19. Penyusup

961 54 1
                                    

Jata terdiam karena menyadari posisinya terjepit. Tangan yang berlumuran air mani itu membuktikan ia memang mencapai puncak. Bagaimana ia sampai tidak menyadarinya? Kini mata Puput menyorotkan rasa jijik yang meremukkan hati.

"Kak, aku janji akan menjadi istri yang baik. Tapi kamu jangan menistakan diri dengan tindakan begitu. Itu dosa, Kak!" ujar Puput dengan lirih.

Jata mendengkus keras. Ia memang beragama, namun ia juga mengakui bahwa dirinya tidak sedemikian religius hingga menolak masturbasi.

"Kamu sering begituan, Kak?" tanya Puput lagi, membuat hati Jata semakin nyeri.

"Sering apa?"

"Ya, seperti tadi, main-main sendiri?"

"Gini ya, Put. Kamu pikir setiap kali kamu tolak itu dikemanain barangku?" Jata mengangkat alis dengan gusar. Pertama, dirinya dikatai orang berdosa. Memang benar ia bukan orang kudus, akan tetapi dituduh begitu oleh istri sendiri terasa dua kali lebih pahit. Kedua, penyebab dirinya berdosa malah sok tidak mau tahu.

"Jadi kalau di kamar mandi itu Kakak ...?" Mata Puput melebar.

"Itu gara-gara kamu!" gumam Jata, cukup jelas untuk didengar Puput.

"Jangan begitu lagi, itu dosa!" geram Puput.

"Lantas saranmu gimana, Put?" Nada suara Jata kini menantang.

Puput melengos dengan kesal. Ia diam saja.

"Jawab, Put! Kalau kamu bilang masturbasi itu berdosa, lalu aku harus gimana? Kalau sudah setengah main lantas kamu tolak, aku bisa apa?"

Puput menoleh sejenak. "Terserah kamu! Itu kan tubuhmu, Kak. Kamu harus mengaturnya. Tuh para biksu dan pastor saja bisa."

"Aku suamimu, bukan biksu atau pastor!"

"Pokoknya aku udah ingatin kamu, kalau itu dosa ya, Kakak!"

Jata kehilangan kesabaran. Ditatapnya Puput dengan tajam sampai gadis itu merasa ngeri.

"Sekarang jawab! Mana yang lebih berdosa, aku buang calon anak-anak kita pakai tangan sendiri atau aku buang di rahim perempuan lain? Pilih!"

Nada suara tinggi itu membuat Puput merinding. Ia beranjak dari sisi Jata, menuju kasur. Sejenak, ia menatap sang suami yang wajahnya mulai memerah karena marah.

"Kamu ngomong begitu tadi maksudnya apa? Kamu mengancam mau selingkuh? Silakan, Kak, kalau itu membuatmu puas!" Sesudah berkata begitu, Puput membenamkan tubuh mungilnya ke dalam selimut dan meringkuk menghadap dinding.

Jata tak kalah kesal. Sudah dituduh berdosa, dituduh berniat selingkuh pula. Dengan dengkusan kasar, ia menyusul istrinya ke kasur. Biar pun sangat kesal, tak terpikir untuk tidur di kasur lain. Sebelum merebahkan diri, ia sengaja berkata keras-keras di telinga istrinya.

"Kamu sendiri yang ngomong soal selingkuh, ya! Ingat itu!" Sesudah itu ia turut membenamkan diri ke dalam selimut, membelakangi istrinya.

☆☆☆

Amarah telah membuat Jata tidak bisa tidur. Deru hujan dan angin membuat malam itu terasa aneh. Udara memang sedang dingin dan semakin dingin karena hujan deras. Rumah kayu memang begitu, bukan isolator yang baik seperti rumah bata. Bila panas, panasnya menyengat sampai ke dalam. Bila dingin, maka dinginnya akan merambat dan memenuhi kamar. Akhirnya ia kelelahan dan tertidur.

Rasanya belum puas terlelap, Jata kembali terbangun. Kali ini karena getaran lantai kayu yang terinjak kaki. Mereka tidur tanpa ranjang, sehingga setiap getaran pada lantai kayu di dalam rumah, akan terasa sampai ke kasur. Mengira itu langkah kaki Puput yang bangun untuk ke kamar mandi, Jata menarik selimut kembali. Ternyata selimutnya tertahan. Puput masih berbaring di sebelahnya.

Alarm tanda bahaya Jata segera berdering. Dengan hati-hati diraihnya mandau[1] yang tersimpan di bawah kasur. Orang tuanya selalu mengingatkan untuk menyimpan mandau sebagai tindakan berjaga-jaga. Dengan perlahan, ia mengendap di balik pintu.

Puput terjaga karena gerakan Jata. Belum sempat bertanya, Jata telah memberi isyarat untuk bungkam..

"Ssshh! Ada orang di ruang tengah," bisik suaminya. Sontak gadis itu terduduk dengan ketakutan. Telinganya berusaha menangkap bunyi yang dimaksud. Namun, hanya suara hujan saja yang berhasil didengar.

Dengan memegang mandau dan hati berdebar, Jata membuka pintu dengan sangat perlahan. Matanya memindai ruang tengah yang gelap karena lampunya dimatikan. Sekilas, ia melihat kelebatan sosok hitam dari ruang tengah menuju ruang tamu. Jata berusaha melihat dengan lebih jelas dalam kegelapan. Suara langkah kaki itu terdengar kembali, kali ini di plafon rumah. Dengan kewaspadaan penuh, Jata keluar kamar.

Ruang tengah itu kosong, tak tampak kehadiran seseorang di sana. Jata memeriksa kamar-kamar lain berikut kunci jendela dan pintu. Aman, semua terkunci dengan baik. Begitu pula semua kunci pintu dan jendela ruang tengah dan ruang tamu.

Suara langkah kaki kembali terdengar dari arah dapur. Jata mendengarkan dengan saksama. Itu memang langkah kaki, tak salah lagi. Dengan perlahan, dibukanya pintu dapur, berniat memergoki si penyusup. Ia mengendap sejenak untuk memastikan saat yang tepat. Ketika suara itu terdengar kembali, dengan gerakan cepat, dibukanya pintu dan diacungkannya mandau. "Siapa di si...."

Suaranya terhenti. Tak ada siapapun di dapur itu. Jata memeriksa semua ventilasi dan kunci-kunci. Tak ada tanda-tanda terbuka dengan paksa. Semua terkunci dengan baik. Akhirnya ia kembali ke ruang tengah dan mengambil senter.

Puput berdiri di ambang pintu kamar dan melihat suaminya dengan ketakutan. "Kak, ada siapa?" bisiknya.

"Jangan keluar, Put! Masuk kamar dan kunci pintu!" perintah Jata yang segera dipatuhi istrinya.

Dengan langkah cepat, Jata keluar rumah dan memeriksa halaman. Beberapa kali ia mengelilingi rumah. Kolong rumah diperiksa, sudut-sudut gelap di balik pagar disinari. Ia juga memeriksa atap dengan senter. Tak ada apa pun di luar kecuali kekelaman malam yang sedikit dihalau dengan lampu pagar dan teras,

Akhirnya, ia masuk ke rumah dengan baju basah kuyub. Puput telah keluar kamar dan menyalakan semua lampu. Tahu suaminya basah kuyub, diberinya handuk dan baju ganti. Ditunggunya hingga lelaki jangkung itu keluar dari kamar mandi.

"Tadi dengar apa sih?" tanyanya seraya memberikan kopi susu panas pada Jata. Biarpun tadi kesal sekali pada lelaki itu, ia tak tega membiarkannya kedinginan di tengah malam.

Jata menyeruput kopi susu sambil duduk di sofa ruang tengah. Matanya meneliti isi ruang. Laptop, ponsel, dan benda-benda lain masih utuh di tempatnya. Tidak ada barang yang hilang. "Aku tadi dengar ada orang jalan di ruang tengah dan dapur."

"Hah? Kok aku nggak dengar ya?" sahut Puput.

"Suara orang jalan di plafon tadi kamu juga nggak dengar? Waktu itu kamu sudah bangun loh."

Puput menggeleng.

"Suara sekeras itu kamu nggak dengar?" Jata keheranan.

Puput kembali menggeleng. "Cuma suara hujan aja. Apa ada yang dicongkel atau gimana, Kak?"

"Nggak ada. Nggak nemu apa-apa." Jata kembali tercenung.Ia mulai was-was dengan keamanan rumah itu.

"Kak," panggil istrinya, "sayur, ikan, dan nasi di rice cooker yang baru busuk lagi."

_____________

[1] Mandau adalah senjata tradisional suku Dayak yang bentuknya mirip golok

☆---Bersambung---☆

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang