28. Psikiater

490 32 5
                                    

-o0o-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-o0o-

SECEPAT datangnya, begitu pula kepergian lebam-lebam itu. Hanya perlu satu kali berganti hari lebam-lebam itu lenyap tanpa bekas berikut rasa nyerinya. Jata mengira itu efek minyak urut tradisional yang dibeli di Banjarmasin. Atau bisa juga karena air garam yang digunakan mandi. Jata semakin merasa aneh dengan segala kejadian itu. Karena sudah merasa tidak dapat menangani sendiri, akhirnya Jata menghubungi Matias. Segala hal aneh itu diceritakan satu demi satu, dimulai dari peristiwa di Bali. Jawaban Matias cukup mengejutkan.

"Pindah kalian segera, secepatnya keluar dari rumah itu!"

"Hah? Lalu kami ke mana? Rumahku baru naik atapnya, belum bisa ditempati."

"Sewa saja rumah lain di dekat situ atau cari tempat kos."

Jatah termangu. Menilik reaksi sang ayah, ia baru menyadari bahwa hal-hal aneh itu tidak sesederhana yang dibayangkan. Satu masalah belum selesai, kini timbul masalah baru. Ya, Hatala, keluh Jata dalam hati. Mengapa semenjak menikah hidupnya malah semakin rumit?

"Pa, ada teman menyarankan untuk mendatangi seseorang di daerah Loksado. Menurut Papa, apa sebaiknya aku mencari orang itu?"

"Siapa dia?"

"Nggak tahu. Kata teman, dia orang Dayak juga."

Untuk sesaat tak ada jawaban dari Matias. Rupanya lelaki itu juga tengah berpikir keras. Akhirnya ia menjawab juga.

"Jangan dulu. Biar Papa mencari untuk kalian. Sebab kalau salah, bukannya menjadi beres malah mendatangkan masalah baru. Kamu tahu, para dukun kadang menggunakan kekuatan gaib berupa makhluk halus yang lebih kuat dari yang akan mereka usir. Ibaratnya kamu mau mengusir tikus, kamu masukkan kucing. Kucing mengganggu, kamu datangkan anjing. Kalau anjing mengganggu juga, kamu datangkan harimau. Nah, niat awal mengusir tikus, malah berakhir menyimpan harimau."

Tak ada yang dapat dilakukan serta selain menyetujui usul sang ayah. Masalahnya, bagaimana mengajak Puput pindah? Gadis itu terlanjur mencintai rumah kayu itu. Bahkan diajak jalan-jalan pun kerap menolak. Alasannya, ia merasa lebih senang berada di rumah.

"Untuk apa pindah?" Nada suara Puput langsung meninggi.

Benar saja Puput menolak mentah-mentah. Jata terpaksa mengulang penjelasannya.

"Apa kamu nggak merasa banyak kejadian aneh akhir-akhir ini? Papa menyuruh kita mencari tempat tinggal yang baru."

"Kejadian aneh apa? Aku nggak mengalami apa-apa. Yang mengeluh itu cuma kamu. Jadi kamu saja yang pindah."

"Apa?" Sontak Jata mendengkus dan mengangkat alis dengan kesal. "Kamu mau kita pisahan?"

Puput tidak menanggapi. Gadis itu langsung ngeloyor ke dapur lalu menyibukkan diri dengan adonan donat. Jata menyusulnya.

"Ayolah, Put. Aku khawatir dengan kamu!"

Puput tidak mau mendengar. "Aku suka di sini, Kakak! Kamu semakin aneh aja."

"Aku nggak masalah kamu tuduh aneh, yang penting kita pindah."

Puput menoleh dan menatap tajam. "Tuh, mulai lagi main paksa!"

"Put, aku...." Kata-kata Jata terputus karena melihat tatapan membara sang istri.

"Coba dinalar dengan jernih, Kak, kamu mencium bau yang nggak ada, mendengar suara yang nggak ada wujudnya, lalu melihat orang yang sebenarnya hanya bayangan. Apa itu namanya? Halusinasi, Kakak!"

Jata terkesiap. Kata-kata Puput ada benarnya. Ia mulai melakukan kewarasannya. "Gimana soal lebam-lebam tempo hari, apa itu bukan bukti?"

"Lebamnya satu hari sudah hilang. Kalau itu bekas pukulan, pasti nggak akan hilang dalam satu hari. Aku malah khawatir kamu punya penyakit dalam."

"Aku nggak tahu ini keputusan benar atau salah. Tapi perasaanku bilang kita harus pindah!" Jata mulai ngotot.

"Sejak kapan kamu memutuskan sesuatu berdasarkan perasaan, Kak? Membuat keputusan itu harus pakai logika." Puput tak kalah ngotot. Jata sampai terkaget dengan semangat membantah gadis itu.

"Sekarang dipikir, Kak. Secara logika, tepat nggak kita pindah untuk mengatasi masalahmu? Apa nggak lebih baik kamu berobat?"

Jata tidak bisa berkutik. Kata-kata Puput sangat mengena. "Ya udah. Kalau tidak mau pindah terserah. Tapi kamu harus pergi ke dokter kandungan. Aku nggak mau dibantah soal itu."

Puput mendengkus dengan sangat kesal. Dihempasnya adonan donat ke meja. "Tapi ada syaratnya!"

"Apa syaratnya?"

"Aku mau konsul ke dokter kandungan asal Kakak konsul ke psikiater."

"Apa? Kamu pikir aku gila?"

"Omonganmu kayak bukan omongan sarjana aja, Kak!" Puput membalikkan perkataan Jata tempo hari. "Masa kamu belum tahu kalau yang pergi ke psikiater itu bukan cuma orang gila. Lagian sekarang sudah tidak ada istilah orang gila. Mereka itu sakit, bukan gila!"

Jata terbelalak. Masa iya dirinya harus mendatangi psikiater?

"Kok malah bengong? Orang gangguan jiwa memang begitu, tidak merasa kalau dirinya sakit. Coba kamu tanya orang-orang sakit jiwa yang keluyuran di jalan. Mana ada yang mengaku gila? Kamu sudah mengalami halusinasi, Kakak. Itu gejala gangguan jiwa!"

Mata Jata menatap dengan nyalang. "Dengar ya! Kalo aku sampai gila, itu bukan karena makhluk halus, tapi karena kamu!"

Jata kaget sendiri dengan perkataan itu. Bisa-bisanya ia berdebat kusir dengan kata-kata pedas? Oh, jangan-jangan Puput benar, dirinya mengalami gejala gangguan jiwa.

"Terserah kamu! Kalau Kakak masih mau aku ke dokter kandungan, Kakak harus ke psikiater!"

Tentu saja, Jata akan berbuat apa saja demi membawa Puput dokter kandungan. Karena itu, tanpa perlawanan, ia menyetujui syarat yang diajukan Puput.


=Bersambung=


Puput mulai nyebelin, ya? Komen please ....

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang