JATA mengeluarkan mobil dari halaman. Sekilas diamatinya rumah. Tak ada tanda-tanda Asrul menyusul keluar. Barangkali lelaki itu masih terkapar di halaman. Walau bagaimanapun, Jata merasa tidak nyaman meninggalkan lelaki itu dalam kondisi terluka. Akhirnya, ia singgah untuk melaporkan kejadian itu pada Gani, ketua RT mereka.
Bu Gani meminjamkan baju untuk mengganti baju Puput yang berlumuran darah dan tidak bisa dikancing. Puput juga diberi minum teh hangat agar lebih tenang.
Gani segera melapor pada keamanan kompleks. Bersama tiga anggota keamanan, Gani mendatangi rumah Jata dan menemukan Asrul masih terbaring lemah di halaman belakang. Mereka memborgol Asrul dan mengamankannya di rumah Gani.
Setelah melapor, Jata melarikan Puput ke Banjarbaru. Sepanjang perjalanan, bila memungkinkan, tangannya menggenggam tangan istrinya yang sedingin es.
"Jangan mikir apa-apa. Yang penting sekarang adalah mengobatkan kamu," hiburnya. "Pening?"
Puput mengangguk. Jata meminggirkan mobil, lalu memeriksa kepala Puput. Luka selebar lima senti itu masih mengeluarkan darah.
"Minum, Put." Jata memberikan minuman kemasan yang diberikan Bu Gani. Sesudah itu ia mengebut ke rumah sakit terdekat.
Tiba di IGD, ia langsung menggendong Puput ke pintu masuk. Seorang perawat menyambut dengan kursi roda. Saat itulah, Jata melihat rok bagian belakang Puput turut ternoda darah. Jata lemas seketika. Pikiran paling buruk terbayang. Ia ingin bertanya, namun melihat kondisi Puput yang syok, niat itu urung.
Puput meraba pantatnya dan kaget menemukan darah di sana. "Kaaak!" ratapnya. "Apa aku...?"
"Sssh! Nanti saja, setelah diperiksa lengkap."
"Kak Jata, aku ...." Puput tidak menyelesaikan kalimat karena perawat telah memindahkannya ke tempat tidur.
Jata mengangguk dan mengelus kepala istrinya dengan terenyuh. "Aku sayang kamu, Put. Apa pun yang terjadi, aku tetap bersama kamu. Jangan pernah ragukan itu, ya?"
Jata bersungguh-sungguh. Biar bagaimanapun, Puput adalah istrinya. Ia marah pada Asrul. Itu pasti. Ia juga kecewa karena kesempatan pertama itu diberikan kepada Asrul, alih-alih dirinya. Tapi, bukankah Puput adalah korban yang harus dirawat dan dijaga?
Jata mencium tangan istrinya yang dingin. Biarpun yang terburuk terjadi, Puput sampai mengandung anak Asrul misalnya, ia akan tetap mengakui anak itu sebagai anaknya. "Aku sayang kamu selamanya," bisiknya sekali lagi.
Puput mengangguk kembali dengan air mata membanjir di pipi.
Seorang dokter jaga datang menanyakan kronologi kejadian dan melakukan beberapa pemeriksaan. Ia kembali ke nurse station, lalu datang kembali bersama dokter lain yang lebih senior.
Sang dokter senior yang datang kemudian itu memeriksa lebih teliti. Bagian kewanitaan Puput diperiksa karena ada darah yang mengalir di sana. Jata mendampingi dengan berdebar. Ia semakin berdebar manakala sesudah memeriksa, dokter tersebut melapor kepada dokter spesialis. Mereka berbicara dengan serius.
"Sakit banget?" tanya dokter itu pada Puput setelah selesai berkonsultasi.
Puput mengangguk. "Iya, Dok."
"Apa setiap datang bulan juga nyeri?"
Puput mengangguk lagi. "Iya, Dok. Tapi lebih nyeri yang sekarang."
"Ada luka di kemaluannya, Dok?" tanya Jata.
"Oh, untungnya tidak ada," kata si dokter. "Bapak suaminya?"
"Iya, benar."
"Bapak tidak tahu kalau istrinya masih perawan?"
Entah itu kabar buruk atau kabar baik. Yang jelas Jata merah padam dibuatnya. "Maksud dokter?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...