Gangguan

811 43 2
                                    

Jata mengamati perempuan mungil yang kini duduk di sofa sambil memangku kakinya. "Nggak sakit pahamu kutaruh kaki?"

Di luar perkiraan, Puput tersenyum manis sambil menggeleng. Sejurus kemudian, jemari lentiknya bekerja dengan cekatan. Sisa darah dibersihkan dengan kasa dan lukanya dioles antiseptik. Jata hendak mendesis karena nyeri, namun malu dengan sang istri.

"Kak, kukunya beneran nyaris lepas," ujar Puput. "Mau kucabut sekalian?"

Jata sontak menarik kaki. "Jangaaan!"

Puput terkekeh melihat tingkah kekanakan lelaki berbadan tinggi besar itu. Matanya yang bulat besar menyipit dan melengkung. Pipinya mencembung akibat bibir yang tertarik ke atas. Jantung Jata langsung berdenyut dengan keras.

"Iya, iya. Tenang aja. Aku cuma bercanda. Sini ditaruh lagi kakimu, Kak."

Dengan hati-hati Jata meletakkan kembali kakinya di pangkuan Puput. Beberapa menit kemudian, ibu jari itu telah terbungkus kain kasa dengan rapi.

"Mau kupijat kakimu?" Puput menawarkan diri.

Jata menatap dengan was-was. Setelah berhari-hari mendapat kata-kata ketus, nada lembut itu justru terasa aneh.

"Mau nggak?" Puput mengulang tawarannya. Wajahnya terlihat polos. Jata mengiyakan dengan segera.

Puput membubuhkan minyak urut sebelum bekerja. "Kalau habis terluka itu sebaiknya dipijat, biar peredaran darahnya lancar dan lukanya cepat sembuh."

Jata sungguh takjub. Baru sekali ini Puput memanjakannya dengan pijatan. "Makasih, Sayang."

Senyum Puput kembali terulas. Sejenak kemudian keduanya terdiam dalam perasan masing-masing. Jata sangat menikmati sentuhan itu. Puput benar. Ototnya yang tegang segera mengendur dan ia mulai mengantuk.

"Aku heran, kamu kok nggak banyak bulu seperti Papa, Mas Putra dan Mas Dwi," celetuk Puput.

Jata tidak jadi terlena. "Entahlah. Barangkali keturunan. Keluargaku juga begitu. Kenapa, Put?"

Puput menggeleng dan nyengir lebar.

"Kenapa? Kamu suka yang berbulu seperti kakak-kakakmu?"

Senyum Puput hilang seketika. "Jangan ngajak berantem dong, Kak! Masih mau dipijat, nggak?"

"Aku bercanda, Sayang!"

Puput mendengkus. Kaki Jata diturunkan dari pangkuan. "Sayang, sayang!" gerutunya, namun mulutnya tersenyum.

Jata menjadi gemas sekali. "Mau kuberi hadiah untuk pijatan tadi? Sini, kupeluk."

Puput mendekat tanpa perlawanan. Tubuh mungil itu tenggelam dalam pelukan. Jata menikmati kedekatan itu dengan hati berdebar. Akankah sesudah ini kesempatan itu datang lagi, yaitu percobaan ke-20? Disesapnya aroma manis sang istri sambil memejamkan mata.

"Kak?" bisik Puput.

"Ya?" jawab Jata dengan suara serak karena darahnya mulai mengalir dengan deras.

"Bisa nggak kita begini saja malam ini, pelukan saja? Aku belum siap."

Darah Jata mengalir entah ke mana. Yang jelas ada secuil hati yang rontok di dalam sana. Percobaan ke-20 gagal bahkan saat masih berupa wacana. Sial!

"Kaak?" pinta Puput dengan memelas.

"Iya," jawab suaminya dengan nada lemas. Sejenak keduanya terdiam untuk merenungkan suasana tenang yang tercipta.

Suara jangkrik bersahutan di luar. Kata orang, itu suara jangkrik jantan yang berusaha memanggil jangkrik betina. Jata mulai menilai situasi. Kalau para pejantan itu masih berteriak-teriak, berarti mereka belum mendapatkan pasangan, bukan? Ia heran, tiba-tiba saja ingin menertawakan jangkrik-jangkrik jantan itu. Nasib mereka lebih buruk dari dirinya. Setidaknya istrinya berada dalam pelukan dan dirinya tidak perlu berteriak sepanjang malam.

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang