35. Bicara Sendiri

402 29 5
                                    


Jata semakin galau. Segala hal yang terjadi semenjak bulan madu benar-benar tidak masuk akal. Ia geram. Bagaimana bisa dirinya yang selama ini tenang dan stabil kini mendadak jungkir balik tidak jelas?

"Jangan bercanda dan nggak usah bohong. Aku tahu kamu di Matang Kaladan," tuduhnya tanpa keraguan.

Hanya tawa Wina berderai di seberang sana. "Kamu kalau bercanda keterlaluan, Jata. Nggak lucu, ah. Kalau kangen, bilang aja kangen. Nggak usah pakai alasan aneh begitu."

"Ya ampun. Aku melihat kamu di Matang Kaladan dengan mata kepalaku sendiri. Aku di belakangmu, Win!" Jata memicing mengamati perempuan di depannya. Ia tak mungkin salah mengenali Wina, sekalipun dari belakang. Suara perempuan itu juga sama dengan suara di ponsel.

"Mana mungkin, Sayang. Kamu kangen banget, ya, sampai berhalusinasi. Aku baru dipijat sama bibi tukang pijat. Mana mungkin kamu melihatku di Riam Kanan."

Sekarang nanarlah pandangan Jata. Dengan segera, didekatinya perempuan berbaju biru itu.

"Win," panggilnya. Tangannya terulur untuk menepuk bahu. Belum sempat tangan itu sampai di bahu, perempuan itu berbalik. Wajahnya bukan wajah Wina. Kulit wajah itu kehitaman dan keriput. Matanya merah menyala. Mulutnya menyeringai lebar menampakkan sederet gigi runcing berkerak kekuningan yang berbau busuk.

Tiba-tiba mulut itu mendekat, terbuka sangat lebar seolah tidak memiliki engsel rahang, hendak menelan kepalanya! Jata berjingkat ke belakang untuk menghindar.

"Kak!" Suara Puput terdengar. Tepukannya terasa di punggung.

Jata menoleh sejenak, lalu berpaling kembali ke anjungan. Makhluk menyeramkan dan temannya sudah menghilang. Anjungan itu kosong, persis seperti kata remaja tadi.

"Put, kamu juga melihat Wina di sini, kan?" tanya Jata dengan kebingungan.

Puput berkerut kening. "Aku nggak pernah bilang begitu, Kak. Kamu aja yang sedari tadi meracau, panggil – panggil Wina, Wina."

"Aku? Masa, sih?" Jata tidak merasa berbicara sendiri.

"Iya! Kamu nggak sadar ngomong sendiri sejak kita sampai di sini." Air mata telah menggenang di pelupuk Puput.

"Hah? Aku ngapain aja?" Kini Jata mulai meragukan dirinya.

Puput menarik tangan suaminya menjauh dari anjungan. Hatinya semakin pilu. Benarkah lelaki gagah ini mengalami gangguan jiwa?

"Aku beneran sudah gila, Put?" Jata menggumam dengan sedih. "Aku mulai berhalusinasi."

"Enggak apa-apa. Ayo kita turun. Aku sudah beli minuman." Puput menggamit lengan suaminya dengan sayang. Dalam hati ia bertekad untuk membawa Jata berobat.

"Kita naik ojek aja?" usul Jata.

Puput menimbang sejenak, lalu menggeleng. "Kita jalan aja. Olahraga dan sinar matahari bagus untuk kesehatan jiwa."

"Begitukah? Ayo."

Mereka menuruni jalan setapak di lereng bukit. Jalan itu berakhir di Desa Tiwingan. Ada beberapa warung menjual ikan bakar di sana. Mereka akan makan siang di situ di akhir perjalanan nanti.

Jalan setapak itu benar licin karena terguyur hujan semalam. Setelah jalan landai habis, mereka memasuki area dengan tangga menurun yang tajam. Anak tangga tersebut terbuat dari tanah yang diperkuat dengan kayu. Di beberapa tempat telah rusak sehingga harus berhati-hati agar tidak meluncur ke bawah, ke jurang.

Sepanjang jalan, tangan Jata terus menggenggam tangan istrinya. Kejadian aneh beruntun dalam dua minggu, ditambah kejadian tadi, semakin membuat perasaannya tidak enak. Selain mulai merasa diri aneh, ia juga merasa akan kehilangan Puput. Apakah efek impotensi memang seperti itu, membuat orang setengah gila?

Mereka kini memasuki daerah yang rimbun dinaungi pepohonan. Panas terik matahari terhalang sehingga jalan itu menjadi agak gelap dan dingin. Puput beberapa kali mengalami kesulitan melewati turunan yang lebar. Jata membantunya dengan sigap.

"Tumben jalan ini ramai. Apa karena Senin nanti tanggal merah, ya? Jadi orang mau bertualang lewat sini."

Puput mendongak memandang wajah suaminya. Jata berhalusinasi lagi. Jelas-jelas hanya mereka berdua di jalan itu. "Kakak tahu dari mana jalan ini ramai?"

"Itu, banyak orang ngomong di belakang dan di depan kita. Orangnya sih nggak kelihatan, tapi suaranya sampai di sini."

Hati Puput kembali pilu. Tidak ada suara apa pun selain suara alam. "Iya, Kak, ramai," katanya untuk menenangkan Jata.

"Kamu juga dengar, Put? Berarti bukan halusinasi, ya." Wajah Jata terlihat lega.

"Bukan," jawab Puput. Biarlah berbohong sedikit asal Jata tidak semakin kalut.

Tiba-tiba pegangan Jata mengencang. Lelaki itu mematung dengan mata beredar ke sekeliling.

"Ada apa, Kak?"

Jata tidak bisa menjawab. Puput kembali tidak melihat apa-apa. Padahal di matanya, mereka dikelilingi makhluk berjubah hitam, bermata merah menyala, berambut panjang, dan bertangan hitam kurus, serta berkuku panjang. Makhluk-makhluk itu tidak terlihat akan menyerang, hanya mengelilingi dan mengawasi mereka.

"Kamu nggak lihat, Put?" bisik Jata. "Mereka mengawasi kita."

"Siapa? Kita cuma berdua aja di sini."

Jata mendesah. Benarkah ini halusinasi? "Masa cuma kita berdua? Mereka berdiri di sekeliling kita."

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba Jata merasa sedih. Hatinya membiru dan membeku. Nyeri sekali. Otaknya tidak dapat menjelaskan kesedihan itu karena apa. Seolah dirinya tengah berjalan di dalam tragedi. Ia merasakan tangis, jerit kesakitan, dan ketakutan yang menghimpit. Ia merasakan kematian.

Jata menyandarkan diri di batang pohon karena tubuhnya tiba-tiba lemas oleh himpitan perasaan. "Aku ... aku kenapa rasanya hancur begini?"

Hati Puput benar-benar tersayat. Mata Jata menyorotkan luka dan permintaan tolong. Suami gagah, berkharisma, dan pandai ini mengapa sekarang menjadi begini? Air matanya runtuh sudah. Dipeluknya erat tubuh Jata sambil terisak. "Aku sayang kamu, Kak," ratapnya di antara tangis.

Jata membalas pelukan dengan sama eratnya. Ketegangannya langsung mereda. Hatinya menjadi lebih tenang. Disesapnya kehangatan itu dengan mata terpejam. "Aku juga sayang kamu, Put. Sayang banget," bisiknya di telinga sang istri.

Untuk sesaat ia melarutkan diri. Ketika membuka mata kembali, makhluk-makhluk itu telah pergi. Dan sungguh aneh, suasana hatinya kembali tenang seperti semula.

"Minum dulu, Kak." Puput memberikan minuman jeruk yang langsung dihabiskan oleh Jata.

"Put, peluk aku lagi."

Puput merasa mengurus bayi besar. Bayi besar yang sangat disayangi. "Iya, nih, kupeluk sepuasmu."

"Put, kalau aku jadi impoten permanen gimana?"

Puput tersenyum dalam pelukan. "Aku tetap akan menyayangimu sampai akhir, sampai salah satu dari kita dipanggil." 

Ia geli sendiri saat mengucapkan itu. Rupanya ia mulai pintar menggombal. Rayuan receh itu ternyata berhasil. Wajah suaminya kembali tenang.


=== TBC ===

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang