67. Ikatan Naga

185 16 2
                                    

WARNING!

Part ini hanya berdasarkan rekayasa dan halunya penulis ya, gaes. Jangan ditelan mentah-mentah seolah ilmu beneran.

Semua cerita gaib tentang Riam Kanan dan Matang Kaladan hanya rekayasa. Jangan pergi ke sana untuk mencari-cari buaya putih atau Kanaya dan Kalila. Kagak ada!

*****

Deka akhirnya berhasil ditemui keesokan hari di rukonya. Pemuda itu sengaja menunggu kedatangan Jata. Ia membuka tokonya sampai malam. Selepas magrib, ia melihat lelaki itu datang.

Dari sosoknya, Deka langsung mengerti mengapa lelaki itu diberi nama Jata Panarung, yang berarti naga yang berlaga. Tinggi dan berotot, gesit dan tajam, kehadirannya mendenyutkan kekuatan. Ia memiliki karisma layaknya panglima perang. Ya, sang jata yang siap untuk terjun ke medan laga. Dengan mata batinnya, Deka segera tahu dari mana kekuatan itu berasal. Masalah yang semula cuma dugaan, kini terpampang lebih jelas.

Deka mempersilakan Jata dan ayahnya duduk. Panjang lebar ia menjelaskan duduk perkara. Ia sadar benar, apa yang dijelaskan terdengar aneh bagi kedua orang itu.

Bagi Jata dan Matias, tidak banyak keterangan baru yang dapat dari Deka. Sebagian besar sudah diketahui. Satu hal yang menjadi pertanyaan Jata, Deka beberapa kali mengingatkan soal pengaruh dunia gaib.

"Bang Jata sebaiknya jangan menyimpan apa pun. Itu tidak bagus. Energi Abang menjadi negatif."

Matias dan Jata otomatis saling pandang. Di tangan mereka saat ini terdapat beberapa benda pusaka. Masa semua harus dibuang begitu saja? Jelas tidak mungkin!

"Katamu para buaya itu berbeda, tidak satu dunia dengan para iblis ini. Berarti mereka tergolong putih, dong? Kalau putih, berarti bagus untuk kita."

Deka menghela napas. Orang-orang ini tidak mengerti. Mau putih, mau hitam, selama bukan kekuatan Yang maha Kuasa, semuanya tidak berguna untuk mereka.

"Begini, Pak. Makhluk dunia gaib itu ada banyak sekali ragamnya. Dari yang paling gelap hingga yang terang benderang. Dari jin dan genderuwo, hingga para dewa-dewi. Mereka semua punya dimensi masing-masing."

"Penguasa Riam Kanan itu berasal dari yang dimensi paling gelap. Boleh dibilang keraknya neraka. Mereka tergolong baru. Yang baru datang berupa buaya itu benar-benar sangat tua. Mereka sudah lama sekali diciptakan dan menempati dunia kita, tapi di dimensi lain."

"Kapan para buaya itu diciptakan?"

"Saya pun tidak tahu pasti. Akan tetapi, banyak orang meyakini, ketika dunia fisik ini diciptakan, dimensi-dimensi lain pun demikian. Kita menempati dunia yang sama, namun berbeda. Aneh, kan?"

Deka melanjutkan, "Para leluhur kita dulu sering bersahabat dengan penghuni dunia lain itu. Ada yang untuk kesaktian, ada yang diturunkan dari ayah ke anak dan cucu."

"Kalau mereka sakti, untuk apa mereka berikatan dengan manusia?"

"Nah, itulah. Mereka sakti di dunia kita. Tapi di dunia mereka sendiri, ya, seperti kita di dunia manusia, biasa saja. Bagi mereka, tubuh manusia itu ibarat hotel bintang lima yang nyaman sekali. Mereka suka memanfaatkan energi manusia."

"Kalau tidak boleh menggunakan kekuatan mereka, lantas bagaimana melawan mereka?"

Terus terang, inilah yang membuat Deka frustasi berhari-hari. Selama ini ia hanya menangani gangguan makhluk halus yang remeh-temeh. Cukup dengan mata batin dan kekuatan prana, ia membuat pembersihan. Melakukan hal-hal remeh seperti itu pun kadang menguras energi dan membuatnya sangat lelah. Bagaimana ia bisa ditempatkan untuk membantu empat orang yang terancam menjadi perkedel di tengah perang dua kekuatan gaib?

"Saya sedang mempelajarinya, Pak. Saya bukan orang super yang bisa segalanya. Saya juga sedang belajar," jawab pemuda bermata sipit dan berkulit halus mirip penyanyi Korea tersebut. "Tapi, saya tidak akan lepas tangan. Saya akan membantu sekuat kemampuan saya."

Akhirnya, Jata dan ayahnya pamit. Sebelum mereka berpisah, sekali lagi Deka mengingatkan, "Bang, jangan menyimpan apa pun, please."

♡♡♡

Matias mencibir di dalam mobil saat mereka melaju menuju rumah. "Enak saja dia bilang jangan menyimpan apa-apa. Maksudnya kalung itu atau apa? Terus, kalau ada apa-apa seperti tempo hari, kita mau melawan dengan apa?"

"Itu kan pendapat dia, siapa tahu benar."

"Nggak! Selama belum ada solusi lain yang lebih ampuh, kamu harus tetap memakai kalung itu. Logis aja, kan?"

Jata masih merenungkan perkataan Deka tersebut. "Selain kalung, apa ada lagi yang ditaruh di badanku, Pa?"

Matias terdiam. "Pasti ada. Nyatanya kamu punya ikatan itu."

"Mungkin itu yang dimaksud anak itu. Ditaruh di mana, Pa? Papa pasti tahu."

Matias menghela napas. "Di sumsum tulang punggungmu," jawabnya lirih.

"Hah? Gimana membuangnya?"

"Makanya Papa bilang, nggak bakalan bisa dibuang tanpa...." Matias terdiam.

"Tanpa?" Jata menuntut jawaban.

"Tanpa membuatmu meninggal." Lemas Matias saat menyatakan fakta itu.


=Bersambung=

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang