WARNING!
Materi dalam bab ini masih menjadi polemik di luar sana. Harap bijak dalam menanggapi. Fura hanya menyajikan kondisi yang terjadi. Silakan Sobat Pembaca menentukan pendirian sesuai dengan pertimbangan masing-masing
****
Dengan merengut Puput meraih tangan kekar itu, lalu diletakkan di tubuhnya, sesuai gambar. "Ini yang satu," ujarnya sambil mengarahkan tangan ke belakang telinga.
Jata membiarkan Puput menyentuhkan tangan ke belakang telinga. Ia menurut saja tanpa melakukan apa-apa. Ya, darahnya sedang tidak berada di tangan, bukan? Lalu tangannya dibawa turun ke dada. Napas Jata yang tadi sempat mereda karena melihat buku, kini kembali memburu.
"Nah, ada lagi di sini." Puput membawa tangan Jata turun ke area kewanitaan.
Jata dibuat gila karenanya. Napasnya sudah satu-satu sekarang. "Put ... aku ... aku ... nggak tahan lagi!"
Puput menoleh. "Kakak kenapa?"
Jata merebahkan kepala di dada istrinya. "Aku nggak tahan lagi!" desahnya. "Tolong aku, Put!"
"Hah?" Puput kebingungan.
"Tolong aku!" Jata menarik tangan dari genggaman Puput. Ia kini balik menggenggam tangan Puput kuat-kuat lalu ditarik ke arah sang adik yang telah bersiaga. Puput memekik dan berusaha menarik tangannya. Akan tetapi, Jata bergerak lebih cepat. Sebelah lengannya merengkuh tubuh mungil itu merapat sehingga Puput tak punya pilihan lain selain membiarkan tangannya dimainkan.
Jata mengerang, melenguh, dan mengejang beberapa saat. Sesudah itu semuanya selesai. Seluruh ototnya melemas. Begitu pula pegangannya, terlepas. Ia ambruk di dada Puput dengan embusan napas panjang.
Puput segera menarik tangan dan membebaskan diri dari suaminya. Saat itulah ia menyadari tangannya telah berlumuran cairan kental berbau mirip bunga akasia.
"Iiiiiihhh!" pekiknya tanpa ampun. Matanya menyorot horor!
☆☆☆
Puput mengambek. Pagi buta gadis itu sudah meninggalkan kasur dan menyibukkan diri di dapur. Jata mulai memahami, mengapa Puput menyukai dapur. Agaknya memasak adalah cara istrinya menetralkan suasana hati yang kacau.
"Aku masih jijik, Kak!" protes si pemilik mulut mungil kemerahan saat menemani suaminya sarapan. "Tega-teganya kamu pakai tanganku untuk...." Puput tak sanggup melanjutkan.
Jata diam saja, terus mengunyah nasi goreng dan telur dadar tanpa menoleh. Diam-diam ia puas dengan hasil semalam. Paling tidak ada andil Puput saat eksekusi, tidak seorang diri seperti biasa. Cukuplah kali ini dengan tangan Puput. Besok-besok akan dicoba lebih dalam lagi.
"Kak! Kenapa diam aja? Aku bilang aku jijik!" Si mulut mungil yang pedas mulai nyinyir.
Jata melirik sekilas. Senyum samar tersungging di bibir saat matanya tertumbuk pada jemari halus sang istri. Setelah tiga bulan pernikahan, akhirnya sebuah kemajuan tercapai. Ia masih mengingat catatan dalam notes ponsel yang dibuat tadi pagi.
Percobaan ke-35. 50%. Eksekusi dengan tangan..
Ia sengaja menambahkan emoticon. Hatinya girang. Sebuah celah telah terbuka untuk menikmati hubungan bersama, walau dengan cara yang berbeda. Dengan tangan pun tak apalah. Seperti itu saja sudah sangat bagus sebagai sebuah awal. Bukankah segala sesuatu membutuhkan proses?
"Kakak! Aku jijik!" Suara Puput telah meninggi.
Mau tak mau Jata menatap padanya. "Aku dengar, Sayang, nggak perlu teriak."
"Aku nggak mau begitu lagi. Apa-apaan, sih?"
"Kenapa jijik? Itu calon anak-anak kita, lho," balas Jata kalem.
"Aku nggak mau tanganku dipakai lagi!" Puput merengut maksimal.
"Terus, aku harus pakai apa?" Jata santai saja menanggapi. Di dalam otak, sudah terbayang bagaimana akan melakukan percobaan-percobaan berikutnya.
"Pakai tanganmu sendiri!"
"Nanti dibilang dosa," sahut Jata sambil mengangkat-angkat alis. "Kalau sama kamu kan nggak dosa."
"Tapi ... tapi ...." Puput tiba - tiba kehilangan kosa kata.
"Tapi apa?" sambar Jata. "Nah, nggak ketemu alasan, kan? Nanti malam lagi, ya?"
Puput menatap nanar. "Pemaksaan hubungan seksual itu perkosaan, Kak Jata!"
"Hey? Mana ada suami memperkosa istri sendiri?"
"Kamu nggak baca hukumnya? Biarpun dilakukan suami ke istri, kalau dengan pemaksaan, itu namanya perkosaan."
Jata kini menatap istrinya lurus-lurus. "Selama ini kamu merasa terpaksa?"
Puput menelan ludah.
"Jadi di matamu aku ini pemerkosa, begitu?" Nada tajam Jata disertai perasaan terluka.
"Ya bukan begitu. Aku tadi cuma ngomongin hukum." Puput menghindar dari tatapan Jata.
"Jangan cuma protes! Apa saranmu, Put?" geram Jata. "Dieksekusi sendiri dibilang dosa. Dieksekusi dengan tanganmu dibilang jijik dan memperkosa. Aku harus gimana lagi?"
"Emang harus keluar, gitu? Nggak bisa ditahan sama sekali?"
Jata meletakkan sendok dengan keras. Rusak sudah selera makannya. "Ambil buku reproduksi!" instruksinya dengan keras.
Dengan nyali mengerut, Puput pergi ke kamar untuk mengambil buku. Sambil menggigit bibir, diberikannya buku itu ke Jata.
"Nggak! Kamu cari sendiri! Bagian ereksi dan ejakulasi!" Jata melanjutkan makan tanpa menoleh. Dengan sudut mata, ia mengawasi sang istri membuka-buka halaman, lalu berhenti di suatu tempat. "Ketemu? Nah, cari! Nggak bisa berhenti, kan, kalau udah di ujung mau nyembur?"
Puput membaca dengan muka serius. "Nggak disebutkan tuh," katanya sejurus kemudian. "Tapi begini, ya, Kak. Semua itu kan proses. Nggak ujug-ujug[1] langsung mau nyembur. Secara logika kan bisa diputus di suatu tahap, supaya nggak berlanjut ke tahap selanjutnya. Makanya para biksu dan pastor bisa berpuasa, kan?"
Jata menatap kesal. Tentu saja ia tahu bagaimana menahan hasrat. Bukankah selama ini ia telah melakukannya, saat belum menikah? Namun, statusnya sekarang adalah lelaki beristri. Mereka sama-sama sehat. Tidak ada halangan untuk berhubungan seksual. Mengapa ia harus berpuasa? Bukankah sebaliknya, harus melakukan untuk dinikmati bersama?
"Kamu mau aku menahan diri, Put?" tanyanya dengan suara keras.
Puput tidak menjawab, hanya berkedip dengan tatapan polos.
"Boleh, nggak masalah," lanjut Jata. "Kalau kamu mau repot mengurus suami yang dirawat di rumah sakit jiwa!"
_______________________[1] Ujug-ujug = tiba-tiba dalam bahasa Jawa
☆-Bersambung-☆
Mau double up malam nanti? Beri emot api-api dulu donk ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...