MENDENGAR suaminya kembali manja dengan minta disuapi, wajah Puput kontan merengut. "Nggak malu apa sama bapak yang punya warung?"
"Enggak. Kenapa mesti malu?" balas Jata. "Aku manja sama istri sendiri, kok."
"Tapi aku malu sama bapak itu, Kakak!" protes Puput.
"Namanya Pak Sadi," sahut Jata. "Aku sudah kenal dekat, udah kayak saudara sendiri."
"Oh, iya. Pak Sadi. Tadi udah ketahuan memeluk kamu lama banget sampai orang yang mengantar makanan malu sendiri. Tahu nggak, Kak? Tadi ada orang mau makan di sini sampai batal, nggak jadi duduk karena lihat kita."
"Bagus, dong. Teras ini jadi milik kita berdua," jawab Jata datar.
Puput mengerjap. Jatanya yang keras kepala dan semaunya sendiri sudah kembali.
"Kok malah bengong? Suapin, Put!" Instruksi itu benar-benar tak bisa dibantah.
"Kamu tuh nyebelin!" Rajukan Puput pun tak bisa dibendung. Tangan lembut Puput akhirnya menyendok nasi.
"Pakai tangan!" perintah Jata lagi.
Nah, kan? keluh Puput dalam hati. Sifat otoriter Jata kambuh lagi. Astaga, mana Jata yang tadi? Ia lebih suka Jata yang stres karena bisa menurut dan pasrah diurus.
Jemari lentik itu mengambil sesuap nasi dan daging patin, lalu menyuapkannya ke mulut sang suami. Mulut Jata terbuka lebar menerima suapan. Dan, sebelum Puput tersadar, jemari itu telah dijilat dengan sangat nakal. Puput spontan menarik tangan, tapi tangan lelaki itu mencengkeram dengan kuat. Gadis itu terpaksa memasrahkan jemarinya dirambah bibir dan lidah Jata.
"Kak Jata! Jijiiiik!"
Jata tidak menjawab karena mulutnya tengah sibuk mengunyah.
"Kamu tahu, Kak? Jariku ini kupakai cebok." Puput memicing dengan sengit.
"Kamu cebok pakai tangan kanan?" sahut Jata dengan nada tak percaya.
"Iya! Kenapa?"
Jata hanya menyeringai tipis tanpa membalas perkataan istrinya. Hal itu justru semakin membakar kekesalan Puput.
☆☆☆
Warung itu berada di atas tepian waduk. Dari teras itu mereka bisa memandang Bukit Matang Kaladan secara langsung. Bahkan puncaknya terlihat jelas dari situ. Awal jalan setapak yang tadi mereka lalui pun terlihat. Jata menikmati patin panggang sambil mengamati jalan setapak tersebut.
Beberapa orang tengah berjalan melewati jalur itu. Jata melihat dengan saksama karena rombongan itu tidak tampak sebagai pejalan kaki biasa. Beberapa orang mengenakan seragam.
Pemilik warung datang ke teras kemudian berdiri di dekat meja mereka sambil memandang ke arah bukit. "Mereka menangkap pasangan mesum."
Jata memperhatikan rombongan yang sekarang tersamar oleh pepohonan. Memang benar, orang-orang itu adalah anggota keamanan desa. "Mereka ditangkap karena melakukan apa, Pak?" tanya Jata.
"Mereka ketahuan berhubungan layaknya suami istri di hutan sebelah sana." Tangan pemilik warung menunjuk suatu daerah berpohon lebat. "Ading[1] tadi lewat jalan setapakkah? Nggak lihat sesuatu yang aneh?"
Jata dan Puput menggeleng.
"Dengar-dengar, mereka ketahuan berhubungan layaknya suami istri di hutan sebelah sana." Tangan pemilik warung menunjuk suatu daerah berpohon lebat. "Ading tadi lewat jalan setapakkah? Beneran nggak lihat sesuatu yang aneh?"
"Beneran, Pak. Aneh seperti apa maksudnya?"
Lelaki yang bernama Sadi itu cuma menggeleng. "Ya sudah kalau tidak melihat apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
خارق للطبيعةJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...