Jata dan Puput terus berdiam diri semenjak percakapan terakhir mereka di ruang makan tadi. Jata malas berbicara, entah mengapa. Barangkali pembuangan benih di toilet semalam masih membekas di kalbu. Dikatai mesum, asal nyosor, dan terakhir dituduh hendak memperkosa istri sendiri mau tak mau menggelembungkan kedongkolan. Belum lagi hasrat yang terputus di tengah-tengah. Apa istrinya itu tidak tahu betapa menyebalkan membuang calon anak-anak mereka di toilet? Tega-teganya mentertawakan.Puput sendiri menjadi enggan membuka mulut karena Jata menjadi pendiam. Ia tahu murungnya Jata karena dirinya. Ia juga menyesal menuduh Jata yang bukan-bukan. Entah mengapa mulutnya keceplosan begitu saja padahal biasanya selalu menjaga perkataan dengan baik. Entah mengapa pula kehadiran Jata dalam hidupnya seolah mengisi ruang yang telah penuh, mendesak isi ruang keluar, sehingga ia harus menjadi orang yang berbeda. Puput pening setiap memikirkan kewajiban baru sebagai istri itu. Diliriknya wajah sang suami yang tengah berkonsentrasi menyetir. Wajah datar itu membuatnya merinding. Memang selama ini tidak sekali pun ia mendengar kata-kata atau perlakuan kasar suaminya. Namun dengan wajah dingin seperti sekarang, mungkinkah kemarahan itu akan meledak? Hatinya mulai was-was. Sampai kapan Jata akan bersabar?
"Kak Jata, aku minta maaf untuk semalam," bisiknya dengan wajah tertunduk karena memandangi jemari yang saling tertaut di pangkuan.
Jata sontak menoleh mendengar kata-kata bernada penyesalan itu. Wajah istrinya sungguh tertekan. Mata indah itu redup menyedihkan. Rasa bersalah mulai merayapi hati. Ia sadar, Puput pun tidak menginginkan mengalami ketakutan seperti itu. Diulurkannya sebelah lengan untuk merengkuh bahu mungil itu. Dielusnya dengan sayang.
"Aku sayang kamu, Put," katanya sembari tersenyum manis untuk menenangkan sang istri.
Jawaban itu tidak memuaskan Puput. Sebenarnya ingin mendengar, Aku tidak marah, Put. Bukan jawaban ambigu seperti tadi. "Aku juga sayang Kak Jata," bisiknya akhirnya. "Kakak masih mau bersabar, kan?"
Jata trenyuh. Sikap diamnya tadi sungguh kekanakan. "Iya. Jangan mikir itu dulu. Kita mau bertualang di Hidden Canyon, kan?"
Itu lagi yang membuat Puput lesu. Lintas alam bukanlah kegemarannya. Belum-belum kaki dan badannya pegal-pegal, padahal ia baru membayangkan ngarai itu.
Perjalanan itu tidak memakan waktu lama. Jata memarkir mobil tak jauh dari gerbang masuk lokasi. Setelah membayar tiket, dan mendapatkan pemandu lokal, ia menggandeng Puput menyusuri jalan setapak menuju lokasi. Lintasan itu berjarak tempuh 700 m dan hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki.
Hidden Canyon Beji Guwang adalah destinasi wisata yang terbilang baru. Lokasinya di daerah Gianyar, tepatnya di desa Guwang, sekitar 15 km dari Denpasar. Tempat itu sesungguhnya situs keramat bagi orang Bali karena merupakan area Pura Dalem. Penduduk sekitar baru membuka untuk wisatawan tahun 2015. Nama Hidden Canyon diambil dari julukan wisatawan asing yang kagum dengan keindahan alamiah yang tersembunyi di situ.
"Nanti harus siap basah-basahan, ya," kata Bli Nengah, sang pemandu, dalam aksen Bali yang kental.
"Aman jalannya, Bli?" tanya Jata.
"Nanti ada naik turun sedikit. Ada masuk-masuk ke air. Tapi dijamin seru!" Senyum lebar itu membuat Jata tenang.
"Mbak jangan lepas dari Masnya biar tidak terpeleset, ya," saran Nengah sambil sekilas melirik genggaman tangan keduanya.
Jata nyengir. Ditolehnya Puput yang balas menatap dengan mata beningnya. Mata indah bersorot lembut itu senantiasa sanggup merontokkan kekesalan sepanjang malam hingga pagi tadi. Apalagi saat ini Puput pasrah dalam genggaman.
Mereka berjalan melalui rindangnya pepohonan, lalu menurun ke sebuah ngarai dengan tebing yang curam.
Jalan setapak pun berubah menjadi sungai kecil berbatu besar. Semula sungai itu masih cukup lebar. Namun kemudian jalur mengarah ke tebing batu yang sempit. Tebing batu itu nyaris tegak lurus mengapit kedua sisi sungai. Atap ngarai dinaungi pepohonan hutan yang rindang. Hijau lumut yang melapisi dinding tebing serta berkas-berkas sinar matahari yang menerobos sela-sela dedaunan pohon membuat pemandangan demikian eksotis. Di dasar ngarai sempit itu, mengalir sungai kecil dengan air kehijauan. Mereka harus melewati bongkah-bongkah batu di dasar ngarai dengan hati-hati agar tidak terpeleset.
Ketika medan semakin sulit, mereka harus melepas sepatu untuk merayap di tebing-tebing bebatuan. Terkadang harus melompati bebatuan dengan dipandu dengan tali. Cukup menguras tenaga dan menantang nyali.
Beberapa kali Puput mengalami kesulitan. Jata dengan tangkas membantu agar bisa melewati rintangan dengan aman. Tentu saja ia sama sekali tidak keberatan. Tangannya berkali-kali merengkuh pinggang sang istri dengan penuh sayang, atau menggenggam tangannya erat supaya tidak terpeleset.
Puput sendiri mulai melupakan keengganannya menjelajah alam. Halangan itu justru membuahkan kedekatan tubuh dengan suaminya. Ia mulai menikmati hangat tangan Jata di pinggangnya. Sesekali ia meraih bahu suaminya untuk berpegangan. Bergayut di bahu kekar itu ternyata menyenangkan. Berkali-kali mata mereka bersitatap. Dan berkali-kali pula dadanya ditabuh oleh pijar cinta dari mata Jata. Di beberapa tempat mereka terpaksa terjun ke air sungai yang dingin hingga terendam sampai pinggang.
"Oh, ya. Air dari mata air di sini itu dipakai buat air suci di pura-pura sekitar. Jadi nanti harap dihormati, ya," ujar Bli Nengah untuk mengingatkan kedua tamunya. "Wilayah ini sebenarnya wilayah suci dari Pura Dalem Beji.
"Gimana caranya?"
"Ya jangan buang sampah sembarangan, jangan buang air kecil sembarangan, atau bicara yang jorok-jorok. Soalnya ini tempat keramat buat orang Bali."
Jata dan Puput manggut-manggut.
Tak lama kemudian, mereka tiba di bagian terindah. Ngarai sempit itu membentuk ceruk cukup lebar seperti kolam. Jata segera mengambil gambar-gambar dengan kameranya. Sudah pasti obyek utama adalah sang istri yang tampak semakin cantik berada di tengah bebatuan berlumut kehijauan itu.
"Di situ ada ikan-ikan kecil yang menggigit-gigit kulit. Asyik loh, ayo dicoba, Mbak dan Mas," saran Bli Nengah.
"Put, ayo turun ke situ," ajak Jata dengan penuh semangat.
Puput menggeleng. "Malas, nanti basah."
Jata tanpa berpikir dua kali langsung terjun dan menikmati berenang di situ. "Put, ayo! Beneran ada ikan yang gigit-gigit, nih."
Puput melengos.
"Hey, jangan nanggung. Nanti nyesel, loh. Pulangnya nggak lewat sini lagi. Ayo!" ajak Jata sekali lagi. Dan, sekali lagi istrinya menolak. Jata menjadi gemas. Istrinya semakin cantik bila merengut setengah manja begitu. Tanpa permisi Jata mendekat lalu menggendong tubuh mungil istrinya dan membawanya terjun ke air.
Puput memekik-mekik dengan kesal. "Kakak! Pemaksaan banget, sih! Nyebeliiinnn!"
Jata cuma tertawa. "Asyik, kaaan?"
"Enggaaaakkkk!" Puput merengut. Bajunya sudah basah dari atas ke bawah hingga dalaman. Menjengkelkan. Sesudah ini ia harus berganti baju. Sungguh merepotkan.
Jata belum selesai dengan aksinya. Dengan kedua tangan, diraupnya air lalu diguyurkan ke kepala istrinya. Sontak Puput memekik dan memukul-mukul dada suaminya.
"Awas, nanti kualat kamu, Kak! Masuk angin baru tahu rasa!" rutuk mulut mungil itu sambil bergegas pergi ke pinggir.
"Put! Put! Hey, mau ke mana?" Segera dikejarnya sang istri untuk dipeluk serta dihujani ciuman. Puput memekik-mekik dengan sangat kesal.
Pemandu mereka hanya tersenyum-senyum melihat pertengkaran kecil itu dari kejauhan.
Keluar dari wilayah tebing berbatu, mereka menemui persimpangan jalan.
"Mau pilih jalur ekstrim atau normal?" tanya Bli Nengah.
"Ekstrim," sahut Puput. Ia asal menyahut aja karena kesal dengan ulah Jata yang membuatnya basah kuyub.
Jata sontak menoleh. Ia kaget mendapati mata yang berkilat tajam. Bukan seperti mata Puput yang lembut.
"Jangan menyiksa diri. Tadi aja udah ngos-ngosan," protes Jata.
"Iya, berat loh, Mbak. Lewat ini aja. Nanti ada ayunan di depan sana," bujuk Nengah.
Mendengar kata ayunan, mata Puput melebar. Ia menurut saat Jata menggandengnya melewati jalur yang dipilih. Saat tiba di ayunan itu, wajahnya sangat bergairah. Tanpa menunggu, ia meraih tali dan berayun di sana. Jata ingin mengabadikan momen itu dengan jepretan kamera.
Puput berayun dengan tertawa riang lebih dari biasa. Dari jendela kamera, tiba-tiba wajah itu berubah dan suara tawa itu terdengar meringkik. Jata terkesiap.
☘Bersambung☘
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalneJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...