71. Latihan Jata

217 15 2
                                    

Kepergian Bilah membuat pimpinannya murka. Kanaya datang, meluncur cepat menembus kabut hutan. Ia harus bisa meremukkan rusuk Jata untuk melemahkannya. Cakarnya telah memanjang, siap dihunjamkan. Ujung jarinya kurang beberapa puluh sentimeter dari tubuh Jata sebelum ia menyadari sesuatu. Seseorang menahan gerakannya dengan mandau berkilat, diikuti terjangan buaya putih. Benturan keras pun tak terhindarkan. Orang itu terpelanting jauh, begitu pula buayanya.

Kanaya geram, tidak menyangka ada manusia yang bisa menahan serangannya. Ia bergerak lagi. Kali ini lebih ganas dan mengarah langsung ke Jata. Cakarnya terayun sekuat tenaga. Di detik-detik terakhir saat senjata itu nyaris mengenai leher Jata, lagi-lagi, gerakan Kanaya terhenti disertai lengkingan panjang. Kali ini bukan buaya atau lelaki tak dikenal yang menahan, melainkan dirinya sendiri.

Puput yang membungkuk membantu Jata bangun, telah menghalangi serangan Kanaya. Makhluk itu membeku di udara dengan mata mendelik murka, sebelum akhirnya berubah menjadi bayangan hitam yang menghilang ke dalam kabut.

Jata bangkit dengan susah payah. Ditolehnya si penolong yang juga bersusah payah bangkit. Orang itu berwajah bulat, bermata sipit dan berhidung kecil. Kulitnya kuning langsat, khas suku Dayak. Begitu bisa bangun, ia bergegas membantu memapah Jata masuk ke dalam rumah.

"Saya Dehen[1]," ucapnya memperkenalkan diri.

"Jata, Pak," balas Jata sambil terengah menahan nyeri. Tiga robekan di dadanya menjalarkan panas ke seluruh tubuh.

"Mari, saya obati lukanya. Yang begini tidak bisa dengan obat medis biasa," tutur tamu Jata yang tampak masih muda, mungkin berumur sekitar empat puluhan. Sambil mengulas senyum manis, ia melanjutkan, "Kalau belum berpengalaman, jangan keluar dari batas halaman."

Jata ingin bertanya lebih lanjut, namun rasa nyeri di dada menahan mulutnya bersuara.

☆☆☆

Dehen membuat ramuan oles dari minyak kelapa dicampur beras merah dan hitam, garam,  bahan-bahan kering yang dibawa dari Loksado. Semuanya ditumbuk sampai halus dan diaduk sampai menjadi salep. Luka Jata dibersihkan dengan air hangat, lalu diolesi dengan salep[2] tersebut. Mula-mula terasa pedih, namun beberapa saat kemudian, reaksi obat tradisional itu mulai terasa. Rasa perih dan terbakar yang tadi menyertai cakaran tersebut pun berangsur-angsur hilang.

"Makasih, Pak. Untung Bapak datang tepat waktu," kata Jata. Ia langsung merasa akrab dengan lelaki itu. Selain karena wajah Dehen memang ramah, lelaki itu seperti telah dikenalnya bertahun-tahun.

"Semua sudah diatur," jawab Dehen.

"Saya kira Bapak bertapa empat puluh hari empat puluh malam."

"Saya kira juga begitu. Ternyata cukup tiga hari dua malam."

Jata membuka mulut hendak bertanya, namun Dehen menunjuk ke leher. "Merah sekali lehernya. Paka karena memakai kalung itu? "

"Iya, Pak. Mau saya lepas, tapi kata orang nggak boleh."

Dehen tersenyum kembali. "Kata siapa?"

"Loh?" Jata mengangkat kedua alis karena heran.

"Disimpan atau dikasihkan orang juga boleh. Buat kita, benda semacam itu cuma aksesori."

Jata ternganga. "Jadi kalung ini bukan jimat untuk kekuatan atau penolak bala?"

Dehen terkekeh penuh arti. "Cuma anak kecil yang menggunakan mainan seperti itu. Kita tidak lagi."

"Saya memanggil buaya bukan dengan kalung itu?" Jata masih tak percaya. Berhari-hari ia menahan gatal dan pedih tanpa guna.

"Bukaaan! Yang di dalam tulang belakangmu itu yang bekerja." Dehen kemudian melepas kemeja dan memutar badan untuk menunjukkan punggungnya. "Lihat, saya juga punya!"

Tercengang, Jata mengamati punggung tamunya. Di bagian tengah punggung, memanjang mengikuti tulang belakang, terdapat gambaran hitam kebiruan menyerupai naga yang meliuk dari bawah ke atas.

"Saya cuma diberi sampai setengah punggung tingginya. Tapi punyamu nanti, kalau sudah bangkit, bisa mencapai kepala. Itulah mengapa kamu dipilih sejak dalam kandungan. Kamu kuat untuk memegang mereka."

"Mereka? Siapa maksud Bapak?"

Seperti sudah Jata duga, lelaki itu hanya tersenyum penuh arti. Yakin dirinya tidak akan bisa mengorek jawaban, Jata kemudian memilih kembali ke masalah kalung. Benda itu segera dilepas dan diamati. "Sebaiknya saya apakan kalung ini? Apa benar tidak ada gunanya sama sekali?"

"Coba diberikan ke istri. Kalau kuat, dia boleh memakainya."

"Baru tersentuh aja dia udah teriak, Pak, apalagi memakainya," keluh Jata.

Dehen mengangguk mendengar itu. Dia tidak heran. Dalam hati ia miris menyaksikan pasangan suami istri baru yang sama-sama dikuasai kekuatan gaib. Hanya sayang, kedua kekuatan di dalam tubuh mereka saling bertolak belakang. Ah, bukan. Bukan cuma bertolak belakang, namun akan saling menundukkan. Dalam perang yang kana terjadi sebentar lagi, hasil yang mungkin dapat Cuma dua; salah satu akan menang, yang berarti yang satu akan hancur. Atau yang terburuk, keduanya hancur.

Duh, Ranying Hatala Langit! Lindungilah kami semua," bisik hati Dehen.

"Sekarang, jangan banyak bicara dulu. Simpan tenagamu untuk berlatih mulai besok malam," kata Dehen kemudian.

"Berlatih apa?"

Dehen tersenyum lagi. "Besok, ya. Hari ini silakan kamu beristirahat dan bersenang-senang dengan istri. Karena mulai besok, kamu tidak boleh menyentuhnya sampai latihan tuntas."

"Hah? Berapa lama latihannya? Saya kan belum bilang setuju."

"Entah setuju entah tidak, latihan harus jalan terus. Kalau lancar tujuh malam. Kalau tidak lancar, bisa dua minggu."

"Latihannya harus di Riam Kanan?"

"Tidak harus. Asal ada air yang banyak untuk merendam tubuh."

Jata tercenung sejenak. Penyerangan tadi jelas tidak boleh dianggap main-main. Keselamatan Puput dan dirinya benar-benar terancam. Lebih baik ia membawa Puput menjauhi segala hal yang berbau alam gaib. Sambil memandang istrinya dengan perasaan sayang bercampur khawatir, ia menjawab tegas, "Saya tidak mau ikut pelatihan. Semua ini mengerikan. Saya akan mencari jalan keluar yang lain, asal bukan dengan cara mistis."

Dehen hanya menanggapi dengan tersenyum sabar. "Silakan dicoba. Siapa tahu memang ada jalan lain."

____________________________

[1] Pak Dehen juga muncul di kisah ANOI 1894 – The Disastrous Ritual. Sebuah novel berlatar sejarah yang mengandung bibit debar-debar. Jangan ketinggalan, masih utuh, free, tamat di Wattpad. Khusus disediakan buat sobatnya Fura yang setia mengunjungi lapak ini. Sambil menunggu updetan Jata seminggu lagi, mampir yuk di cerita Deka dan Urai. #cieeeehpromosiiih

[2] salep ini hanya rekayasa. Jangan dipraktikkan. Kalian bisa kena tetanus atau infeksi.

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang