Jata masih termenung sembari duduk-duduk di kasur sambil menunggu giliran menggunakan kamar mandi. Sesekali ia memotret pemandangan Pantai Legian dari jendela kamar. Kegiatan apa pun akan dicobanya sekadar untuk mengalihkan perhatian dari percobaan-percobaan making love mereka yang gagal total. Untunglah ia bukan lelaki penggila seks sehingga masih bisa mengontrol diri dengan baik.
Setelah percobaan ketiga tempo hari, mereka mencoba lagi beberapa kali. Ia sudah memulai dengan baik-baik dan selembut mungkin dengan mengelus tubuh mungil itu. Tubuhnya bahkan belum memanas yang berarti mereka belum apa-apa. Saat tangannya bergerak membuka kancing blus Puput, wajah istrinya itu mengerut ketakutan. Tentu saja sang adik enggan bangkit. Akhirnya ia hanya terbaring di samping istrinya tanpa melakukan apa pun.
Jata meraih ponsel dan mencatat kejadian itu dalam notes.
Percobaan ke-4 gagal karena kecapekan.
Kecapekan? Geli rasanya menuliskan itu tapi memang ada benarnya juga, sebab ia merasa tenaganya habis dan daya juangnya lenyap setelah perjalanan panjang Semarang-Denpasar.
Jata kembali menulis.
Percobaan ke-5 gagal karena kurang romantis.
Sepulang dari Bedugul, berfoto ria di Tanah Lot, dan makan malam, ia langsung menyergap Puput di kamar. Tak sabar menunggu mandi, begitu pintu kamar tertutup, tangannya langsung membenamkan Puput ke dalam pelukan.
Puput segera menghindar. Aroma masam tubuh Jata membuatnya mual. Langsung saja mulutnya melancarkan protes. Jata baulah, Jata joroklah. Ketika suaminya tidak merespon, ia semakin gusar. Dituduhnya Jata tidak romantis, mesum, dan main sergap saja.
"Yaelah, Put. Masa memeluk istri sendiri dibilang mesum?" gerutu Jata waktu itu.
"Kakak nyosor aja, sih. Aku risih! Itu mesum namanya."
Jata benar-benar terusik dengan kata mesum itu. Baginya, kata itu sama saja dengan penghinaan terhadap kesetiaannya sebagai lelaki selama ini.
"Kalau aku nyosor ke patung Ganesha di depan itu, baru namanya mesum, Put!" geram Jata.
Jata kembali mengembuskan napas kesal mengingat kejadian itu.
Percobaan ke-6 gagal karena lobster.
Setelah puas menikmati Pantai Dreamland dengan berenang dan berselancar, mereka menutup kegiatan hari itu dengan makan malam di pinggir pantai dalam nuansa sunset nan romantis. Sore itu sangat menyenangkan. Pantai yang diapit tebing tinggi itu semakin indah di kala matahari tenggelam. Mereka duduk berdua saling mencuri pandang dengan mata berbinar. Sungguh berbeda berpacaran dengan menikah. Dulu, waktu-waktu indah seperti ini akan terputus bila malam tiba. Sekarang, mereka terus bersama sepanjang waktu. Pikiran Jata langsung melayang ke agenda nanti malam, percobaan keenam. Suasana romantis ini semoga mengantarkan mereka ke keberhasilan.
Jata sengaja memesan lobster kesukaannya dan kerang kegemaran istrinya. Nafsu makannya tergugah saat lobster kemerahan beraroma sedap terhidang di meja.
"Kakak nggak alergi lobster?" tanya Puput.
"Enggak." Tangan Jata yang tengah membuka kulit binatang karang itu tiba-tiba terhenti. Matanya menatap dengan gamang. "Aku memang pernah biduran, sih, tapi bukan karena lobster."
"Siapa tahu Kakak nggak tahan lobster di sini. Kan jenisnya beda-beda."
"Bisa begitukah?" tanya Jata dengan logat khas Kalimantannya.
Puput mengangguk kecil.
"Kayaknya aku minum obat antialergi dulu, deh. Kamu bawain obat itu nggak?"
"Ada." Jari Puput merogoh tas untuk mengeluarkan sekeping obat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalneJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...