WINA sebenarnya hanya ingin bergurau. Apes, Jata rupanya tengah sensitif. Lelaki itu langsung mendesis dengan kening berkerut dan bangkit hendak pergi. Wina segera membuat isyarat dengan tangan untuk membuat Jata duduk kembali.
"Aku cuma bercanda, Jata. Astaga! Semenjak menikah kamu udah kayak anjing beranak aja, galak banget. Jangan berpikir yang aneh aneh! Kamu nggak berbuat aneh kok di dalam mimpiku. Cuma lewat di depan rumah, tapi nggak menoleh waktu dipanggil."
Jatah diam saja. Cerita itu terlalu klise. Bisa saja Wina hanya mengarang.
"Nah, itu ceritaku. Sekarang apa ceritamu?"
Jata menarik napas panjang sebelum berbicara. "Aku beneran lihat kamu di Matang Kaladan. Kamu datang naik ojek bareng seseorang. Dia laki-laki dan ganteng banget. Waktu aku samperin, mukamu berubah menjadi hitam dan mengerikan. Lalu mulutmu terbuka lebar mau mencaplok kepalaku."
Wina membelalak sebentar, lalu merengut. "Nggak adil banget! Kenapa penampakanku menjadi monster?"
Jata mendengkus untuk menanggapi. "Mana aku tahu penampakanmu bakal seperti monster atau monyet?"
Wina mengerjap dan mengerling genit. "Kayak apa cogan yang bareng aku? Beneran ganteng?"
"Nggak usah dibahas. Dia juga jadi-jadian."
"Dia nggak berubah jadi monster?"
Jata menggeleng.
"Ganteng mana dibanding kamu?"
Jata mendelik.
"Jata, jangan pelit informasi. Kukutuk kamu ketemu monster itu lagi!"
"Dia mirip Lee Min Ho," jawab Jata asal sebut saja.
Wina langsung memekik sambil memegang kedua pipi. "Senangnya bareng oppa ganteng, biar cuma dalam halusinasimu aja! Nih, permen buat hadiah." Wina membuka stoples permen yang tersedia di meja. Dengan halus, Jata menolak.
"Jata, yuk kita datangi orang pintar."
"Di mana? Aku nggak mau sembarangan. Salah-salah malah menimbulkan masalah yang lebih besar."
"Ada. Aku punya kenalan yang pinter banget. Sewaktu mau ngedapatin Dedi, aku minta bantuan dia."
Kening kata langsung berkerut maksimal. "Kamu ngedapatin Dedi dengan memakai bantuan dukun? Wah, kebangetan kamu, Win!"
Mata Wina bergerak-gerak seperti orang yang kepergok mencuri. "Kalau nggak begitu, mana bisa aku dapat suami high quality?"
"Aku lebih baik datang ke psikiater daripada ketemu dukunmu itu!" sergah Jata.
Wina tersenyum. "Aku cuma memberi saran, Jata."
Jata menyimpan kartu BPJS Puput ke dalam saku. Niat hati ingin segera pergi. Puput pasti telah menunggu di rumah. Namun, kisah dukun tadi sungguh menggelitik rasa ingin tahu. "Kalau dukunmu benar-benar hebat, kenapa tidak kaupakai untuk membatalkan perceraian?"
Wina tersenyum sabar. Jata belum pernah melihat Wina tersenyum seperti itu. Ia terbiasa melihat senyum centil perempuan itu. Senyum yang diberikan Wina saat ini adalah senyum wanita matang yang telah banyak memakan asam garam kehidupan.
"Masalah pernikahanku dengan Dedi nggak bisa diselesaikan dengan dukun." Wina bertutur dengan nada yang dalam. "Nggak ada dukun yang bisa membuatku memiliki anak."
Mau tak mau hati Jata tersentil. Jadi bukan masalah perselingkuhan yang membuat mereka berselisih. Ternyata masalah anak.
"Kalian sudah ke dokter?" tanya lelaki itu dengan hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...