Setelah kegagalan percobaan ke-14 yang menyakitkan, Jata mengendurkan langkah. Selama seminggu berada di Riam Kanan, ia hanya mencoba dua kali. Sudah tentu percobaan ke-15 dan ke-16 itu gagal juga. Tapi paling tidak kegagalan itu tidak sampai membuat Puput merasa ngeri dan tak berdaya seperti percobaan ke-14. Puput hanya merasa geli ketika tangan suaminya mulai meraba daerah daerah peka miliknya. Otot-ototnya menegang, tawa tersembur, lalu segera menghindar.
Jata sendiri sudah mulai menerima keadaan. Ia tidak terlalu mengharapkan keberhasilan seperti yang sudah-sudah. Jadi ketika percobaan ke-15 dan ke-16 gagal, ia hanya berjalan gontai ke kamar mandi untuk melakukan eksekusi sendiri hingga selesai dan terpuaskan. Baiklah, tidak terlalu buruk, bukan? Bukankah selama membujang ia pun melakukan yang sama? Jadi, seharusnya tidak menjadi masalah saat ini. Satu-satunya masalah yang terpikir olehnya adalah bila hal ini terus berlanjut hingga tua, kapan mereka akan memiliki anak? Masa iya mereka harus melakukan prosedur bayi tabung sedangkan mereka berdua sama-sama sehat? Bila sudah memikirkan hal itu kepala Jata menjadi pening.
Sore itu, Jata memutar otak untuk mencari strategi paling tepat agar percobaan ke-17 tidak berlalu sia-sia. Bukankah bagi bangsa Indonesia angka 17 itu angka bertuah dan keramat karena menandakan perubahan besar-besaran dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka? Semoga angka 17 juga mendatangkan kemerdekaan seorang suami yang berhasil meretas batas kegadisan sang istri. Dan bagi Puput, semoga angka 17 mengantarkannya terus maju menjadi perempuan yang bisa menjalankan peran lebih, yaitu sebagai istri dan seorang ibu.
Rupanya hubungan ayah dan anak lelaki itu bisa sangat erat. Terbukti ayahnya seperti tahu apa yang menjadi masalah berat sang anak saat ini. Tahu-tahu ayahnya menelepon dari Pangkalan Bun. Suara tegas itu selalu membuat Jata merasa tenang.
"Bagaimana, Nak? Sudah berhasil tembuskah?"
"Belum juga Pa." Sambil berkata begitu Jata menelan ludah dengan sangat malu.
"Wah, Papa salah memberi nama Jata. Seharusnya kamu diberi nama pusa." Pusa dalam bahasa Dayak berarti kucing.
Tentu saja Jata sangat kesal mendengar komentar nyinyir sang ayah. Masa dia disamakan dengan kucing? Jata mulai berpikir bahwa dia sebenarnya adalah anak tiri sang ayah. "Pa, kasih solusi dong. Masa cuma diolok aja?"
Matias Sandan terbahak di seberang sana. Namun, sesudah itu dia berbicara dengan nada serius. Begitulah Matias Sandan. Kadang bercanda kebablasan, kadang serius dan penuh perasaan.
"Coba kamu beli buku-buku tentang reproduksi. Ajak istrimu untuk membaca. Ilmu itu sangat penting untuk membuat seseorang paham dan tidak takut lagi."
Sesudah itu sang ayah berdehem agak panjang. Kata-katanya selanjutnya diucapkan dengan lirih."Ada video-video khusus yang bisa kalian nonton berdua. Sebenarnya bukan video yang bagus, tapi untuk kasus kalian barangkali akan berguna."
Jata mengerutkan kening. "Video apa maksud Papa?"
"Yah, masa belum tahu? Video orang naena. Papa nggak yakin kamu belum pernah nonton barang sekali."
Jata spontan mengelus dada dengan sangat malu. Inilah mengapa ia terkadang malas berkonsultasi dengan Matias. Ayahnya itu kerap berbalik menelanjangi dirinya. "Pernah sih pernah. Tapi sekarang aku bisa dapat video macam begitu dari mana? Udah seumur aku begini malu banget kalau ketahuan mencari-cari video macam begitu."
"Malu mana dari ketahuan tidak bisa menembus istri sendiri?"
Jata tidak bisa berkutik lagi. Diam-diam ia pun merasa saran ayahnya masuk akal. "Papa punyakah? Kirim ke aku, Pa."
Papanya hanya mendengkus dengan keras. "Papa bisa dibantai Mama kalau ketahuan menyimpan barang begituan."
Kini Jata bisa membalas ayahnya dengan tertawa keras-keras. "Wah, Papa ternyata masih takut sama istri sendiri."
"Biar takut sama istri, tapi Papa ini pejantan tangguh. Buktinya ada kalian bertiga."
Tidak ada lagi yang bisa dikatakan Jata selain menghela napas panjang dan mengelus dada kembali.
Otak Jata mulai berputar. Ke mana ia akan mencari video semacam itu? Dulu ketika masih remaja, video semacam itu bisa diperoleh di rental-rental CD yang menjamur di kampung-kampung. Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, rental semacam itu nyaris tidak ada lagi.
Jata ingin mengeksplorasi dunia maya untuk mencari video semacam itu. Akan tetapi, ia takut kalau-kalau situs yang memuat video biru itu ditunggangi dengan virus. Bukan sekali ia mendengar komputer atau ponsel seseorang dirusak virus setelah membuka situs porno. Akhirnya pilihan meminjam CD dari seseorang adalah pilihan yang paling masuk akal. Akan tetapi siapa yang bisa ia minta pinjam? Segera beberapa nama muncul dalam otak. Salah satunya adalah Asrul.
Asrul memang bukan lelaki cabul. Namun, ia juga bukan lelaki suci. Ketika masih sama-sama berstatus karyawan baru, mereka sempat tinggal satu mess. Muda dan bergelora, mereka kerap mencoba-coba hal-hal yang kadang menyimpang. Menonton video biru salah satunya. Asrul punya beberapa koleksi yang disimpan rapat-rapat. Masalahnya, ia malu bila meminjam itu sekarang. Ketahuan sekali kegagalannya sebagai lelaki. Melihat kepribadian Asrul, ia yakin bakal menjadi sasaran bully paling empuk di kantor.
Jata membawa cangkir kopinya ke teras depan. Sambil duduk di bangku kayu teras ia memandang ke sekeliling kompleks rumah dinas itu. Dari kejauhan tampak Gani sedang mengerjakan sesuatu di halaman rumahnya. Bagi Jata, sosok Gani terkesan tenang dan kebapakan. Dulu saat tinggal di mess, beberapa kali lelaki itu berkunjung. Beberapa kali pula lelaki itu ikut kegiatan iseng mereka.
Jata melangkah mendatangi Gani. Senyum ramah lelaki bertubuh gempal berkulit kuning langsat itu kembali menyapa. Merasa sama-sama sebagai orang Dayak yang merantau, mereka cukup dekat.
"Pak," sapa Jata. "Saya mau ngobrol sebentar, bisa?"
Gani mempersilakan Jata masuk dan menyuguhkan kopi panas. Dengan menahan malu, Jata mengutarakan maksudnya. Ia cukup lega karena Gani menanggapi serius tanpa merasa geli sama sekali.
"Dik, saya tidak yakin video seperti itu akan berguna untuk kasusmu. Saya malah cenderung berpikir ada sesuatu yang menghalangi kamu untuk masuk. Dulu keluarga saya juga mengalami seperti kalian. Setelah dibawa ke orang pintar, ternyata ada sesuatu yang tidak kasat mata yang menutup jalan kewanitaan."
Jata sebenarnya tidak bisa mempercayai hal-hal mistis seperti itu. Ia tetap mendengarkan hanya sekadar untuk menghargai Gani.
"Ke mana saudara Bapak berobat?" tanya Jata asal saja.
"Wah, ke mana-mana. Tapi yang terakhir ke Putussibau."
Kening Jata langsung berkerut. Putussibau terletak di perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak Malaysia. Sudah tentu sangat jauh dari Banjarbaru Kalimantan Selatan. "Kalau begitu, sementara saya pakai cara duniawi dulu, Pak. Bapak punya videonya?"
Gani mengacungkan kedua ibu jari. Sesudah itu ia masuk ke dalam rumah lalu keluar lagi dengan dua keping CD di tangan. Sambil tersenyum simpul ia memberikan kepingan bundar itu kepada Jata. "Nggak usah dikembalikan. Saya sudah nggak butuh. Nanti kalau ketahuan anak saya malah jadi masalah." Gani memiliki anak yang sudah duduk di bangku SMP.
Jata meringis saat menerimanya. "Isinya gimana, Pak, seru?" tanyanya sambil mengangkat-angkat alis.
Gani ikut mengangkat-angkat alis. "Model lama. Tapi nggak kalah sama bikinan baru," jelasnya.
Jata ternganga. "Bapak juga nonton yang baru? Katanya udah nggak butuh tadi?"
"Ehm, Ehm! Itu pernyataan resmi dan diplomatis seorang ayah."
"Lah, kalau pernyataan jujur seorang lelaki, Pak?" lanjut Jata. Tentu saja rekan seniornya itu tidak bersedia menjawab.
☆---Bersambung---☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...