2. Malam Pertama

3.7K 93 3
                                    



Puput tidak menjawab. Istrinya itu malah mengunci diri di kamar mandi. Walau keheranan, Jata membiarkannya. Dibaringkannya tubuh ke kasur yang empuk dan bertabur kelopak mawar. Kamar pengantin di rumah orang tua Puput itu harum karena berbagai bunga. Bahkan ada senampan irisan daun pandan diletakkan di bawah ranjang.

Berbaring terlentang bertumpu kedua tangan di belakang kepala, Jata masih tak percaya akhirnya ia menjadi suami seseorang. Terbayang kembali kisah cintanya yang terseok. Pacar pertama, cinta pertamanya, adalah teman seangkatan di SMA. Mereka mulai pacaran saat kelas dua belas. Setahun pacaran, mereka terpisah karena Jata kuliah di Surabaya dan Wina, begitu nama sang kekasih, kuliah di Jogja. Setahun berjauhan ternyata membuat Wina berpaling ke lelaki lain. Ia diputus begitu saja. Tentu saja ia patah hati dan membutuhkan lima tahun untuk berpindah hati.

Jata bertemu dengan Kania saat bekerja di sebuah kantor konsultan di Surabaya. Menjalin hubungan beda agama selama dua tahun, akhirnya Jata menyerah. Ia kukuh tidak mau mengorbankan keyakinan yang dipeluk sejak lahir. Ia pun tidak ingin melukai perasaan keluarga besarnya. Terlebih lagi, biarpun telah mencoba mempelajari keyakinan Kania, hatinya tidak tergerak sama sekali. Pihak keluarga Kania bersikeras tidak akan merestui hubungan itu tanpa Jata berpindah keyakinan mengikuti keyakinan mereka.

Hubungan mereka semakin sulit setelah Jata mendapat pekerjaan tetap yang menjanjikan di sebuah BUMN dan ditempatkan di Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Ia ingin menikahi Kania dan memboyongnya ke Kalimantan. Kania tak sanggup melawan orang tua dan Jata lelah digantung tanpa kepastian. Kali ini, Jatalah yang memutuskan hubungan. Kania sempat sakit berhari-hari setelah itu karena kecewa dan marah. Akhirnya ia menerima pinangan lelaki pilihan keluarga.

Tiga tahun setelah putus dan setelah ratusan malam berdoa memohon jodoh, Jata akhirnya mendapat kabar dari orang tuanya bahwa mereka bertemu kawan lama dari Semarang melalui grup chatting alumni sekolah sang ayah. Anak teman lama itu baru saja ditinggal menikah oleh kekasihnya. Mereka berkirim foto anak masing-masing dan mulai tertarik. Orang tua Jata kemudian menunjukkan foto Puput pada anak sulungnya. Begitu melihat gadis mungil berkulit putih, bermata bulat dan berbulu mata lentik, dada Jata bergetar. Tanpa menunda, dari Banjarbaru Kalimantan Selatan, tempatnya bekerja, ia mendatangi Puput di Semarang.

Pertemuan pertama itu sangat berkesan. Duduk berhadapan dengan Puput, jantung Jata terus berdebar. Gambaran masa depan terpampang jelas. Entah mengapa, ia menjadi yakin begitu saja bahwa Puput adalah belahan jiwa yang akan bersamanya menjalani hidup. Gadis lembut dan bersahaja itu membuatnya yakin telah menemukan ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak.

Puput pun demikian. Setelah sempat sangsi dengan asal usul Jata yang dari suku Dayak, ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Jata terlihat berkarakter kuat, namun tindak-tanduknya santun. Anggapan bahwa orang Dayak itu primitif dan keji karena dapat memenggal kepala manusia, hancur lebur seketika saat bertatap muka dengan Jata yang tampan, terpelajar, berbicara teratur, serta berkarisma. Ia belum pernah berjumpa lelaki yang memiliki paduan unik seperti itu. Bila pintar, biasanya membosankan. Bila tampan, biasanya terlalu sombong. Jata tidak demikian. Ia merasa menemukan sosok ksatria yang bisa dijadikan tempat bersandar dan bergantung.

Sudah dapat diduga apa yang terjadi berikutnya. Kedua orang tua bertemu dan menentukan tanggal pernikahan, yaitu setelah Puput menyelesaikan pendidikan sarjananya. Setelah setahun menjalani hubungan jarak jauh, mereka pun menikah.

Puput terlihat segar setelah mandi. Rambut lurus sebahu menjuntai basah dan meninggalkan tetes-tetes air di leher dan kening. Mata bulat dan hidung mungil nan mancungnya terlihat indah alami saat terbebas dari riasan tebal. Jata mengikuti dengan matanya sejak perempuan itu keluar dari kamar mandi hingga duduk di depan meja rias untuk mengeringkan rambut dengan handuk dan hair dryer.

"Kak Jata nggak mandi?" Tiba-tiba Puput menoleh dan tertegun saat memergoki aksi suaminya.

"Haruskah?"

"Harus, dong. Jangan jorok, ya."

"Ah, kenapa kita nggak mandi bareng tadi, ya? Kan bisa lebih cepat dan efisien."

"Kakak nih, dikit-dikit bilang cepat dan efisien," gerutu Puput.

"Loh, itu penting, Put. Kalau bisa cepat dan efisien, kenapa harus lambat dan boros?"

Puput cuma mengangkat bahu tanda tak setuju. Jata terkekeh. Dengan gerakan ringan ia bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Puput mengembuskan napas lega. Semakin malam, ia semakin gelisah. Berbagai pikiran bergayut membebani jiwa. Bagaimana mereka akan bersama setelah ini? Jata yang tinggi besar, akan memasuki dirinya yang kecil dan rapuh?

Puput memejamkan mata dan menggigit bibir dengan kalut. Kedua tangannya mengepal di atas meja rias dengan kuat. Sekadar membayangkan saja ia telah gemetaran. Bagaimana menjalaninya nanti? Puput mau menangis rasanya.

Beberapa waktu yang lalu ia bertanya pada ibunya tentang malam pertama. Ia malah ditertawakan.

"Sakit nggak, sih, Ma?" tanyanya sambil memotong wortel di samping ibunya.

"Sakit? Ya sakit, dong. Kan ada yang robek dan berdarah," jawab sang ibu santai. Mata perempuan itu tak lepas dari adonan donat yang tengah diuleni di baskom kecil.

"Kayak apa sakitnya?"

Ibunya tertawa. Anak bungsu dan perempuan satu-satunya ini memang terkadang menanyakan hal yang aneh-aneh. "Ya begitu, ser, kayak diiris."

Mata puput menyipit kengerian. "Kayak diiris pisau begitu?"

Ibunya yang tidak peka hanya tertawa saja. "Tenang, Sayang. Rasa enaknya akan lebih banyak dari rasa sakitnya. Cuma sakit sebentar sesudah itu lupa."

"Tapi kan berdarah-darah, Ma?"

"Ya iya. Itu tandanya kamu masih perawan. Bersyukurlah memberikan kesucian pada suami sahmu."

Tentu saja, jawaban itu tidak menolong sama sekali. Dengan galau ia meneruskan pekerjaan memotong wortel.

"Jangan khawatir. Kalau sudah merasakan sekali, kamu nggak ingat lagi rasa sakit. Kamu malah ketagihan, lho."

"Ketagihan? Emang bisa ketagihan kayak apa, Ma?"

Meledaklah tawa sang ibu. Meledak pula kecemasan dalam dada Puput. Saat ini, dengan nanar ia mengawasi pintu kamar mandi. Hatinya berdebar kencang saat Jata keluar hanya dengan handuk melilit di pinggang. Kali ini bukan karena tertarik dengan tubuh indah itu, melainkan karena menyadari bahwa waktunya semakin dekat.

===TBC===

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang