Sebelum tak sadarkan diri, Jata merasakan nyeri yang tak terperikan menyertai pergerakan para naga di dalam tubuhnya. Ia berteriak tanpa suara dan meronta tanpa sadar. Ia bahkan tidak yakin masih punya kepala, tangan, dan kaki. Tubuhnya bagai melebur dan larut ke dalam air yang dingin. Lalu ... semuanya gelap.
Ketika ia mendapatkan kesadaran kembali, tubuhnya sudah berbaring di tepi waduk, diselimuti sarung. Di sampingnya, Dehen membakar ikan dengan kayu-kayu hutan.
"Makan, yuk!" katanya sambil memberikan seekor ikan panggang.
Jata berusaha bangun. Sungguh aneh, badannya terasa ringan bagaikan kapas. Tak ada lagi rasa nyeri atau lemah lunglai. Sebaliknya, tubuhnya segar penuh tenaga. Jata memasang sarung untuk menutupi tubuh telanjangnya.
"Bagaimana, sudah jauh lebih enak dari kemarin?" tanya Dehen.
Jata duduk dan menggigit ikan panggang tersebut. "Iya, Pak, enak sekali badan saya sekarang."
"Makanlah. Sesudah itu kita harus latihan banyak."
Jata mengangguk. "Berapa jurus yang harus saya pelajari?"
Dehen tertawa terbahak-bahak sampai mukanya menjadi merah. "Tidak satu pun!" serunya.
"Tidak satu pun jurus harus dipelajari?" Jata mengulang perkataan Dehen sembari mengerutkan kening.
"Kamu belum juga mengerti, ya? Jurus hanya diperlukan oleh para pesilat turnamen."
Jata menatap lelaki yang tengah lahap menyantap ikan itu dengan tatapan tak mengerti. "Bagaimana cara belajar kita nanti?"
"Meditasi, bertapa, olah batin."
"Lho, katanya saya harus bertempur. Mengapa tidak menggunakan jurus? Apa tidak ada perkelahian di sana?"
Kini Dehen hanya menatap dengan iba pada anak didiknya. "Kita tidak membutuhkan jurus. Karena kita bisa melakukan apa saja hanya dengan meniatkan."
"Apa maksudnya dengan meniatkan?"
"Begini, Jat. Apa beda telegraf yang pakai sandi Morse itu dengan ponselmu?"
Jata terbahak sampai nyaris tersedak. "Beda bangetlah! Telegraf kan susah dan ribet. Teknologinya sederhana. Ponsel saya teknologinya udah canggih banget jadinya kemampuannya banyak dan gampang dipakai."
"Nah, sudah paham sekarang? Kemampuan jata ini canggih banget, jadinya penggunaannya semakin mudah. Cukup dengan meniatkan, tidak perlu dengan segala macam jurus yang ribet itu." Dehen terbahak juga. "Jurus – jurus itu bagus buat ditulis di novel silat atau dibuat film."
"Jadi nanti saya perang sambil duduk semadi?" tanya Jata lagi.
"Nanti kamu akan tahu sendiri. Sekarang makan dulu dan jangan banyak bertanya. Ada hal-hal yang lebih mudah dimengerti bila dipraktikkan daripada diceritakan."
Tak ada yang bisa dilakukan Jata selain menuruti kata-kata lelaki itu. Setelah makan, mereka berendam kembali di kolam tersebut. Dehen memintanya untuk berkonsentrasi pada pusaran energi di ketujuh tempat di badannya.
"Ada pusaran energi di situ, kan? Kamu bisa merasakannya?" tanya Dehen.
"Di tempat yang dibor para naga tadi? Iya, saya merasakannya."
"Itu namanya cakra. Pusat energi utama dalam tubuh kita. Selama beberapa hari ke depan kita akan melatihnya supaya kamu bisa menggunakan kekuatan cakra-cakra."
Sesudah itu Dehen memberikan beberapa instruksi untuk dilakukan Jata sepanjang hari itu.
Matahari telah bergeser ke barat, meninggalkan langit yang semburat kemerahan. Dehen mengakhiri latihan hari itu. Dehen mengambil pakaian dari ransel dan menyuruh Jata mengenakan. "Sekarang, kamu bisa pulang sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...