yakin," balas Puput.

Jata menatapnya sejenak. Semenjak tragedi tangan dan adik tidur, sikap Puput justru melembut. Bibir mungil ranumnya tidak lagi menyemburkan kalimat-kalimat nyinyir. Judesnya luntur entah ke mana. Puput kembali menjadi gadis lembut nan anggun yang ditemuinya di Semarang.

"Aku bisa pegangan Kakak kalau jalannya sulit," lanjut Puput dengan mata berbinar.

Oh, hati Jata mengembang karena rasa sayang. Andai tidak berada di tempat umum, sudah dibenamkannya istri mungil itu ke dalam pelukan.

"Loh, itu bukannya Wina?" Puput menunjuk seseorang yang baru datang menggunakan ojek. Sejak pertama mengenal kata Wina, Puput tidak pernah menyebut Kak atau Mbak. Langsung nama. Entah mengapa.

Jata mengamati perempuan yang tengah merosot turun dari boncengan. Setelah Wina, seorang lelaki ikut turun dari ojek. Jata langsung terheran. Pertama, dari mana istrinya tahu itu Wina? Mereka sama sekali belum pernah berjumpa. Puput hanya sekali dibawa ke kantor, itu pun sebatas di gedung tempat kerjanya dan kantor bos. Ia tidak melihat ada Wina saat itu. Kedua, ia baru tahu sepeda motor bisa dimuati tiga orang dewasa.

"Kakak nggak menyapa dia?"

Jata menggeleng. Lelaki yang bersama Wina berperilaku mesra, menggandeng dan sesekali merangkul. Dan ia tahu, lelaki itu bukan suaminya. "Dia sedang sama orang. Pacaran, kayaknya."

"Hah? Mana, Kak? Sendirian, kok."

Jata memandang dengan lebih saksama. Jelas-jelas ada lelaki berbaju hitam di samping Wina. "Itu yang pakai baju hitam."

"Mana, sih? Aku nggak melihatnya."

Jata menatap nanar. "Kamu nggak lihat?"

Puputlah yang kembali bertanya-tanya. Suaminya melihat hal-hal tak nyata lagi. Rasa pilunya seketika timbul. "Aku bercanda. Serius amat?"

Jata merangkul dengan gemas. "Daripada menggoda aku, sana beli minum buat bekal turun."

Setelah istrinya berlalu, Jata mendekati seorang remaja di dekat situ. "Dik, lihat ibu-ibu yang pakai baju biru di anjungan kapal itu?"

Si remaja tidak menjawab, malah baik bertanya, "Yang mana, Om?"

"Yang pakai baju biru. Kamu kenal orang yang di sampingnya, yang pakai baju hitam?"

Si remaja mengamati dengan saksama. Jata menunggu dengan berdebar.

"Yang mana sih, Om?"

Jata bingung. Benarkah cuma dirinya yang melihat keberadaan lelaki itu? "Itu, yang baru merangkul si ibu," terang Jata.

"Nggak ada orang di situ, Om. Udah ya, aku dipanggil teman, tuh." Si remaja berlari menjauh dengan meninggalkan Jata yang kebingungan. Tatapan matanya kembali ke anjungan dan sangat jelas terlihat Wina berduaan di sana. Benarkah ia dan Puput berhalusinasi?

Jata semakin penasaran. Diteleponnya Wina sambil mendekat ke perempuan di anjungan. Wina menyambut panggilan, demikian pula perempuan di anjungan.

"Kamu di mana, Win?"

"Ih, kangen juga sama aku. Mau ketemu, Jat?"

"Win, aku serius. Kamu di mana?" Jata semakin dekat dengan anjungan.

"Aku di rumah, Mantanku Tersayang. Sendirian, kok. Ayo datang. Semua aman terkendali. Jangan malu."

☆-Bersambung-☆

Komen, please ....

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang