Suara-suara ribut di dari arah kerumunan menyadarkan Jata dan Wina. Orang-orang akan mengevakuasi kedua jenazah untuk diotopsi. Jata menarik tangan dan mengalihkan pandangan dengan wajah bingung. Wina tersenyum terkulum mendapati mimpinya semalam menjadi kenyataan. Mimpi indah bergandengan tangan dengan Jata di tepi danau.
"Sama siapa kamu ke sini?" tanya Jata tanpa memandang Wina, namun tidak menjauh. Suaranya sudah jauh lebih lunak.
Wina menunjuk ke arah kerumunan. "Tuh, sama Billy. Dia penasaran sama hal-hal beginian. Dia memaksa ke sini. Padahal aku tadi males banget. Eh, ternyata ketemu kamu lagi. Nggak sia-sia aku ke sini." Senyum Wina terkembang manis. Jata hanya sanggup melihat senyum itu dengan sudut mata.
Billy menghampiri mereka. Entah mengapa, kehadiran lelaki itu membuat Jata tidak nyaman. Pandangan lelaki itu menjelajahi dirinya, seperti mencari-cari kelemahan.
"Kenapa muka kalian aneh?" tanya lelaki itu.
Jata menggeleng. Rahangnya terkatup rapat, tidak berniat untuk menjawab.
Billy masih menuruti rasa penasarannya. "Kamu melihat sesuatu yang aneh, ya?" tebaknya. "Jangan-jangan kalian...."
Wina langsung memukul lengan lelaki bertubuh pendek itu. "Jangan aneh-aneh!" tegurnya. Tapi mulutnya tersenyum terkulum.
"Bukan itu yang kumaksud, Wina." Billy mengalihkan pembicaraan karena melihat Jata tersinggung. "Maksudku, apa barusan kamu dan Jata mengalami kejadian mistis terkait kematian kedua anak itu?"
"Menurutmu?" balas Jata dengan enggan. "Kamu melihat apa di sini tadi?"
"Oh, ini cuma kecelakaan biasa. Tidak ada yang aneh," tukas Billy. Suaranya terdengar sumbang.
Jata tertawa dalam hati. Dasar dukun sok tahu, rutuknya dalam hati.
"Saya kok merinding terus dari tadi, ya," ujar Jata, sengaja memancing. "Bener nggak melihat ada apa-apa di sekitar sini?"
"Kamu menguji saya? Saya melihat ada kegelapan besar yang menyelimuti kamu. Hati-hati ya, kamu dan Wina. Aura kalian sama-sama gelap!" Billy terlihat gusar.
Jata tertegun. Perkataan Billy itu ada benarnya. Sikap Wina dan perasaannya yang menjadi tak terkendali setiap berdekatan dengan wanita itu cukup menjadi bukti ada yang tidak beres pada dirinya dan Wina. "Maaf. Saya benar-benar bertanya, bukan mau menguji. Jangan tersinggung dulu, Bro."
Billy tersenyum puas. "Jata, Wina. Aku kasih tahu kalian, ya. Berhati-hatilah mulai sekarang. Aku benar-benar melihat kegelapan menyelimuti kalian berdua. Kalau tidak segera melakukan ritual pemutusan ikatan, aku nggak yakin dengan nyawa kalian."
Mendengar penuturan Billy, Wina langsung memucat dan memandang Jata dengan wajah sok memelas. "Ayo dong ... kita lakukan ritual itu. Cuma sebentar aja, kok. Aku nggak mau mati muda, Jat!"
Jata menelan ludah. Billy barangkali tidak bisa melihat makhluk-makhluk itu dengan jelas, akan tetapi kegelapan yang dia katakan itu benar adanya.
"Iya deh. Aku ikut kamu. Tapi aku minta satu hal. Tolong hal ini dirahasiakan. Jangan sampai ada yang tahu. Aku nggak mau ribut dengan istriku. Dia tahu kita pernah pacaran. Nggak enak banget kan kalau ketahuan pergi ritual sama kamu."
Wina menggenggam tangan Jata sambil tersenyum manis. "Jangan kuatir. Aku juga tidak mau ketahuan orang lain kok. Rahasia ini cuma kita bertiga saja yang tahu."
Kali ini Jata menyentakkan tangan. "Nggak usah pegang-pegang begitu!"
"Iya, iya! Dasar galak!" Wina tidak keberatan dibentak. Dia tahu, Jata hanya gengsi saja. Pijar mata Jata saat mereka berpegangan tangan tadi menyorotkan rindu, sama seperti saat mereka berpacaran dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...