39. Makhluk Itu Lagi

438 27 8
                                    


TANGAN lembut Puput bagai obat penenang bagi Jata. Seperti anak kecil yang dituntun sang ibu, Jata menurut ketika diajak duduk dan menunggu di ruang tengah. Bahkan saat Puput ingin meninggalkannya, ia menggenggam tangan itu kuat-kuat.

"Lepasin dulu Kak, nanti aku ke sini lagi."

Jata terpaksa duduk sendirian di sofa, di tengah hamparan dinding dan plafon yang ternoda. Gambaran itu mendatangkan rasa pilu alih-alih menakutkan. Seolah ada ribuan tangan tengah melambai meminta tolong.

"Put, kamu lihat ada yang aneh di dinding dan plafon rumah kita, nggak?"

Puput melongokkan kepala dari dalam kamar. "Apa yang kakak lihat?"

"Aku melihat seluruh dinding dan plafon rumah kita penuh dengan tapak kaki dan tapak tangan berwarna hitam. Kamu melihat apa? Jangan-jangan kamu nggak melihat apa-apa." Ada nada sedih di dalam suara Jata.

"Sudahlah, jangan berpikir yang macam-macam. Istirahatlah di situ," teriak Puput dari dalam kamar.

'Put, jawab jujur, dong? Kamu melihat sesuatu atau tidak melihat sama sekali?" Jata memaksa.

Akhirnya Puput pasrah. "Aku tidak melihat apa-apa, kak Jata. Dinding dan plafon rumah kita bersih karena belum lama dicat."

Jata lemas mendengar itu. "Aku berhalusinasi lagi ya, Put?" Suara itu terdengar lirih dan terluka. "Aku kok merasa sedih banget kayak begini."

Puput yang tengah berjalan keluar kamar untuk mengambil seprei dari kamar sebelah langsung menghentikan langkah. Mendengar suara tanpa daya itu, hatinya terenyuh. Seberat itukah menjadi orang yang mengalami gangguan jiwa?

"Kamu sedih karena apa?

"Aku juga bingung sedih karena apa. Pokoknya rasa hatiku sedih aja. Sepertinya masa depan itu gelap banget." Jata terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, "Put, aku nggak pernah mengalami perasaan seperti ini. Biar patah hati pun aku nggak sesedih ini."

Puput menghampiri suaminya, lalu duduk di sebelahnya. Tangan kekar itu digenggam dengan mesra. "Mau kupeluk?"

Jata menatap sepasang mata bening nan indah di hadapan. Sorot mata itu selalu bisa membuat hatinya tenang. Ia ingin menguji pola yang baru ditemukan tadi. Apakah dengan memeluk Puput akan mengurangi gangguan makhluk gaib tersebut.

"Peluk aku, Put. Peluk yang erat dan lama. Boleh?"

Tubuh mungil Puput segera merapat dan memberikan kehangatan. Jata membalas dengan memeluk sepenuh hati. Ia kembali menikmati kehangatan dan aroma khas istrinya. Sambil melakukan itu, dengan sudut mata, ia mengawasi dinding dan plafon.

Benar sekali. Noda-noda itu memudar secara perlahan dan akhirnya hilang sama sekali. Dada Jata pun menjadi lega. Rasa pilu dan kehilangan harapan itu turut memudar bersama noda-noda.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Bukankah setiap kali mengalami perasaan sedih makhluk-makhluk itu hadir? Jata berdiri, kemudian meninggalkan Puput untuk pergi ke teras belakang. Betapa kaget ia setelah sampai di sana.

Makhluk-makhluk itu sudah berjajar di luar pagar halaman, di dekat hutan belakang. Semua menyorotkan mata merah menyala. Kemarahan Jata terpicu begitu saja. Ia mengambil batang kayu di dekat situ, kemudian berdiri tegak di halaman belakang.

"Mau apa kalian? Ayo sini kalo berani!"

Makhluk-makhluk itu mulai bergerak melintasi pagar. Jata bersiap. Ia sudah tidak bisa berpikir. Hanya satu keinginannya yaitu menyerang balik makhluk-makhluk itu. Sambil berteriak lantang, ia berlari menuju menuju belakang, hendak menghadang gerombolan yang bergerak dengan cara melayang itu.

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang