50. Mimpi di Siang Hari

364 29 13
                                    


PERKATAAN Wina mau tak mau membawa pikiran Jata mengarah ke Asrul. Sepertinya Wina juga memikirkan kemungkinan yang sama.

"Bukannya menuduh ya, Jat. Tapi yang dekat dengan Puput bukannya Asrul?"

Walau memikirkan kemungkinan itu, Jata tidak mau menanggapi. "Sudahlah, Win. Apapun itu, yang jelas aku tidak mau ikut ritual."

"Kamu mau membunuhku, Jat? Kamu nggak dengar kata-kata Billy kemarin? Kita bisa mati muda bila tidak melakukan ritual!"

"Aku lebih rela mati muda daripada melakukan kenistaan. Aku malah nggak percaya ada ikatan gaib. Semua itu hanya akal-akalan Billy saja, kan?"

Wina terbelalak karena marah. "Kamu mau mati muda, silahkan! Tapi jangan bawa-bawa aku untuk mati muda juga. Aku masih mau hidup, Jata!"

Jata menyeringai. "Bukan aku yang harus bertanggung jawab atas hidupmu!"

Wina tak bisa berkata-kata lagi. Ia tahu Jata. Kalau sudah dingin dan datar begitu, biar pelet dari ujung dunia pun tidak akan mempan. Ia sudah pernah mencobanya saat meminta lelaki itu untuk CLBK. Akhirnya ia banting setir, memikat pengusaha kaya raya yang belum lama kehilangan istri karena kecelakaan lalu lintas.

Wina mulai berpikir untuk mencari dukun yang lebih sakti. Orang pintar dari Loksado kabarnya sangat sakti. Sayang, dia hanya mau menyembuhkan, tidak mau mengirim sesuatu yang gelap. Sebenarnya orang-orang bilang, di suatu area tertentu di Riam Kanan terdapat pusat kesaktian gaib yang sangat tinggi. Sayangnya pula, belum ada yang berani meminta kesaktian itu. Konon, kesaktian itu terlalu kuat untuk dikuasai seorang manusia. Orang yang pergi mencari ke sana dikabarkan tak pernah kembali.

"Ingat, aku belum menyerah, Jata!" ancam Wina seraya keluar ruang.

Di ambang pintu gedung, tahu-tahu langkahnya terhenti. Angin dingin menerpa wajah cantik itu. Hatinya bergemuruh tanpa sebab yang jelas. Hanya ada wajah Jata dalam benak Wina saat ini. Perempuan itu berbalik, masuk kembali ke ruangan mantannya.

Di ruangannya, mengira telah sendiri, Jata membawa dokumen ke mesin fotokopi. Ia berdiri membelakangi pintu. Tanpa basa-basi, Wina melingkarkan lengan ke pinggang ramping yang berotot liat itu lalu menyesap aroma tubuhnya.

Tentu saja Jata kaget. Saat tahu siapa orang yang dengan kurang ajar memeluknya, ia naik pitam.

"Wina!" bentaknya. Tangan Wina segera dilerai, dan ia membebaskan diri.

Wina nyaris terjengkang karena dorongan itu. Rasa sakit akibat menubruk meja tidak sesakit hati yang ditolak. Ia tidak terima. Begitu keseimbangannya kembali, ia bergerak menubruk Jata yang belum sempat beranjak jauh.

Jata melerai dan mendorong Wina ke samping hingga tubuh jangkung itu menabrak meja. Kesempatan itu ia gunakan untuk melarikan diri. Wina yang sakit hati karena ditolak, bergerak cepat untuk meraih pinggang Jata dari arah samping. Ia berhasil menubruk lelaki itu dan memepetnya ke dinding dengan menggunakan berat tubuh.

Jata kembali melerai. Akan tetapi, bukan leraian Jata yang membuat Wina terhuyung kembali. Entah kapan datang, Puput telah berada di ruangan itu. Tangan lembut gadis itu ternyata sangat kuat. Wina yang memiliki tubuh lebih besar bisa didorong.

Wina menatap nanar seraut wajah yang kini merah padam karena marah. Ia merinding. Mata Puput menatap tajam tanpa berkedip. Tak ada yang bisa dipikirkan lagi selain pergi secepatnya dari ruangan itu.

"Put?" Jantung Jata masih berdebar karena kejadian tadi.

"Apa?" sentak Puput dengan merengut maksimal. "Jadi seperti itu kelakuanmu di kantor, Kak?"

"Aku nggak tahu kenapa dia mendadak kesetanan begitu. Beneran deh, Put!" jawab Jata. Dalam hati ia bersiap mendapat amukan badai puting beliung. Benar saja, mata Puput mulai berkaca-kaca. Jata segera merengkuhnya ke dalam pelukan.

"Put, beneran. Aku nggak ngapa-ngapain. Aku malah terima kasih kamu datang."

Puput membebaskan diri dari pelukan. Matanya menatap tajam. Sangat jelas gadis itu tidak mempercayai ucapan suaminya.

"Yang terjadi tuh nggak seperti yang terlihat. Dia tiba-tiba masuk terus meluk aku." Jata menjelaskan. Ia tahu kata-kata tidak cukup untuk meyakinkan perempuan yang sedang marah.

"Dia nggak akan begitu kalau kamu nggak memberi angin!" balas Puput dengan sengit.

Jata menghela napas. "Put, kamu harus percaya sama aku. Aku nggak berniat apa-apa sama dia, beneran."

Puput mendengkus. Ia berjalan menuju meja. Jata meraih tangannya. Ia tidak tega melihat Puput yang mulai bersimbah air mata.

"Put, aku sayang kamu. Jangan pernah ragukan itu," bisiknya.

Puput membeku di tempat saat Jata merapatkan diri dari belakang, kemudia melingkarkan lengan di pinggang. Desiran napas sang suami di lekuk leher membuatnya merinding. Ia ingin berbalik dan balas memeluk. Akan tetapi rasa kecewa menahan niatnya. Ia membebaskan diri dan menjauh.

Jata menghela napas. "Duduk dulu, Put," pintanya. Ia sendiri duduk di kursi dekat situ. "Kamu kenapa tiba-tiba datang ke sini?"

"Mau mengantar ini!" cetus Puput kesal. Dengan kasar, diletakkannya rantang di atas meja. Serenteng rantang stainless steel itu berderak keras. Sebagian isinya, kuah sup, sampai meleleh dari rantang terbawah. Sesudah itu ia menghambur keluar.

Jata menyusul. Akan tetapi, Puput dengan gesit telah pergi dengan menggunakan sepeda motor. Ia tahu itu sepeda motor Bu Gani. Jata mengambil kunci mobil, lalu mengebut ke rumah. Malang, Puput telah mengunci semua pintu dan jendela. Jata merogoh kantung. Sial. Ia meninggalkan seikat kunci rumah di dalam ransel yang tertinggal di kantor.

"Put! Put! Buka pintu! Kita harus bicara!" seru Jata. Tangannya mengetuk pintu dengan keras.

Tak ada jawaban apa pun. Jata berlari ke pintu belakang. Sama saja, terkunci. Akhirnya Jata mengintip jendela kamar. Dari gorden yang terbuka, ia melihat istrinya duduk meringkuk di kasur dengan wajah disembunyikan di paha.

"Put, buka dulu pintunya," pinta Jata.

Puput bergeming di tempat. Tiba-tiba, Jata mendengar bunyi mendesis. Beberapa sosok hitam menembus dinding, melayang masuk ke kamar. Mereka mengarahkan cakar ke tubuh Puput. Kejadian itu sangat mirip dengan gambaran mimpi buruk yang beberapa kali dialami. Rasa cemas segera mencengkeram hati Jata. Digedornya jendela.

"Puuuut! Puuut, awaaaas! Cepat keluar dari situ!" serunya.

Puput tetap tidak mengindahkan peringatan itu. Jata berbalik, pergi ke halaman untuk mencari kayu atau batu guna memecahkan kaca jendela.

"Kak Jata?" Terdengar suara Puput memanggil.

Jata menoleh. Bagai disengat lebah, kekagetannya memuncak. Puput tengah berjalan melewati gerbang. Bila istrinya di halaman, lantas siapa yang terkurung di kamar? "Loh, kamu di sini Put?"

"Kamu aneh banget. Kamu kenapa sih, Kak?"

Jata tidak menjawab. Ia segera berlari ke jendela untuk melihat isi kamar. Betapa kagetnya, ternyata kamar itu kosong! Jadi yang ia lihat tadi hanyalah bayangan semu? Siapa yang melakukan itu kepadanya?

"Ngapain lari - lari dan teriak - teriak gitu?" tanya istrinya dengan wajah merengut. Ia berjalan santai ke teras, lalu membuka pintu dengan kunci miliknya.

Jata membuntuti Puput masuk ke rumah. "Kamu dari mana?"

"Dari mengembalikan sepeda motor Bu Gani. Emang Kakak pikir aku ke mana?" jawab Puput masih dengan nada ketus.


☆-Bersambung-☆

Harap meninggalkan jejak berupa follow, vote, komen, dan share. Tindakan kecil bagi Sobat Pembaca, tapi mood booster buat Fura.

Makasiiih 😘😘😘

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang