Wina termangu di rumahnya yang sepi di sebuah daerah perumahan di Banjarbaru. Ia hanya tinggal sendiri di rumah dua lantai itu. Dulu, ia memiliki pembantu yang menginap. Setelah tahun lalu, si bibi pulang kampung dan tidak kembali lagi. Setelah itu ia malas mencari pembantu. Lagi pula, ia cuma sendiri. Baju, bisa dilaundri. Mau makan, banyak warung dan bisa pesan lewat ojol[1].Ia mengajukan surat pengunduran diri kepada atasannya tadi pagi. Dalam pemahamannya, semakin ia jauh dari Jata, akan semakin baik. Siapa tahu, lari ke pulau lain bisa menghentikan kutukan neraka ini. Selain itu, ia juga ngeri dengan Dedi yang ternyata bisa menembak orang bila sudah kalap.
"Buat apa kamu berhenti? Apa nggak sayang, Win? Masuk ke sini tuh nggak gampang," protes Pak Manajer.
"Saya sudah nggak nyaman kerja di sini, Pak. Boleh nggak boleh, saya tetap minta berhenti." Sudah bulat niat Wina.
Pak Manajer hanya bisa mengembuskan napas panjang. Ia akan kehilangan pemandangan indah yang menyambut setiap keluar dan masuk kantor.
"Gini aja, deh. Jangan minta berhenti, minta mutasi aja. Saya dengar kantor Palangka Raya sedang membutuhkan tenaga admin. Kamu mau ke sana?"
Wina mengangguk. Di sana, ada keluarga besarnya. Semoga saja kondisinya menjadi lebih baik. "Saya perbaiki dulu suratnya, Pak. Dan kalau boleh, saya minta cuti satu minggu untuk menenangkan diri."
Pak Manajer mengabulkan permintaan cuti itu. Wina bisa bernapas dengan lega dan beristirahat di rumah. Ia benar- benar tak punya nyali untuk datang ke kantor. Bagaimana bila kabar kejadian memalukan sore itu telah menyebar? Oh, ia belum sanggup menghadapi tatapan menghakimi orang-orang. Jangankan menghadapi orang-orang, menghadapi dirinya sendiri pun ia tak sanggup. Setiap bercermin, ia hanya melihat perempuan kesepian yang haus nafsu.
"Pindah aja ke rumah Papa sementara," ujar Dirman saat tahu menantunya seganas itu. "Papa baru tanya ke saudara di Kalteng, sebaiknya bagaimana untuk menyembunyikan kamu sementara. Mereka baru mencari tempat untuk menampung kamu."
"Iya, Pa. Aku udah kemasi baju dan barang - barang penting."
"Bagus. Nggak usah dipikir soal kerjaan. Kamu cantik dan pintar, pasti bisa dapat kerjaan lain."
"Iya, Pa," jawab Wina lemah. "Nanti malam aku ke rumah Papa." Ia sebenarnya berat meninggalkan Banjarmasin. Bukan hanya merasa sayang melepaskan pekerjaan, terlebih lagi karena ada seseorang yang membutuhkan dirinya saat ini.
Hanya Billy yang mengerti dirinya. Namun lelaki itu tengah lumpuh tak berdaya setelah kecelakaan di Aranio. Saat ia jenguk di rumah sakit kemarin, lelaki itu sudah bisa berbicara walau tidak jelas dan pelan. Tangannya bisa bergerak walaupun lemah. Namun kaki dan bagian tubuh lain sama sekali lumpuh.
Kondisi rumah tangga Billy juga memprihatinkan. Hanya pembantu yang menunggui. Istri dan ketiga anaknya entah pergi ke mana.
"Istriku minta cerai," bisik Billy. Tangannya menggapai ingin duduk. Wina membantunya duduk. Sambil melakukan itu, ia menangis. Billy masih setampan dulu. Tapi melihatnya tak berdaya seperti itu, hatinya seperti diiris.
"Hati-hati. Mereka mengincar kamu. Menjauhlah dari Jata segera," bisik Billy.
Wina menangis. Ia menceritakan kejadian sore itu. Billy hanya bisa menggelengkan kepala.
"Ilmuku sudah hilang semua diambil makhluk itu, Win. Aku nggak bisa membantu kamu lagi. Tapi aku yakin yang terjadi sama kamu itu akibat ulah makhluk itu."
"Aku harus gimana, Bil?" ratap Wina.
"Pergilah jauh, sejauh yang kamu bisa. Jangan mikirin Jata lagi. Orang itu cuma mendatangkan malapetaka buat kamu. Sadar, nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
МистикаJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...