78. Puput di Rumah Deka

130 15 2
                                    

Puput dan Urai bangun pagi-pagi dan segera bersiap. Di ruang tengah, mereka berjumpa si tuan rumah yang tengah menyeruput kopi. Pemuda bermuka oriental nan manis dan berperawakan kerempeng itu baru saja bangun. Rambut cokelatnya terburai tak teratur.

"Bisa tidurkah?" sapa Deka. Pemuda memandang ke arah Puput. Dia mau tak mau menatap Urai.

"Bisa," jawab Puput berbohong. Bagaimana bisa tidur bila terpisah dari suami yang entah tengah mengerjakan apa di waduk sana.

"Mau sarapan apa?" lanjut Deka.

"Mmm, kamu punya bahan apa? Aku masakin, ya?" usul Puput.

"Eh, jangan. Kalian kan tamu di sini, masa ikutan masak? Tunggu sebentar lagi, nanti ada acil-acil[1] jualan makanan di depan ruko."

"Ah, nggak apa-apa. Kak Jata udah pesan buat masakin kamu. Boleh, kan?"

"Aku nggak ditanyain, Ko?" Urai nimbrung pembicaraan.

Deka menatap gadis mungil itu dengan mencibir. "Nggak!"

"Ish! Kok gitu? Ntar kualat, loh!" Ancaman Urai sama sekali tidak bermutu.

"Denger ya, Kuntet. Kualat itu cuma berlaku buat orang muda ke orang yang lebih tua, bukan sebaliknya!"

"Kuntet-kuntet begini, banyak yang suka loh, Kodeka," sahut Urai tak mau kalah.

Deka melengos dan tak menanggapi perkataan gadis mungil itu.

"Kalau kamu emang suka masak, ya silakan, aku nggak keberatan. Ada mi kering di lemari dapur dan telur di kulkas."

Puput menoleh ke Urai. "Nanti kita ke pasar, yuk! Mau masak apa buat siang?"

Gadis yang diajak bicara terlihat antusias. "Mau cobain masakan Dayak, Kak? Kita bisa bikin sambal tempuyak[2] dan rica-rica ayam, atau ikan panggang pakai sambal potok[3]."

Puput mengacungkan jempol. Kedua gadis itu lalu bergerak ke dapur.

☆☆☆

Ruko milik Deka itu cukup besar. Bagian bawah digunakan untuk berjualan beras. Ada tempat memajang dagangan dan gudang beras yang isinya berkarung-karung. Gudang itu memanjang hingga membutuhkan bangunan tambahan di lahan belakang. Deka memiliki empat orang karyawan untuk menjalankan usahanya.

Lantai kedua ruko itu ditata mirip rumah tinggal biasa. Ada ruang tamu yang menyambung dengan ruang keluarga, dua buah kamar yang kosong, serta kamar utama yang paling besar. Bila naik melalui tangga dari lantai satu, akan langsung bertemu dengan dapur kecil yang ditata bagus dengan lemari-lemari, kulkas, tempat cuci, serta kompor gas tanam.

Puput dan Urai bekerja dengan cekatan. Tiga piring mi goreng terhidang di meja pendek di depan televisi. Deka tidak memiliki meja makan.

"Kamu tinggal sendirian di sini?" tanya Puput.

Deka mengangguk seraya menyantap mi goreng. "Kadang sepupu dan keponakanku datang."

"Orang tuamu di mana?"

"Sudah meninggal. Aku anak bungsu. Kakak-kakakku merantau semua, tinggal aku aja di Banjarmasin."

"Oh, aku tebak kakakmu berjumlah sembilan, karena namamu Deka," celetuk Urai.

Deka tertawa. Sejenak, diamatinya gadis mungil itu. Urai ternyata cekatan di dapur dan hasil masakannya cukup enak. Deka harus mengakui bahwa wajahnya cantik.

Pandangannya beralih ke Puput. Gadis itu lembut dan ayu, namun Deka dapat merasakan sebuah jiwa yang teguh. Sungguh sayang bila mereka harus.... Ah, Deka mendadak nyeri memikirkan nasib pasangan pengantin baru itu. Mereka sangat muda, pandai dan berkarakter kuat. Bila memiliki kesempatan lebih panjang, keduanya mudah mencapai kesuksesan di dunia ini.

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang