Asrul memandang kekasih yang telah ditinggalkan sebulan lalu. Saat membatalkan lamaran, ia masih ingat wajah Fitri yang terluka. Gadis baik dan lembut itu tak henti-hentinya menangis hingga bicara pun tak jelas. Fitri pergi dengan sangat marah.
"Kamu datang?" tanya Asrul dengan suara serak. Rasa malu menyusup di hati menimbulkan nyeri yang sangat.
Lihatlah, sebulan lalu, dengan sangat arogan dituduhnya Fitri telah kotor karena pernah dijamah lelaki lain. Itu sama saja menyatakan secara tidak langsung bahwa gadis itu tak lagi layak untuknya. Padahal siapakah ia, berani berkata seperti itu? Bila Fitri kotor, bukankah dirinya juga produk kotoran masa lalu?
Ah, mengapa saat itu ia membiarkan ego membutakan? Bukankah ia menginginkan gadis suci sekadar untuk menghapus jejak sejarah yang kelam? Ia tidak ingin dicemooh orang seperti, Nah, kan? Anak haram ya dapatnya cewek bekas perzinaan. Ia ingin mematahkan anggapan seperti itu, karena sudah bosan menyandang dosa masa lalu ibunya.
Semua harapan itu kini tinggal kenangan. Pada akhirnya, ia tak mampu melawan dosa yang dibawa dalam aliran darah yang bernama nafsu. Andai saat itu ia tidak tergiur kemolekan Puput, tentu ia akan segera pulang setelah menyerahkan ikan. Ia sudah tahu Jata akan datang.
Entah dari mana datangnya setan, tiba-tiba saja ia ingin berlama-lama berada di samping tubuh putih yang harum itu. Bila diminta jujur, mereka bukan tanpa sengaja bersenggolan di teras kala itu. Dirinyalah yang membuat sentuhan itu terjadi sehingga nafsunya melonjak ke ubun-ubun. Dan ternyata, ia sama saja dengan lelaki bejat yang menghamili ibunya tanpa bertanggung jawab, tak kuasa melawan dorongan nafsu. Sekarang, ia tak ubahnya sampah di hadapan Fitri.
"Aku sudah kotor, Fit. Kenapa kamu masih mau datang?" bisiknya dengan mata menerawang.
"Jangan ngomong begitu. Kamu masih Asrul yang kukenal," bisik Fitri.
Asrul menggeleng. "Enggak, Fit. Aku bukan orang seperti itu. Aku tiba-tiba bernafsu pada istri sahabatku sendiri."
"Semua orang punya salah, Srul. Yang penting adalah bagaimana kita memperbaiki diri setelahnya."
"Tapi aku belum bisa memaafkan diriku sendiri, Fit. Pulanglah. Kecelakaan ini mungkin hukumanku."
Tangis Fitri pecah kembali. "Asruuuul! Sampai kapan kamu bodoh seperti ini? Dari dulu pikiranmu cuma hitam dan putih, salah dan benar, kotor dan suci. Kamu tidak mau melihat dengan cara yang lain."
Asrul menoleh tak mengerti. Kepalanya sangat pening setelah koma tiga hari.
"Aku memang sudah kotor, Fit," desah Asrul. "Carilah laki-laki lain. Aku tidak pantas untukmu." Sesudah itu, ia memejamkan mata seraya memalingkan wajah ke arah lain.
Fitri mendesah dengan sangat kesal. "Baiklah, kalau itu maumu. Bukan kamu yang tidak pantas, tapi aku, kan? Kamu hanya merendah untuk menghindar dariku, kan?"
Fitri meninggalkan Asrul walaupun jam besuk belum habis. Melihat punggung perempuan yang pernah mengisi hatinya itu menjauh, Asrul seperti kehilangan separuh napas.
Maafkan aku, Fit, bisik hatinya. Ada cairan bening yang mengalir keluar dari sudut-sudut mata.
Asrul tidak tahu, ada sosok hitam yang memandang mereka dengan mata merah menyala.
☘☘☘
Sejak bertemu terakhir kali di kantor Jata dan ditolak, Wina tak pernah punya kesempatan untuk berbicara dengan mantannya itu. Jata sibuk. Ia juga sibuk. Satu-satunya kesempatan melihat lelaki itu dari dekat adalah saat pertemuan membahas kasus Asrul di mess.
Ah, Jata yang marah terlihat jantan sekali. Cara duduknya, cara menatapnya, sekecil apa pun gerakan lelaki itu, membuat getaran dalam dada semakin kuat saja. Jata yang matang di usia tiga puluh, sungguh menabuh kisi-kisi hati dengan keras. Ia merasakan kewanitaannya berdenyut setiap berhadapan dengan lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...