Siapa Dia?

864 50 0
                                    

Puput tak mau mengalah. Biarpun sehari-hari orang mengenalnya sebagai gadis yang lembut, namun berdebat adalah keahliannya. Apalagi saat ini, membahas hubungan seksual dengan suami. Oh, ia harus menyatakan pendapat. Bila tidak, bisa-bisa ia akan dijajah secara seksual oleh lelaki itu sepanjang hidup.

"Cinta dan nafsu itu bedanya kayak langit dengan bumi, Kakak!" kata Puput dengan penekanan yang jelas.

"Oooo, jadi kamu mau bilang kalau aku cuma mikirin nafsu aja, begitu? Iya?" Emosi Jata mulai terpicu kembali.

"Kalau bukan nafsu, kamu pasti nggak mendesak-desak aku begini!" Puput pun mulai terpancing.

"Kalau nggak cinta, Puput istriku terimut, sudah dari kemarin kamu kuperkosa! Aku selalu mengalah, berhenti di tengah-tengah itu karena aku cinta kamu, Put!"

Mereka saling pandang dengan hati panas. Untuk sesaat keduanya tak tahu harus bicara apa-apa lagi. Puput ingin kembali ke dapur untuk menengok donatnya. Belum sempat berdiri, tangan Jata semakin erat merengkuh pinggangnya. Ia tak bisa berkutik.

"Begini ini yang namanya pemaksaan, Kak!" protes Puput. Memang itu yang dirasakan semenjak hidup seatap dengan Jata. Semua hal diatur oleh lelaki itu.

"Terserah mau kamu bilang apa. Aku nggak izinkan kamu ke mana-mana sekarang ini!" Jata kembali menggunakan kekuasaan.

"Kalau donatnya meledak, itu salahmu, ya!"

"Jangan banyak alasan! Mana ada donat meledak?" Mata elang Jata menatap tajam. Kalau sudah begitu, Puput tahu suaminya tidak mau dilawan.

"Kamu mengajak belajar kayak mengajak berantem," keluh Puput.

"Itu gara-gara kamu!"

"Udah, ah! Mau dilanjutin apa enggak membacanya?" Mendelik mata Puput. "Bayi besar manja!"

Merasa berada di atas angin, senyum tipis terulas di bibir Jata. "Sekarang kita membaca bagian hubungan seksual," instruksinya dengan tegas.

"Apa iniiiii?" Mata Puput sontak membelalak.

"Itu posisi hubungan seksual, Put."

"Ya, aku tahu. Tapi masa ada yang kayak anjing begini? Aku nggak mau!"

"Dih! Kayak yang biasa sudah bisa aja. Posisi-posisi itu ada tujuannya, Put. Tuh kalau istrinya hamil, posisinya begini. Kalau posisi rahimnya terbalik, posisi ini yang paling bagus buat mendapat anak."

Untuk beberapa saat tanggapan Puput hanya keheningan. Raut wajahnya jelas menunjukkan ketidaknyamanan.

"Aku ... aku ... ngeri," keluh Puput lirih.

"Sudah panjang lebar belajar begini masih ngeri?" Jata nyaris putus asa. Perlu beberapa helaan napas untuk menenangkan hati. Akhirnya ia membebaskan Puput dari rengkuhan. Gadis itu langsung kabur keluar kamar.

☆☆☆

Jata menyimpan buku ke atas lemari. Senja telah turun. Suhu udara mulai dingin. Jata beranjak untuk mengunci jendela dan menutup gorden. Tiba-tiba terdengar bunyi benda jatuh di atap rumah, di daerah dapur. Benturannya cukup keras hingga kaca-kaca jendela bergetar. Rasa cemasnya muncul. Jangan-jangan istrinya mengalami sesuatu. Dengan langkah cepat, Jata menuju ke sana. Tak ada seorang pun di dapur. Bahkan pintu keluar ke arah teras belakang terbuka. Udara dingin berembus masuk.

"Put?" panggilnya. Tak ada jawaban. Begitu pun tanda-tanda keberadaan Puput. Dengan cemas yang semakin menggunung, Jata melangkah ke teras belakang. Saat itulah, ia melihat istrinya berjalan tanpa alas kaki ke arah hutan.

"Put! Hey, Put! Mau ngapain?" teriaknya. Puput tetap berjalan tegak tanpa menghiraukan panggilannya. "Put! Jangan ke situ, banyak ular! Kamu nggak pakai sandal!"

Bukannya berhenti, Puput malah berusaha melompati pagar. Jata segera mengejar istrinya untuk mencegahnya pergi ke hutan. Dengan tergopoh ia menuruni tangga teras lalu berlari ke belakang.

Halaman belakang itu remang-remang karena hanya mendapat penerangan dari lampu teras dan lampu pagar di depan. Sebelum mencapai pagar, kaki Jata terantuk kayu. Ia nyaris terjatuh. Saat keseimbangannya telah pulih, Puput sudah tidak tampak. Jata kalut.

"Puuuut!" teriaknya sambil berdiri di dekat pagar, menghadap ke arah hutan.

"Kak Jata! Ngapain panggil-panggil di situ?" Tiba-tiba teriakan Puput terdengar dari arah belakang.

Sontak Jata membalikkan tubuh. Betapa kagetnya saat mendapati Puput berdiri di teras dengan tatapan keheranan.

"Loh, kok kamu di situ, Put?" tanyanya secara spontan.

"Aku yang seharusnya bertanya begitu, Kak. Kenapa kamu tiba-tiba kabur ke belakang kayak mengejar apa gitu? Dipanggil-panggil pun nggak menggubris."

Otak Jata seketika membeku. Apa dirinya berhalusinasi? Jelas-jelas orang yang dikejar tadi Puput. Bagaimana bisa gadis itu malah berada di belakangnya? Jata melangkah ke teras dengan perlahan.

"Kak, jari kakimu berdarah," kata Puput.

Jata menoleh ke bawah. Ternyata kuku ibu jari kaki kanan terkelupas. Nyeri berdenyut mengiringi darah yang meleleh dari ibu jari kaki Jata. Ia tidak menyangka tersandung tunggul kayu dengan sangat keras hingga kukunya terkelupas.

"Dicuci dulu kakimu, Kak. Habis itu aku obati," kata Puput lembut. Hati Jata yang masih bergejolak akibat peristiwa aneh yang terjadi, sedikit lega.

"Kenapa sih, Kakak turun ke halaman nggak pakai sandal?"

"Nggak sempat." Jata cepat-cepat berlalu ke tempat cuci. Ia malas menjelaskan bahwa tadi melihat istrinya pergi ke arah hutan. Mana mungkin Puput akan percaya? Yang ada dirinya bakal ditertawakan habis-habisan atau dikira mengalami gangguan jiwa.

"Kok bisa nggak sempat?" Puput memburu dengan pertanyaan.

"Ya enggak sempat aja!" jawab Jata dengan datar.

Puput mencibir. "Lain kali pakai sandal, biar kalau kesandung nggak parah begini."

Jata hanya melirik istrinya dengan sudut mata. Apakah ini hanya perasaannya saja atau memang sifat asli Puput, istrinya itu dulu tidak senyinyir itu. Sikapnya lembut dan hati-hati dalam berbicara. Puput yang sekarang benar-benar bermulut tajam dan seolah tidak memiliki rem. Semua isi hatinya dikeluarkan begitu saja.

"Tadi kamu pergi ke halaman belakangkah?" selidik Jata.

"Enggak. Kenapa?"

Jata menelan ludah diam-diam. Jata semakin bingung. Siapa perempuan tadi, mengapa begitu mirip dengan istrinya? Lantas, mengapa malam-malam pergi ke hutan dan begitu cepat menghilang? "Nggak papa. Cuma kepingin tahu," jawab Jata untuk menutupi kegalauan.

"Nggak papa kok panggil-panggil aku kayak panik gitu. Kamu ngapain sih tadi?"

Jata berpikir sejenak, akhirnya ia jujur juga, "Aku tadi lihat orang di belakang. Kukira kamu, ternyata bukan."

Puput membalas dengan tatapan khawatir. "Mau apa dia di sana gelap-gelap begitu?"

"Entahlah. sewaktu kupanggil dia kabur."

"Jangan-jangan dia pencuri."

"Masa perempuan pencuri?"

"Ehh, zaman emansipasi begini perempuan bisa apa aja, Kak," kilah Puput.

"Hey! Perasaan emansipasi itu untuk hal-hal baik, ya Put, bukan kriminal."

Puput mencibir lalu nyengir lebar. "Aku cuma mau ngetes konsentrasimu, Kak." Kalau sedang begitu, Puput sungguh menggemaskan.

Bersambung

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang