BEGITU di dalam rumah, Jata segera mengecek kamar. Benar saja, tidak ada siapa pun di sana. Berarti ia mengalami gangguan itu lagi. Entah mengapa, Jata berjalan ke jendela untuk melihat suasana di luar rumah. Matanya segera terpaku pada sosok perempuan bertanduk yang melayang di luar pagar depan. Makhluk itu menyeringai sejenak sebelum menghilang.
Astaga, pikir Jata. Siang-siang begini pun makhluk-makhluk itu mengganggu. Bukankah hantu biasanya keluar saat hari gelap? Benar-benar makhluk dengan perangai berbeda.
Jata keluar kamar lalu mengempaskan diri di kursi makan dengan pandangan nanar. Hatinya segera memikirkan bagaimana menyelamatkan keluarga kecilnya dari gangguan makhluk itu.
Puput makan dengan wajah ditekuk. Ia benar-benar kesal dengan Jata. "Dia sering begitu, Kak? Sengaja dekat-dekat ke kamu?"
Jata yang masih merasa kacau karena penampakan tadi hanya menggeleng lemah.
Puput mendengkus tak percaya. "Segala sesuatu itu dimulai dengan hal-hal kecil, lalu lama-kelamaan menjadi besar. Nggak mungkin dia langsung berani memeluk kalau sebelumnya nggak kamu kasih angin untuk hal-hal kecil."
Pandangan mata Jata kini terfokus pada sang istri. Ia tidak melawan. Memang benar Wina memegang tangannya tempo hari. Itu saja sudah sebuah perubahan drastis. Sebelum Jata menikah, tingkah laku Wina tidak separah itu. Paling banter hanya berbicara menyerempet-nyerempet, tetapi tidak pernah melakukan sentuhan. Ditambah kejadian di kantor, di mana Wina menyergapnya begitu saja, mau tak mau Jata merasa sedang menjadi sasaran permainan makhluk gaib yang menyeringai di pinggir pagar tadi.
"Put, aku tidak pernah mengkhianati kamu. Kalau mau dengan Wina, sudah sejak dulu, jauh sebelum kenal kamu. Aku nggak mau sama dia. Itulah kenapa aku langsung datang begitu orang tua kita menawarkan perjodohan."
Puput tidak menjawab. Ia menyelesaikan makan dengan cepat lalu membawa piring dan gelasnya ke dapur. Ia tidak menyiapkan makan untuk suaminya seperti biasa. "Kakak makan aja bekal yang aku antar tadi!" serunya dari dapur.
Kesal sekali hati Puput. Entah mengapa, tadi ia berniat mengirim makan siang untuk Jata. Suaminya terlihat kurang nafsu makan sejak muntah-muntah karena torpedo kambing. Ia menjadi khawatir lelaki itu tidak mau pulang untuk makan siang. Karena itu ia cepat-cepat memasak dan mengemasnya dalam rantang, lalu meminjam sepeda motor Bu Gani.
Malang tak dapat ditolak. Bukannya menunggui suami makan dengan romantis, ia malah menemukan pujaan hatinya berpelukan dengan mantan pacar. Hati siapa yang tidak panas? Sekarang panci, wajan, talenan, dan peralatan memasak yang belum sempat dicuci pun turut menerima akibatnya, dibanting-banting di bak cucian.
Jata hanya bisa mengiyakan. Masih untung istrinya tetap mau berkomunikasi. Kania dulu bila marah tahan mogok bicara berhari-hari. Ia paling sebal menghadapi aksi diam seperti itu.
Ponsel Jata berdering. Waktu makan siang sudah habis dan ia harus segera kembali ke kantor. Ada masalah serius di power house yang membutuhkan kehadirannya.
"Put, aku harus balik ke kantor," pamitnya. "Kalau ada apa-apa, cepat telepon aku. Kayaknya aku harus lembur hari ini."
"Lembur apa lembur?" sahut Puput dengan nada dingin tanpa mengalihkan perhatian dari cucian.
Jata hanya mengembuskan napas panjang, lalu meninggalkan rumah tanpa menunggu reaksi Puput. Ia sebenarnya agak cemas meninggalkan Puput sendirian di rumah setelah kejadian aneh beruntun hari ini. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain selain harus kembali ke power house segera. Kalau tidak, gangguan pada generator bisa mengakibatkan pasokan listrik untuk masyarakat akan terganggu.
☘☘☘
Setelah kejadian memalukan di kantor Jata, Wina tak bisa duduk tenang. Otaknya segera memikirkan berbagai kemungkinan. Ia tidak menampik kenyataan bahwa masih menyukai Jata. Biarpun telah bertualang ke pelukan beberapa lelaki, tidak ada yang meninggalkan bekas seperti cinta pertama. Bila ingin mengumpulkan fakta, Jata adalah lelaki terbaik yang pernah menjalin hubungan dengannya.
Jata memang keras kepala dan suka mengatur. Ia tidak romantis dan tidak mau pusing dengan urusan perempuan. Akan tetapi, melihat bagaimana Jata mempersiapkan pernikahannya, ia tahu lelaki itu sangat bisa diandalkan sebagai kepala rumah tangga. Ia setia, memikirkan dan mengupayakan dengan baik masa depan keluarga. Dalam pekerjaan pun, Jata menonjol. Ah, ia sungguh menyesal meninggalkan lelaki itu untuk romantisme konyol yang berujung petaka. Bila sudah mencapai usia seperti sekarang, bukan lelaki romantis yang dibutuhkan, melainkan lelaki setia yang bisa diandalkan dalam kondisi yang paling susah sekalipun.
"Billy," panggilnya melalui telepon. Hanya Billy yang terpikir untuk diajak bicara saat ini.
"Halo, cantik. Ada apa siang-siang gangguan aku? Diganggu makhluk halus lagi?"
Wina terkekeh. Itulah mengapa ia senang berbicara dengan Billy. Lelaki itu selalu tahu apa yang dibutuhkan.
"Aku kan sudah bilang, Win. Kalian itu diincar. Makanya, secepatnya kamu ajak dia untuk dibersihkan. Lama-lama kamu bisa gila, kepingin nyosor dia terus. Udah merasa, kan?"
"Ah, susah. Alasannya nggak dikasih izin istri."
"Hah? Dia minta izin ke istrinya? Beneran tipe suami ideal. Sial bener kamu, Win, ninggalin dia buat dapat om-om tua." Terdengar suara terbahak Billy di seberang sana.
Wina semakin kesal. "Billy! Aku telepon ini buat minta solusi. Kamu mau aku nangis bombay sekarang?"
"Iya, iya, Cantik. Aku ke rumahmu nanti sore."
"Jam berapa?"
"Kamu maunya jam berapa?" tanya Billy dengan nada manja.
"Habis pulang kerja."
"Biii-saaa. Tunggu aja di rumah. Tapi, kayak biasa, ya. Kamu tahu, kan?"
"Kayak biasa apa? Dasar matre. Iya, aku siapin amplop."
"Ah, Wina, Wina. Masa kamu nggak tahu kalau bukan amplop yang aku mau."
Wina terdiam sejenak. "Kamu mau apa?"
Billy terdiam sejenak, lalu berkata dengan terkekeh sumbang, "Aduhai, kamu ini! Diajak bercanda malah serius."
Wina kembali terdiam. Bukan sekali ini saja Billy menyerempet topik itu. Lelaki itu pun sangat perhatian dan bersedia dipanggil kapan saja. Wina tidak salah bila kemudian merasa bahwa lelaki itu menaruh hati kepadanya. Di usianya yang telah kepala tiga, ia bisa membedakan tatapan berharap atau menghujat.
"Kamu sebenarnya niat bercanda atau serius sih, Bil? Aku bingung!" pancing Wina. Ia sendiri bingung bila nanti dijawab serius.
"Kamu maunya bercanda atau serius, Win?" Suara Billy terdengar dalam.
Wina meneguk liur. Jujur, Billy memang membuatnya nyaman. "Kalau serius, apa enggak ada yang marah?" bisiknya kemudian. Astaga, aku ngomongin apa, sih? rutuk hati Wina. Ayo, Win. Jadi perempuan jangan kegatelan. Masa semua mau diseruduk?
Billy tertawa. "Pasti ada, dong! Tuh, anjing penjagamu galak banget!"
Wina mendesah diam - diam. "Iya, anjing penjagaku galak banget. Anjing penjagamu nggak galak?"
Billy kembali terbahak. Kali ini suara tawanya terdengar sumbang.
☆Bersambung☆
Buat yang nggak sabar nungguin apdetan, langsung cuuus aja ke Dreame.
Cerita ini udah tamat di sana. Sobat bisa memanfaatkan koin gratis di aplikasi itu.
Selamat maraton!
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
МистикаJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...