41. Wina Lagi

344 32 9
                                    


JATA kembali lemas. Masalah pilihan pekerjaan ini sudah berkali-kali menjadi bahan perdebatan sengit antara dirinya dan sang ayah. Ia ingin mencoba merintis karir sendiri. Tapi ayahnya, selain bekerja sebagai direksi sebuah perusahaan sawit, juga memiliki beberapa usaha yang perlu dikelola. Dua adiknya sudah tidak bisa diharapkan karena semuanya mengikuti jejaknya, bekerja di tempat orang lain di luar kota.

"Jata, mungkin dari masalah ini, kamu bisa mengambil hikmah. Barangkali sudah waktunya kamu kembali ke keluarga besar kita."

"Pa, kita urus soal pekerjaan ini nanti saja setelah urusan makhluk gaib selesai," kilah Jata.

Terdengar desah kekesalan dari seberang. "Bagaimana dengan istrimu? Sudah berhasil ditembuskah? Sekarang sudah lewat empat bulan."

"Itu pula yang jadi masalah, Pa. Aku sekarang malah impoten."

"Impoten bagaimana maksudmu? Ini literally atau metaphorically?"

Dengan suara semakin lemah, Jata menjawab, "Sayangnya literally."

"Kalau begitu, kamu harus cepat-cepat pindah rumah."

"Apa yang ini karena makhluk halus?"

"Bisa jadi. Tapi sebaiknya kamu konsultasi dulu dengan dokter."

"Teman Papa kasih tahu nggak, dari mana asal usul makhluk ini?"

"Kata mereka, kerajaannya ada di sekitar Bendungan Riam Kanan. Makanya, udah Papa bilang, cepat-cepatlah pindah dari sana. Tidak cuma pindah rumah tapi juga pindah tempat kerja!"

"Jangan mulai lagi dong, Pa. Nggak semudah itu minta pindah. Aku masih junior."

Matias cuma mendengkus dengan keras.

"Lagian Puput tidak mau diajak pindah. Dia cinta berat dengan rumah ini."

"Oooh, jadi dia lebih cinta rumah daripada suaminya?'

Jatah mengatupkan rahang. Suara sang ayah terdengar sangat sinis. Kalau diteruskan ia benar-benar bisa berkelahi dengan ayahnya. Karena itu ia memilih diam dan mengalah.

"Papa jadi curiga. Jangan-jangan istrimu juga terlibat dalam masalah ini."

Data mengerutkan kening. "Maksud Papa?"

"Pertama, dia tidak mau disentuh olehmu. Kedua, dia lebih memilih rumah daripada kesehatanmu. Ketiga, kamu cerita sendiri bahwa dia tidak terpengaruh oleh makhluk-makhluk itu. Coba kamu pikir, apa itu tidak aneh? Kalau bukan terlibat dengan masalah ini, lantas apa?"

"Masa Puput berniat mencelakai aku?"

"Mungkin saja. Siapa yang tahu dasar hati orang sekalipun itu istri sendiri?"

Perkataan itu benar-benar tidak bisa diterima oleh Jata. "Jadi itu yang Papa alami bersama Mama?" balasnya ringan.

Papanya tentu saja naik pitam. "Kamu ini, kalau dikasih tahu malah membalikkan kata-kata. Tahu rasa nanti kalau sudah punya anak yang kelakuannya kayak kamu!"

Nah nah. Penyakit nyinyir ayahnya kambuh lagi. Kalau dipikir-pikir, ibunya lebih lembut dan pengertian dibandingkan sang ayah. Mulut ayahnya ini lebih tajam dari mulut Puput.

"Justru itu yang aku kepingin dari kemarin. Punya anak."

☆☆☆

"Jata, nanti mampir ke kantor, ya. Kartu BPJS Kesehatan milik istrimu sudah jadi." Begitulah suara Wina di telepon, saat siang menjelang menjelang sore. "Kapan kamu bisa datang ke sini? Atau kuantar ke tempatmu?"

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang